Opini

Matinya Petani dan Tanggung Jawab Keislaman Kita

Sel, 5 Juli 2016 | 10:00 WIB

Matinya Petani dan Tanggung Jawab Keislaman Kita

Ilustrasi (id.techinasia.com)

Oleh Irham Ali Saifuddin

Tak dipungkiri lagi, Indonesia adalah negara yang besar. Kita adalah bangsa yang besar. Situ enggak percaya? Walaupun kita belum menjadi negara maju dan berdaulat sepenuhnya dalam relasi global, seenggak-enggaknya kita besar hal populasi dan luasan geoprafis. Baiklah, biar lebih ciyus, kita kutip Laporan BPS pada Februari 2016 yanng memperkirakan jumlah penduduk kita saat ini sebanyak 257,62 juta jiwa. Saking luasnya wilayah Indonesia, sudah terpatri dalam benak kita klaim turun-temurun sebagai bangsa agraris dan maritim.

Memang kita memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia.Nyatanya, klaim sebagai bangsa agraris dan maritim tidak sepenuhnya salah. Setidaknya bila dilihat dari okupasi prosentase sektor ketenagakerjaan. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, yang oleh BPS digolongkan sebagai Sektor 1, memang merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar, yakni 31,74 persen. Ada 38,29 juta jiwa yang bekerja di Sektor 1 ini. Dahsyat kan?

Tetapi tunggu dulu. Kenapa sekarang sudah semakin langka anak muda yang ketika ditanya cita-citanya apa maka tidak ada yang menjawab ingin menjadi petani?

Secara diametral, di sini kita melihat dengan jelas bahwa sektor pertanian dan perikanan sampai detik ini belum bisa menjadi sektor yang menjanjikan, yang darinya orang dapat menggantungkan hidup. Sudah semakin jarang kita temui cerita seorang petani yang kaya raya dan penuh kuasa seperti dongeng-dongeng di masa kecil. Berarti ada yang salah dari pertanian kita. Oke... Sektor tersebut memang menyerap tenaga kerja terbesar. Tetapi jangan lupa, kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto-nya (PDB) rendah, hanya sekitar 14,5 persen. Bandingkan dengan sektor industri dan manufaktur yang hanya menyerap 12 persen tenaga kerja, tetapi sumbangsih terhadap PDB dua kali lipat dari pertanian, yakni 25 persen.

Gimana? Jelas kan? Angka tersebut secara jelas memberi gambaran betapa rendahnya produktivitas pertanian kita. Akhirnya ia tidak kompetitif dan selanjutnya semakin ditinggalkan oleh keluarga petani. Celakanya, hingga saat ini belum ada upaya yang terukur dari pemerintah terkait dengan strategi penyelamatan warisan nenek moyang ini.

Matinya petani, matinya bangsa


Kondisi ini tidak saja bisa disebut sebagai matinya desa. Kematian sektor pertanian adalah proyeksi masa depan kematian kita sebagai bangsa. Ini menyangkut kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa, Bung! Betapa tidak, dari hal-hal yang paling kecil dan sederhana sekalipun, kita sudah tidak berdaulat. Tidak percaya?

Atas nama mendulang investasi dan memperkuat likuiditas, Negara bersimpuh-serah pada kekuatan-kekuatan korporasi untuk mengelola pertanian kita. Masih ingat Monsanto kan? Ia merupakan gurita global yang fokus pada pembenihan/pembibitan melalui benih/bibit transgenik. Rejim bibit ini akan sangat mengancam masa depan petani kita. Bukan saja karena Monsanto melakukan rekayasa genetik yang berbahaya dan mengancam keanekaragaman hayati. Atau kalau kamu orang Jogja, pasti tahu Pakem kan? Di Pakem terdapat sebuah perusahaan pembenihan asing yang sudah lima tahun terakhir beroperasi. Hebatnya, ia hanya fokus pada komoditas bambu. Aneka bambu yang tumbuh subur di Nusantara dikawin-sliangkan hingga menjadi varietas unggulan, kemudian bibit bambunya dipatenkan.

