Opini A NAUFA KOIRUL F*

Maulid Nabi: Dari Ritual Menuju Aktual

Sen, 4 Februari 2013 | 07:07 WIB

Setiap tahun kita orang Indonesia selalu meluangkan waktu untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari majelis ta'lim, masjid-masjid, lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, sampai pemerintah semua menggelar ritual tahunan yang lebih akrab disebut maulid Nabi atau muludan ini.
<>
 Bahkan, untuk mengenang peritiwa dahsyat awal dari revolusi besar yang mengubah peradaban dunia ini pemerintah menetapkan tanggal 12 Rabiul Awwal sebagai hari libur nasional. Tak heran jika hampir sebulan penuh silih berganti tak henti-hentinya peringatan Maulid Nabi digelar setiap tahunnya.

Kata maulid merupakan bentuk madar dari kata walada yang berarti lahir, muncul dan anak. Dalam bahasa arab, bentuk masdar bisa menjadi verbal noun atau kata benda, sehingga maulid bisa berarti kelahiran atau kemunculan suatu. Kata maulid atau maulud, dengan mengambil bentuk kata benda, digunakan sehari-hari merujuk pada kelahiran seorang untuk diperingati sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT. Sehingga maulid ini dirayakan oleh siapa saja yang berkehendak. Namun dalam dunia Islam bila disebut kata maulid, arti yang terkandung di dalamnya adalah hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Peringatan Maulid Nabi begitu unik dan hampir menjadi kebutuhan rohani masyarakat nusantara. Ini menunjukkan kehebatan para wali dalam mengawinkan doktrin Islam dengan budaya lokal secara kuat dan mengakar. Dalam catatan sejarah, maulid Nabi diadakan untuk pertama kalinya di Nusantara pada masa Kesultanan Islam Demak dengan Raden Fatah sebagai inisiatornya. Maulid Nabi ini digelar sekaligus peresmian Masjid Agung Demak dengan mengadakan pagelaran Wayang Kulit di Halaman Masjid. Adapun yang bertindak sebagai dalang sekaligus muballighnya adalah Raden Sahid atau lebih dikrnal dengan Sunan Kalijaga.

Seiring perkembangan zaman, maulid Nabi tak pernah lekang oleh waktu. Keberadaannya seakan sudah menjadi kebutuhan masyarakat Islam di Indonesia. Di beberapa tempat, maulid Nabi bahkan digelar dengan bebagai ritual adat yang pada subtansinya adalah manifestasi dari rasa cinta kepada Nabi.

Di Jogjakarta misalnya, Grebeg Mulud merupakan tradisi berebut gunungan makanan hasil bumi yang dikeluarkan pihak keraton untuk diperebutkan rakyat. Ada juga tradisi unik di salah satu desa di Bruno, Purworejo yang menyelenggarakan maulid Nabi dengan ritual Pesta Ingkung. Ribuan Ayam Ingkung yang merupakan sumbangan dari masyakat setempat disajikan dalam ritual itu. Ini merupakan fenomena unik hasil akulturasi islam dengan budaya lokal.

Secara umum, bentuk perayaan maulid Nabi di Indonesia dengan membaca kitab maulid dengan tambahan pengajian, sambutan dan Pembacaan kitab maulid. Adapun kitab maulid yang dimaksud adalah Maulid al-Barzanji, Maulid ad-Diba'i dan al-Burdah. Yang menarik, beberapa darah di Jawa orang membaca maulid tidak hanya waktu perayaan saja namun sepanjang tahun. Setiap malam Jumat, malam Senin atau tujuh hari berturut-turut setelah kelahiran bayi. Jelas ini adalah warga Nahdliyyin.

Aktualisasi Maulid Nabi

Dalam peringatan maulid Nabi selalu diungkap fakta-fakta sejarah tentang baginda Nabi dari kelahiran sampai wafatnya beliau, atau cuplikan keteladanan, akhlakul karimah dan sikap-sikap beliau kepada kawan dan lawan. Potret sejarah kehidupan Nabi akan selalu relevan dan selalu dibutuhkan ibarat oase di padang pasir. Apalagi, bagi masyarakat yang hidup di zaman serba modern seperti saat ini tentunya butuh sesuatu yang bisa mencerahkan, yaitu semangat hidup dan keteladanan.

Banyak kalangan menilai, kegagalan tokoh-tokoh dan pemimpin masyarakat utamanya pejabat pemerintah dalam mengambil simpati rakyat adalah karena tidak adanya keteladanan. Banyak sekali pejabat publik, wakil rakyat atau tokoh masyarakat yang seharusnya memberi contoh yang baik, atau minimal tidak memberi contoh yang tidak baik, justru terjerat berbagai kasus korupsi, asusila, berbagai pelanggaran hukum dan perilaku amoral lainnya. UUD 1945 sebagai hukum yang seharusnya menjadi acuan dalam bermasyarakat dan bernegara seakan sudah tidak suci dan dipatuhi lagi. Ini disebabkan pengaruh demokrasi liberal dengan uang sebagai landasan dalam berpikir dan bertindak.

Di tengah carut marutnya kadaan negeri ini yang sedemikian parah, hendaknya peringatan maulid Nabi tidak hanya menjadi ritual tahunan yang datang-pergi dan silih berganti. Lebih daripada itu semua, sejarah hidup dan keteladanan Nabi bisa kita internalisasikan dalam kehidupan nyata.

Berat memang. Selain kita bukan nabi, jaraknya pun terlalu jauh dari beliau. Namun demikian, bukankah beliau diturunkan kedunia untuk di-copy-paste akhlaknya oleh manusia sehingga apapun itu alasannya tidak bisa menjadi dasar untuk tidak mencontoh beliau. Minimal berusaha mencontoh beliau. Jika hal ini dilakukan secara massal oleh masyarakat Indonesia, harapan bangkit dari keterpurukan akan hadir dan tampil sebagai bangsa yang besar, maju, adil, beradab dan sejahtera. Semoga!


*Ketua PC IPNU Kabupaten Purworejo