Opini

Memahami Agenda Damai Mbah Sholeh Darat

Jum, 11 Oktober 2019 | 07:30 WIB

Memahami Agenda Damai Mbah Sholeh Darat

Mayarakat memperingati haul dan tahlil akbar KH Sholeh Darat ke-118 di Makam KH Sholeh Darat, Kompleks Pemakaman Bergota Kota Semarang, Ahad (24/6/2018). (Foto: NU Online/Kopisoda Semarang).

Oleh Mukhamad Zulfa
 
Kiai Haji Sholeh Darat (1820-1903) adalah satu dari sekian banyak ulama yang berperan strategis melakukan kerja-kerja perdamaian. Perlawanan Mbah Sholeh terhadap kolonial tak menggunakan kontak fisik sebagaimana perjuangan pada umumnya. Beliau lebih memilih jalur pendidikan dan gerakan ideologis sebagai bentuk perlawanan. 

Meminjam pengertian Johan Galtung (2003), Mbah Sholeh melakukan kerja perdamaian melalui dua jalur; kultural dan struktural. Hal inilah yang memberikan inspirasi pada kita bahwa perjuangan tak selalu menggunakan senjata sebagai alat untuk menentang penjajah. 

Penulis percaya, jalan terbaik mengajak kebaikan adalah dengan kebaikan pula (amar ma'ruf bil ma'ruf). Apalagi mengajak kebaikan tapi dengan perbuatan tercela, tentu ini kontraproduktif dengan ajaran Islam itu sendiri. Sudah menjadi kebiasaan ketika antar Muslim bertemu mengucapkan salam “assalamu alaikum”. Bahkan bagi yang mendengar hukumnya wajib untuk menjawab. Ini berarti kedamaian menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam. 

Upaya yang ditempuh Mbah Sholeh Darat pun menggunakan cara yang selama ini diketahui banyak kalangan. Beliau menggunakan aksara pegon sebagai media untuk berkomunikasi dalam keseharian kalangan santri bahkan kalangan awam sekalipun. Awal abad 20 di Jawa pada waktu itu pemahaman lewat penafsiran masih terbatas. Di sisi lain umat membutuhkan pengetahuan agama yang memadai dengan bahasa lokal. Aksara yang diperkirakan muncul abad 15 M ini menjadi strategi yang dimanfaatkan sepenuhnya oleh Mbah Sholeh dalam menuliskan karya. 

Pemilihan aksara pegon memiliki rujukan yang kuat. Mbah Sholeh menulis dalam Al-Mursyid al-wajīz fī ‘ilm al-Qur’ān al-‘azīz menjelaskan bahwa untuk mendapatkan kedekatan dan keridhaan Allah tak harus menggunakan kalam Arab. Kiai Sholeh Darat mengutip QS Ibrahim: 4. Karena Rasulullah Muhammad SAW itu diutus untuk kaum Quraisy, maka Al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab karena supaya kaumnya mengerti. 

Saiful Umam (2013) mengklasifikasikan karya Mbah Sholeh Darat menjadi lima bagian dari 12 karya yang telah ditemukan. Dalam kategori Fiqih Majmū‘at al-sharī‘ah al-kā yah li al-‘awām; Faṣalatān; Laṭā’if al-ṭahārah wa Asrār al-ṣalāh; Mānāsik al-ḥajj wa al-‘umrah wa ‘adāb al-ziyārah li sayyid al-mursalīn. Di bidang Tasawuf, Minhāj al-‘atqiyā’, sharḥ ma‘rifat al-‘adhkiyā’ ’ilā ṭarīq al-‘awliyā’; Matn al-ḥikam; dan Munjiyāt: Meṭik saking Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, Al-Qur’an dan Ulum Al-Qur’an, Fayḍ al-raḥmān fī tarjamat tafsīr kalām malik al-dayyān dan Al-Mursyid al-wajīz fī ‘ilm al-Qur’ān al-‘azīz, sejarah kehidupan Nabi Muhamamd SAW Kitab al-Maḥabbah wa al-Mawaddah fī Tarjamat Qawl al-Burdah dan Sharḥ al-Barzanjī, dan Tauhid Tarjamah Sabīl al-‘Abīd ‘alá Jawharat al-Tawḥīd. 

Di samping itu, Mbah Sholeh mengajari untuk melakukan gerakan kultural apabila tak memiliki daya yang kuat untuk melawan, dalam hal ini adalah penjajah (kolonial). Inspirasi ini memberikan pengaruh besar pada santri selanjutnya untuk melakukan hal yang serupa. Kita dapat melihat dalam peran dan fungsi santri mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercermin dalam Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945. 

Mbah Sholeh Darat merasakan keprihatinan yang mendalam tentang keadaan di masanya. Akhirnya, beliau menuangkan perhatiannya dalam Majmu’at asy-Syari’at al-Kafiyat li al-Awam. Dalam karya ini banyak hal yang menyinggung tentang anti kolonialisme baik secara langsung atau tak langsung. Kemauan untuk menguatkan pemahaman keislaman ini untuk membebaskan kebodohan akibat cengkeraman kaum kolonial. 