Ngeri enggak? Korporasi sudah seperti ancaman Jaddal bagi manusia petani di dunia modern saat ini. Penguasaan benih oleh korporasi seperti di atas ibarat sabotase karunia Tuhan terhadap bumi yang kita tinggali dengan keragaman hayatinya, lalu tetiba diklaim dan dimonopoli oleh korporasi atas nama paten dan sertifikasi. Atas sesuatu yang dititipkan oleh Allah SWT di tanah kita saja, kita sudah tidak berdaulat. Tidak terbayang kan petani kita bisa dipidanakan cuma gegara menanam bambu atau padi? Korporasi melalui rejim hak paten akan membuat negeri ini tiba-tiba miskin karena kita kemudian menjadi tidak punya hak apa-apa atas semua yang ditumbuhkan oleh Tuhan di negeri subur ini. (Hhhmmmmm... Jadi ingat lagu Darah Juang).

Itu baru dari sisi bibit saja ya. Kita belum lagi membahas mengenai swasembada pangan, ketahanan pangan, lalu seringnya Negara terjebak strategi impor atas komoditas-komoditas pangan yang menguasai hajat orang banyak. Cukuplah ini sebagai ironi negara agraris!

Di sebrang yang lain, mari kita lihat petani kita. Struktur agraria kita timpang. Prosentase kepemilikan lahan tak seimbang. Mayoritas petani pun kemudian tumbang. Kenapa? Mereka rata-rata hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan. Dengan luasan seperti ini, para petani kita akan kesulitan untuk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Belum lagi ketergantungan petani terhadap faktor produksi pertanian seperti pupuk, bibit, pestisida dan peralatan penunjang lainnya yang semua harus beli. Produktivitas rendah karena lahan terbatas lalu ditunjang oleh faktor produksi yang mahal. Klop sudah. Kemudian harga panen rendah karena tidak kompetitif dengan produk yang diimpor pemerintah. Gimana enggak gulung koming mereka...

Berikutnya, diserahkannya sektor pertanian kepada korporasi besar secara pasti dan sistematis akan menggerus pertanian rakyat, bahkan memati-permanenkan petani kecil. Lihat saja misalnya, beberapa tahun lalu, perusahaan-perusahaan dari China dan Malaysia mulai masuk ke dunia pertanian kita. Tak tanggung-tanggung, mereka mengucurkan investasi puluhan trilyun rupiah untuk menguasai lahan-lahan pertanian kita untuk membangun lahan persawahan dan pertanian terpadu. Bukan hanya teknologi terkini pertanian yang mereka bawa, mereka mengganti semua pola bertani tradisional kita. Ini hanya menjadi sekedar gambaran, betapa makin tampaknya gempuran korporasi tersebut semakin meminggirkan pertanian rakyat.

Akibat high-technology yang tak terbeli dan subtitusi tenaga manusia menjadi mesin-mesin pertanian yang canggih, para petani kita semakin tersudut di pinggir galeng-galeng persawahan. Mereka hanya menjadi penonton yang menyaksikan atraksi Akbar korporasi atas bumi pertiwi. Kearifan lokal seperti budaya gotong royong, bertani yang ramah alam, serta nilai-nilai social lainnya kemudian hilang. Pertanian hanya dimaknai secara serapah sebagai proses produksi dalam perspektif rakusnya industrialisasi. Pertanian sudah tidak lagi memiliki dimensi budaya dan keyakinan sosial yang sebenarnya merupakan ekstraksi nilai peradaban yang berabad turun-temurun.

