Cerpen

Dongeng Enteng dari Pasantren (17): Kang Haer

Ahad, 14 Juni 2020 | 00:10 WIB

Dongeng Enteng dari Pasantren (17): Kang Haer

Kang Haer mengirim surat untuk Nyi Juariah

Oleh Rahmtullah Ading Afandie (RAF)

Seumur-umur, Kang Haer tak pernah menanggalkan sarung. Seumur-umur dengkulnya tak pernah kelihatan orang lain. Kalau dia ikut bermain sepak bola, ujung sarungnya berada sejangkal di bawah dengkul. Ia bukan santri ganteng, tapi punya daya tarik. Kalau dalam istilah sekarang, ia mengundang simpatik orang lain. Pakaiannya selalu bersih karena dia memang rajin mencuci. 


Untukku, Kang Haer ini sangat besar jasanya. Sampai aku bisa menyusul kemampuan santri lain sebetulnya karena jasanya. Ia selalu memberi pelajaran tambahan. Entah kenapa sejak aku datang ke pesantren itu, ia seperti menyukaiku. Begitu juga aku. 


Dalam urusan mengaji, kemampuannya memang berada di bawah Mang Udin, tapi aku selalu bertanya kepadanya. Kalau aku bertanya, ia tampak gembira. Ia akan menerangkan berkali-kali sampai aku mengerti. Meskipun kemudian kemampuan dalam bahasa Arab aku lebih lancar darinya, tapi aku ingat awalnya dibimbing Kang Haer. Cara ia membimbing aku haru berbicara dengannya melalui bahasa Arab. Bahasa Arab sederhana, tapi besar artinya untuk memperlancar obrolan.


Sampai sekarang masih terngiang saat terbangun pagi-pagi, lalu ketemu dengannya di depan masjid. 


"Shabahul khair, ya akhi!" katanya.


"Shabahul khair!" jawabku


Kalau aku habis keluar pesantren, ia selalu bertanya. 


"Min ayna, ya akhi!"


"Ila ayna, ya akhi!" begitu dia bertanya kalau aku kelihatan akan berangkat. 


Kang Haer orangnya tak senang bercanda. Kalau mendapati temannya yang sedang bercanda ia hanya tersenyum. 


Nama lengkapnya Chaerudin. Ia menjelaskan, "khaer" artinya bagus, sementara din artinya agama. Jadi, agama yang bagus.


Suatu dini hari, tidak seperti biasanya, selepas sahur, Kang Haer datang ke tempat tidurku. Ia rebahan di sampingku. 


"Ana perlu nasruka, (= pertulungan) ya akhi!" katanya.


"Madza (pertolongan apa), Kang?" tanyaku keheranan karena dia sepertinya bertul-betul dalam keperluannya.


"Apakah bisa menyampaikan suratku?" tanyanya.


"Ila man (kepada siapa)?" tanyaku.


"Ila ilaiha (kepadanya)," jawabnya. 


"Man hiya (siapa dia itu)?" aku penasaran.


Kang Haer duduk. 


"Alam 'arifta (apa belum tahu)?"
 

"La mina (belum)," jawabku. 


Setelah itu, Kang Haer menjelaskan bahwa dirinya kepincut Nyi Juariah, cucu merebot. Sekarang ia mau berkirim surat untuknya. Dia memintaku untuk menyampaikannya.


Dalam pikiranku, apa susahnya menyampaikan surat. Aku kenal perempuan itu. Karena itulah aku menyanggupinya. Aku berniat selepas ashar akan menyampaikannya sekalian ngabuburit dekat sawah Madhari sembari menonton orang bermain layang-layang.


Tapi selepas shalat Ashar badanku lemas banget. Aku malah menitipkan surat tersebut kepada Si Aceng. Tanpa berpikir panjang aku menyampaikan bahwa surat itu dari Kang Haer untuk Nyi Juariah.


Aku sangat lupa bahwa yang paling menyukai perempuan itu adalah Si Aceng. Dia juga yang menjuluki perempuan itu dengan "Nyi Jamilah", perempuan cantik.


Keesokan harunya aku sengaja mengajak Si Aceng bertandang ke rumah merebot. Barangkali Nyi Juariah mau membalas surat itu. Ternyata si Aceng susah diajak. Ia mengaku malas dan lemas sebab tadi siang membetulkan pengairan sawah milik ajengan. Tapi aku memaksanya.


Dari kejauahan tampak Nyi Juariah ada di jandela kemarnya. Ketika melihat kami berdua, ia meninggalkan jendela itu. Tak lama kemudian tampak lagi. Ketika aku dan Si Aceng datang, ia melemparkan secarik kertas yang disobek-sobek.


Nyi Juariah tak tampak lagi. 


Aku dan SI Aceng tak perlu bertanya lagi. Aku tahu itu adalah surat dari Kang Haer yang diantarkan Si Aceng kemarin. Muka Si Aceng seperti kehilangan darah. 


“Tidak apa-apa, tugas kita kan hanya mengantarkan surat,” kataku. 


Maklum saya masih kanak-kanak, belum punya pikiran, peristiwa itu aku sampaikan kepada Kang Haer sebelum maghrib. Tampak kemudian pada saat berbuka puasa Kang Haer seperti tak enak makan.


Selepas tarawih, tidak seperti biasanya Kang Haer tidak tadarus di masjid. Tapi aneh ia malah ngaji di kobong. Aku tahu hal itu karena aku juga meninggalkan tadarus, pulang ke pondok. Tujuanku makan karena saat berbuka puasa merasa tidak enak sama Kang Haer.


Ketika aku pulang dari masjid, aku mendengar bacaan Kang Haer. 


"Wa laqod hammat bihi, wa hammat biha la loa arroa burhana rabbih..." 


Aku merasa heran kenapa ngaji Kang Haer sudah sampai bagian itu sementara tadarus baru sampai "Al Maidah" masih jauh ke surat "Yusuf." 


Aku tahu yang dibaca Kang Haer adalah surat Yusuf saat Siti Julaiha menyukai Nabi Yusuf. Kemudian mengejar-ngejar Nabi Yusuf.


Ternyata betul Kang Kang Haer sedang benar-benar jatuh cinta. 


Konon, jika santri ingin dicintai perempuan, apalagi selepas ditolak cintanya, aku dengar, santri itu akan membaca surat Yusuf. Kemudian meletakkan air di wadah. Selepas membaca surat itu, si santri membasuh muka dengan air itu. 


Konon, santri itu akan dikejar-kejar perempuan yang dimaksud sebagaimana Nabi Yusuf dikejar Siti Julaiha sebagaiman diceritakan dalam Al-Qur’an.


Bagaimana cerita selanjutnya? Cerita selanjutnya ya nanti diceritakan lain kali saja.
 

 

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang.  

 

Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.