Opini

Maca Slamet Gundono

Sab, 27 Juni 2020 | 21:33 WIB

Maca Slamet Gundono

Slamet Gundono dalam sebuah pementasan

Oleh Abdullah Alawi 

Heh, Den, wong sakti ora mung sampeyan 
Wong apik ora mung sampeyan
Maca, Den
Maca…
Maca…
Maca…

Saya kembali mendengarkan nyanyian buah karya dalang suket Ki Slamet Gundono -yang berjudul Maca yang dipetik pada pembuka tulisan ini- setelah menulis tokoh-tokoh NU yang lahir dan wafat di bulan ini. Slamet Gundono yang masuk Ensiklopedia NU, kebetulan lahir di bulan ini. Meski tak diketahui apakah dia pernah aktif di NU atau tidak, tapi kemungkinan karena ia pernah menjadi seorang santri, PBNU memasukkan Slamet Gundono dalam daftar tokohnya. 


Lagu Maca menjadi pengiring pameran seni rupa yang pertama kali digelar PBNU yang mengiringi muktamar ke-33 di Jombang. Pameran tersebut berlang di Yogyakarta yang diikuti para perupa top seperti Nasirun, Agus Suwage, Tisna Sanjaya, KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus), D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Jiehan Sukmantoro, Abas Alibasya, dan lain-lain. 


Maca diawali dengan menceritakan silsilah, dan tugas Nabi Muhammad SAW di dunia untuk segala makhluk. Kemudian menceritakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad bertapa di sebuah gua, Hira. Dalam tapa itulah, ia mendapatkan wahyu pertama dengan diawali perintah membaca, iqra! Bacalah ! 


Kemudian Slamet Gundono mengajak untuk membaca alam. Secara khusus ia mengajak untuk membaca bencana yang terjadi di Aceh, di Sidoarjo, dan Yogyakarta. Kemudian membaca keadaan di negara sendiri, termasuk tingkah polah para pemimpin. 


Kemudian, bagi saya, ini yang menarik, Slamet Gundono memasukan cerita pewayangan. Tak heran karena ia memang seorang dalang wayang suket. pada lagu ini Slamet menceritakan Semar yang menasihati Arjuna yang merusak hutan. Ungkapan Semar tersebut, saya kutip di awal tulisan ini. 


Maca, Den maca…


Lagi-lagi Slamet mengajak untuk membaca kahanan (keadaan) di sekitar kita termasuk membaca manusia, dirinya sendiri dan orang lain.  


Kemudian, lagu tersebut kembali kepada kisah awal, yakni Nabi Muhammad. Pada bagian ini, Slamet menekankan sifat-sifatnya. Nabi Muhammad yang merobek kegelapan menjadi keindahan, budi pekerti yang lembut mengungkuli sutra, menjadi penerang bagi manusia yang tersesat. Nabi Muhammad yang dicintai Allah yang sangat mencintai manusia, memiliki sifat welas asih, bahkan kepada para pembencinya. 


Kembali Slamet memberikan tekanan untuk mengajak membaca. Bahkan kalau sudah melakukannya, ia mengajak untuk melakukannya lagi. Maca maning sira, maca maning. 


Bagi saya, Slamet Gundono mengingatkan kita bahwa wahyu pertama yang dimulai kata membaca itu sangat penting di samping beragama. Jika beragama tanpa membaca tentu saja tidak ada perkembangan dan kemajuan. Bahkan, yang ada adalah kemandekan. 


Penulis adalah Nahdliyin, tinggal di Bandung