Merenungkan wasiat Hadratussyekh

Dunia Islam di Indonesia seharusnya memiliki tanggung jawab yang lebih akan keberlanjutan masa depan pertanian kita. Pertanian telah menjadi saksi bagaimana ia dijadikan alat diplomasi politik, sosial dan budaya di masa penyebaran Islam di Nusantara selain jalur perdagangan. Bahkan, pesantren-pesantren di masa lalu selalu menjadikan pertanian sebagai penopang utama bagi kebutuhan pendanaan roda pendidikan Islam.

Dalam hal ini, kita sudah diingatkan oleh ulama besar pendiri organisasi terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari. Sebagaimana pernah di tulis Hamzah Sahal di situs resmi PBNU, KH Hasyim Asy'ari memberikan perhatian yang luar biasa pada pertanian. Hamzah Sahal menyebut, Hadratussyekh bahkan memiliki tulisan khusus yang berjudul "Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani." Hadratussyekh bahkan meyakinkan kepada kita semua bahwa pertanian adalah benteng terakhir bagi pertahanan Negara.

Hamzah Sahal menjelaskan bahwa Hadratussyekh secara spesifik menulis:

"Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa' Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa' Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta' soedi menolong) pada negeri; dan Pa' Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat  negeri didasarkan."

Mbah Hasyim seperti hendak mengingatkan kepada kita, betapa strategisnya sektor pertanian ini. Nasehat tersebut semakin relevan dengan kondisi terkini dunia di mana ketahanan pangan kita sedang tercancam karena semakin terbatasnya lahan pertanian dan adanya perubahan iklim dan bencana alam. Betul sekali pesan Hadratussyekh tersebut, bahwa "Pak Tani itulah penolong negeri." Pertanian memang sektor yang sangat strategis sampai kapan pun. Saat ini, secara global ada 1 miliar lebih penduduk dunia yang bekerja di sektor pertanian. Angka ini setara dengan sepertiga tenaga kerja dunia. Walaupun angka ini turun selama dua decade terakhir, dari 45 persen menjadi 35 persen. Tetap saja yang paling siginfikan diantara sektor lainnya.

NU sebagai ormas terbesar di Indonesia, yang menurut lembaga survei LSI berjumlah 90 juta orang, seharusnya memiliki kepentingan yang besar terhadap pertanian ini. NU bukan saja memiliki landasan teologis-historis untuk menempatan pertanian sebagai prioritas dalam khidmah sosialnya, lebih jauh lagi. Jamaah NU yang sebagian besar tersebar di pedesaan adalah bidang garap yang hanya berjarak sejengkal dari dunia pertanian. Data Sakernas BPS pada Agustus 2015 mencatat ada 55 juta penduduk Indonesia yang bekerja di pedesaan. Proporsi terbesarnya, yakni 31,4 juta bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan (Sektor 1). Kembali lagi ke survei yang dilaksanakan LSI, bila survei tersebut valid, maka mayoritas petani di Indonesia adalah mereka yang mengklaim NU secara kultural (yakni NU yang tidak memiliki identitas formal sebagai anggota Jam'iyah Nahdlatul Ulama atau menjadi pengurus di badan-badan organisasi).

Isu-isu pertanian hampir selalu dibahas dalam forum-forum pembahasan masalah sosial-keagamaan di lingkungan NU, bahkan di setiap Muktamar limatahunan NU selalu memperbincangkannya. Bahkan secara formal NU memiliki badan otonom yang didedikasikan untuk pertanian, yakni Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU).

Meminjam istilah KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Islam itu sebagai mayoritas di negeri ini dan karenanya ia memiliki tanggung jawab tertinggi atas apa pun yang terjadi di negeri ini. Apalagi, dalam konteks NU, organisasi ini memiliki anggota yang mayoritas mata pencahariannya adalah betani. Tanggung jawab itu menjadi berlipat ganda.

Pertanyaan penutup yang perlu kita refleksikan adalah sudah seberapa jauh dunia Islam kita dan NU mengawal wasiat Hadratussyekh tersebut?


Penulis adalah pengurus Departemen Pendidikan dan Ketenagakerjaan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor