Opini

Mahbub Djunaidi dan Laut

Sen, 8 Juni 2020 | 07:00 WIB

Mahbub Djunaidi dan Laut

H Mahbub Djunaidi punya gagasan laut yang disampaikannya lewat tulisa, ceramah, dan obrolan dengan teman-temannya

Oleh Abdullah Alawi 
 

Jika ditempatkan pada konteksnya, beberapa tokoh NU memiliki kesadaran laut yang tinggi. Artinya memiliki gagasan negara ini penting memiliki visi laut. Gagasan itu bukan tanpa dasar, negara ini memiliki laut yang luas, hampir 70 persen dari seluruh wilayah. Jika meninggalkan laut, berarti meninggalkan sejarah nenek moyang yang biasa dinyanyikan pada saat di sekolah dasar. 


Kesadaran tentang laut itu misalnya tampak pada diri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada masa menjadi presiden, ia membentuk menteri kelautan. Tokoh NU yang lain juga memiliki kesadaran serupa, misalnya pada H Mahbub Djunaidi.


Pada saat Mahbub hidup, yakni di zaman Orde Baru. Pada masa itu, Presiden Soeharto sedang menggalakkan pertanian yang terkenal dengan swasembada pangan. Artinya menjadi negara agraris. Mahbub sebetulnya tidak mempermasalahkan tentang swasembada itu karena bagaimanapun, penduduk negara mana pun, termasuk negara ini membutuhkan pangan. Selain lahannya ada, pangan merupakan kebutuhan pokok. 


Namun, ia menginginkan adanya perhatian terhadap laut. Kalau ada kementerian pertanian, mestilah ada kementerian kelautan. Namun, usulannya itu tidak bertepuk sebelah tangan. Hingga Soeharto lengser dari presiden setelah selama 32 tahun berkuasa, tak pernah ada kementerian yang dimaksud.     


Bukti Mahbub Djunaidi menginginkan itu terungkap misalnya pada artikel yang berjudul Pemikir pada 2 Agustus tahun 1992.  


“Kembali ke pokok bicara, cita-cita apa yang kamu pilih? Seperti juga Pemilu, cita-cita itu bebas. Mau jadi bahariawan? Ini pun bagus. Syukur-syukur kamu bisa menjadi Menteri Bahari. Berarti, kamu dapat menguasai gelombang dan penduduk dasar laut. Dulu memang, orang Inggris yang kuasai gelombang, tetapi sesudah nasionalisme bangkit, mereka lari lintang pukang. Sekarang mereka cukup mondar-mandir mengawal istana Buckingham sambil pakai topi bulu sebesar sarang tawon. ” 


“Tapi, bukan urusankulah orang Inggris itu. Bagaimana soal bahariawan? Apa ada minat? Kamu dapat tangkap ikan sebanyak-banyaknya. Sebab kalau kita bisa halau pukat harimau, kita pun mesti mampu menangkap sendiri ikan-ikan itu, yang di lautan banyak yang menjadi tua bangka dan mati karena tutup usia. Bahkan aku pikir ikan-ikan itu mencemoohkan kita.”


”Tupi kita kan memang bangsa agraris, Pak?” 


“Tidak, kita bangsa bahari. Kolonial yang paksa kita bercocok tanam untuk pasaran Eropa Barat. Kebun gula merupakan gabus tempat negeri Belanda terapung, tanpa itu negeri itu akan amblas.” 


“Baiklah, Pak. Soalnya, di mana sekolahnya? Soalnya, kalau saya melancong dari satu kota ke kota lain, tak pernah lihat sekolah buat jadi bahariawan itu. Beda dengan komputer atau konsultan pajak.” 


Menurut salah seorang sejawatnya, Said Budairy, salah satu yang konstan dan terus dilakukan  Mahbub Djunaidi adalah idenya tentang laut itu. Tentu saja, tak hanya pada tulisan itu, melainkan tulisan-tulisan lain yang bernada serupa. Tak hanya di tulisan, tapi juga dalam ceramah hingga percakapan dengan sahabat-sahabatnya. 


“Melalu kesempatan berceramah, perbincangan dengan teman, dan melalui banyak tulisan seperti dikutip di atas, Mahbub berusaha terus memasyarakatkan pandangannya itu. Dia ingin Indonesia bangkit sebagai negara maritim yang berkemauan mengembangkan ilmu-ilmu kelautan, mendorong, dan memfasilitasi warga negara agar tertarik menjadi bahariawan. Tapi ironisnya, yang sedang terjadi di tengah masyarakat adalah ribut-ribut soal tata niaga kapal penangkap ikan. Dan, sambil tak bisa maksimal menangkapi ikan di laut sendiri, yang dilakukan kemudian hanyalah mengejar dan menangkap kapal-kapal asing pencuri ikan di lautan Indonesia. Lalu merampas hasil tangkapannya,” tulis Said Budairy pada buku Mahbub Djunaidi Seniman Politik dari Kalangan NU Modern; Sebuah Biografi. 


Penulis adalah pengagum Mahbub Djunaidi dan Gus Dur