Opini

Ma’had Aly sebagai Lembaga Kaderisasi Mutafaqqih Fiddin

Rab, 15 Maret 2017 | 00:03 WIB

Oleh Suwendi

Tantangan keulamaan atau kekiaian dewasa ini semakin kompleks. Bukan hanya pada  penguasaan khazanah keislaman yang mendalam (tafaqquh fiddin), melainkan juga kader ulama harus mampu merespons perubahan sosial akibat kecanggihan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan arus globalisasi yang demikian deras. Ruang lingkup keulamaan menjadi tak berbatas. Tidak hanya pada wilayah keagamaan, kader ulama juga harus mampu masuk ke dalam diskursus dan ruang gerakan sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, dan politik kebangsaan. 

Semua itu adalah realitas kehidupan yang sehari-hari mempengaruhi kehidupan keagamaan. Ulama kontemporer niscaya menguasai segala hal yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia (tafaqquh fi mashalihil khalqi).
Dalam konteks kaderisasi ulama melalui lembaga pendidikan tinggi, di tahun 2016 yang lalu, tepatnya pada hari Senin, tanggal 30 Mei 2016, Kementerian Agama telah menerbitkan Izin Pendirian Ma’had Aly kepada 13 Pondok Pesantren di seluruh Indonesia dan melaunchingnya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur yang dikukuhkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3002 Tahun 2016. 

Ke-13 Ma’had Aly itu adalah sebagai berikut. Pertama, Ma’had Aly Saidusshiddiqiyyah, Pondok Pesantren As-Shiddiqiyah Kebon Jeruk (DKI Jakarta)dengan program takhasus (spesialisasi) “Sejarah dan Peradaban Islam” (Tarikh Islami wa Tsaqafatuhu); Kedua, Ma’had Aly Syekh Ibrahim Al Jambi, Pondok Pesantren Al As'ad Kota Jambi (Jambi), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); Ketiga, Ma’had Aly Sumatera Thawalib Parabek, Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, Agam (Sumatera Barat), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); Keempat, Ma’had Aly MUDI Mesjid Raya, Pondok PesantrenMa'hadul 'Ulum Ad Diniyyah Al Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Bireun (Aceh), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); Kelima, Ma’had Aly As'adiyah, Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang (Sulsel), dengan program takhasus “Tafsir dan Ilmu Tafsir” (Tafsir wa Ulumuhu); Keenam, Ma’had Aly Rasyidiyah Khalidiyah, Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai (Kalsel), dengan program takhasus “Aqidah dan Filsafat Islam” (Aqidah wa Falsafatuhu); Ketujuh, Ma’had Aly salafiyah Syafi’iyah, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo (Jatim), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); Kedelapan, Ma’had Aly Hasyim Al-Asy'ary, Pondok PesantrenTebuireng Jombang (Jatim), dengan program takhasus “Hadits dan Ilmu Hadits” (Hadits wa Ulumuhu); Kesembian, Ma’had Aly At-Tarmasi, Pondok Pesantren Tremas (Jatim), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); Kesepuluh, Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda fi Ushul al-Fiqh, Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati (Jateng), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); Kesebelas, Ma’had Aly PP Iqna ath-Thalibin, Pondok Pesantren Al Anwar Sarang Rembang (Jateng),dengan program takhasus “Tasawwuf dan Tarekat” (Tashawwuf wa Thariqatuhu); Kedua belas, Ma’had Aly Al Hikamussalafiyah, Pondok Pesantren Madrasah Hikamussalafiyah (MHS)Cirebon (Jabar), dengan program takhasus “Fiqh dan Ushul Fiqh” (Fiqh wa Ushuluhu); dan ketiga belas, Ma’had Aly Miftahul Huda, Pondok PesantrenManonjaya Ciamis (Jabar), dengan program takhasus “Aqidah dan FIlsafat Islam” (Aqidah wa Falsafatuhu).

Eksistensi Ma’had Aly sesunggunya memiliki landasan hukum yang sangat kuat. Setidaknya ada 2 (dua) Undang-Undang yang dapat dijadikan dasar hukum. 
Pertama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di pasal 15 disebutkan bahwa di antara jenis pendidikan yang ada di negara kita adalah jenis pendidikan keagamaan. Undang-Undang ini kemudian diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang di dalam pasal 9 disebutkan bahwa Pendidikan Keagamaan di antaranya terdiri atas Pendidikan Keagamaan Islam. Atas dasar regulasi itu, diterbitkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, yang di pasal 23 disebutkan bahwa Ma’had Aly merupakan bentuk dari pendidikan diniyah formal jenjang pendidikan tinggi. 

Kedua, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang di dalam pasal 30 ayat (2) disebutkan bahwa “Pendidikan tinggi keagamaan berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat berbentuk Ma’had Aly”. Atas dasar kedua Undang-Undang tersebut, Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly. 

Dengan melihat posisi regulasi di atas, Ma’had Aly memiliki legalitas yang sangat kuat dan sekaligus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pada sisi yang lain, regulasi-regulasi itu memperjelas kesungguhan komitmen Pemerintah untuk mewujudkan Ma’had Aly setara dan semartabat dengan lembaga perguruan tinggi lainnya seperti UIN, IAIN, dan STAIN serta lembaga pendidikan tinggi umum lainnya, baik dalam pengakuan, status, lulusan, maupun perhatian Pemerintah terhadap keberlangsungan dan pengembangannya.   

Sebagaimana dicantumkan dalam PMA 71 Tahun 2015, tujuan didirikannya Ma’had Aly adalah menciptakan lulusan yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan mengembangkan ilmu agama Islam berbasis kitab kuning. Dengan demikian, Ma’had Aly adalah wujud pelembagaan sistemik dan formal atas tradisi intelektual pesantren tingkat tinggi sehingga keberadaannya melekat pada pendidikan pesantren. 

Dalam sejarahnya, Ma’had Aly memang didirikan dan dikembangkan dari dan oleh masyarakat pesantren dan berada di lingkungan pesantren, sehingga Ma’had Aly ke depan tidak ada yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau berstatus negeri. Meski demikian, tujuan yang hendak dicapai dari Ma’had Aly tidak semata-mata untuk kepentingan pesantren, tetapi untuk kepentingan umat dan bangsa. Selain untuk keberlangsungan pesantren sendiri dengan tumpuan pada tradisi intelektual tingkat tinggi, Ma’had Aly juga dimaksudkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan keislaman dan transformasi sosial dalam kehidupan bangsa yang terus berubah. Oleh karena itu, keberadaan Ma’had Aly sebetulnya bukan lagi kepentingan masyarakat pesantren an sich, melainkan kebutuhan bangsa Indonesia, terutama dalam menyempurnakan sistem pendidikan nasional yang dicita-citakan, dan kebutuhan dunia Islam. 

Secara epistemologi keilmuan, mengutip pernyataan Ulil Abshar Abdalla, setidaknya ada 3 pola kajian akademik yang berkembang pada pendidikan tinggi, yakni ilmu umum-murni, ilmu keislaman-murni, dan ilmu yang mengkorelasikan sekaligus menginterkoneksikan antara ilmu-umum murni dengan ilmu-keislaman murni. Ilmu keislaman-murni dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia itu dikembangkan oleh pondok pesantren utamanya dengan literatur kitab kuning. Adapun ilmu umum-murni itu lebih banyak dikembangkan pada lembaga perguruan tinggi umum, semisal UI, IPB, ITB, dan lain. Sedangkan ilmu yang mengkorelasikan sekaligus menginterkoneksikan antara ilmu umum-murni dengan ilmu keislaman-murni itulah yang dilakukan oleh UIN, IAIN, dan STAIN. 

Dalam kontek epistemologi keilmuan itu, Mahad Aly sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam adalah lembaga yang paling otoritatif mengawal dan mengembangkan ilmu-keislaman murni itu. Kajian kitab kuning tingkat tinggi harus menjadi bahan kajian pada Ma’had Aly. Kitab semisal Jam’ul Jawami’ fi Ushulil Fiqh karya Imam as-Subki (bidang Ushul Fiqh), Fathul Wahhab bi Syarhi Manhaji ath-Thullab karya Imam Zakariya al-Anshari (bidang fiqh), al-Hikam karya Muhammad Ibnu ‘Atho’illah as-Sakandary (dalam bidang tasawwuf), Tafsir Marah Labib karya Syaikh Nawawi al-Jawi (bidang tafsir), Ihya’ Ulumiddin karya Imam Ghazali (bidang tasawwuf), Tahafutul Fasalasifah karya Imam Ghazali dan Tahafutut Tahafut karya Ibnu Rusyd (dalam bidang falsafah), dan lain-lain merupakan kitab yang menjadi referensi wajib untuk diajarkan. Kitab-kitab semacam itu merupakan kitab yang selama ini kita banggakan, namun tidak banyak membaca dan mengkajinya.

Sebagai bentuk dari pendidikan tinggi keagamaan, Ma’had Aly merupakan salah satu wujud dari PTKI ((Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh pondok pesantren. Sebagai pendidikan akademik, Ma’had Aly menyelenggarakan program pendidikan dari Strata Satu (S1) hingga Strata Tiga (S3). Untuk membangun keunggulan dengan integritas akademik yang tinggi, satu Ma’had Aly hanya diberikan izin penyelenggaraan untuk satu Program Studi. Posisi program studi pada Ma’had Aly tidak semata-mata program studi, tetapi ia akan dikembangkan menjadi pusat kajian keilmuan keislaman dan kepesantrenan secara sekaligus. Untuk itu, perlu didorong agar Ma’had Aly benar-benar menjadi pusat-pusat unggulan ini.  Dengan posisi ini, Ma’had Aly akan tetap ditempatkan sebagai lembaga khusus yang ada pada pesantren sebagai lembaga kaderisasi ulama. 

Posisi Ma’had Aly sebagai lembaga pendidikan tinggi keagamaan (keislaman) menjadi sangat signifikan dan strategis bagi masa depan bangsa Indonesia dan dunia Islam. Disadari benar bahwa kehadiran Ma’had Aly ini merupakan bagian implementasi dari skenario besar untuk menjadikan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya pesantren, sebagai destinasi pendidikan dunia. Sebab, dalam konteks pendidikan Islam secara global, harapan masyarakat dunia terhadap pendidikan Islam masa kini dan masa depan itu berada di pundak Indonesia. Pondok pesantren memiliki konvidensi dan kekuatan yang luar biasa untuk menjadi corong kepada masyarakat dunia. Sebab, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas (genuin) Indonesia yang mampu menghasilkan intelektual muslim yang berkarakter rahmatanlil’alamin. 

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pesantren Luhur Sabilussalam Ciputat. Terlibat aktif sebagai salah seorang konseptor Peraturan Menteri Agama tentang Ma’had Aly