Islam sebagai agama perdamaian bukan mengajarkan kekerasaan kepada penganutnya. Kesan wajah Islam yang tampil di permukaan garang dan marah namun, sebenarnya Islam memiliki tampilan yang sederhana dan ramah. Melihat Islam tak bisa hanya sepotong-sepotong saja, perlu secara utuh untuk menggambarkan wajah keberagaman Islam yang memang memiliki banyak madzhab di dalamnya. Dengan kata lain sistem yang kita anut selama ini menjadi solusi alternatif untuk dikembangkan lebih baik lagi dengan memegang teguh nilai-nilai toleransi, moderat, adil dan mufakat dalam bermusyawarah. 

Kekuatan Mbah Sholeh Darat 
 
Martin Van Bruinessen mengategorikan Kiai Sholeh Darat dalam pengarang Jawa yang terkenal. Beliau tak berjalan sendirian dalam melakukan kegiatan keagamaan. Banyak penggerak lain yang juga menguatkan keislaman. Bahkan hingga sekarang ilmunya masih bisa kita rasakan. Banyak pengajian di masjid-masjid dan pesantren di Jawa Tengah yang menggunakan kitab Mbah Sholeh sebagai bahan ngaji dan kajian. 

Jejaring pesantren yang dimiliki Kiai Sholeh Darat tak hanya terbatas lokal Jawa saja. Beliau cukup akrab dengan ulama-ulama besar teman karib ayahnya seperti, Kiai Hasan Bashori, Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, Kiai Murtadlo dan Kiai Jamsari. Selain itu semasa mencari ilmu di Makkah, Kiai Sholeh Darat berjejaring dengan ulama Nusantara yang tinggal di Haramain diantaranya, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mahfudz al-Tirmisi dan Syaikh Kholil Bangkalan. Bahkan jejaring guru-murid menyambungkan simpul kekuatan ulama di Haramain ke Nusantara. Seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama, 1871-1974), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah, 1868-1923), Kiai R. Dahlan (ahli Falak, w. 1939), Kiai Amir Pekalongan (w. 1939), Kiai Idris Solo (w. 1927), Kiai Sya’ban bin Hasan (w. 1946), Kiai Abdul Hamid Kendal (w. 1930), Kiai Thahir, Kiai Sahli Semarang, Kiai Dimyati Termas, Kiai Khalil Rembang (w. 1940), Kiai Munawir Krapayak (1940), KH. Dalhar Watucongol (1870-1959), Kiai Yasin Rembang, Kiai Ridwan bin Mujahid Semarang (w. 1950), Kiai Abdush Shamad Surakartan, Kiai Ali Barkan, Kiai Tafsir Anom Surakarta, bapak dari Kiai R. M. Adnan, Kiai Yasir Areng Rembang dan RA. Kartini Jepara. 

Bila ditilik dalam genealogi keilmuan, Kiai Sholeh Darat merupakan simpul utama yang menghubungkan ulama Nusantara dengan jaringan internasional. Pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, makin banyak ulama tanah Jawa yang belajar di tanah suci termasuk Kiai Sholeh Darat. Dia belajar di Makkah kurang lebih selama 35-45 tahun. Dalam Al-Mursyid al-wajīz fī ‘ilm al-Qur’ān al-‘azīz juga dijelaskan jaringan guru yang telah menjadi mentornya baik di tanah Jawa hingga di Haramain. Bahkan Mbah Sholeh Darat telah mendapat ijazah (sertifikasi) mengajar di Masjidil Haram. Hal ini menjadikan beliau bagian dari penerus jejaring ulama Nusantara yang telah dirintis oleh para pendahulunya.

Di sisi lain, Abdurrahman Wahid (2010) mengingatkan bahwa kitab kuning merupakan elemen dasar, yaitu literatur universal yang dipelihara dan diajarkan dari generasi ke generasi selama berabad-abad, secara langsung berkaitan dengan konsep kepemimpinan kiai yang unik. Kitab-kitab klasik tersebut, bila dilihat dari sudut pandang masa kini, menjamin keberlangsungan “tradisi yang benar” dalam rangka melestarikan ilmu pengetahuan agama sebagaimana yang ditinggalkan kepada masyarakat Islam oleh para imam besar masa lalu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga standar tertinggi ilmu pengetahuan agama yang dapat diraih di masa depan. Hanya dengan cara ini masyarakat Islam mampu menjaga kemurnian ajaran-ajaran agamanya. Demikianlah posisi utama konsep ahl as-sunnah bagi pesantren hingga kini.
 
 
Bila kita mau menelusuri apa yang telah ditulis Mbah Sholeh Darat dalam kitab Tauhid Tarjamah Sabīl al-‘Abīd ‘alá Jawharat al-Tawḥīd beliau menjelaskan dengan gamblang bagaimana cara kita beraswaja. Karya mbah Sholeh ini masuk kategori dalam kitab yang harus terus kita pelajari dan kaji. 

 
Pengaruh Tasawuf 

Fayḍ al-Raḥmān fī Tarjamat Tafsīr Kalām Malik al-Dayyān merupakan karya tulis dalam bidang tafsir. Walaupun tak sepenuhnya sepakat kitab ini menjadi kitab tafsir bahkan lebih masuk sebagai tarjamah. Namun, kitab ini bercorak tafsir isyari. 
 
Isyari merupakan penafsirkan Al-Quran dengan menyalahi maknanya yang terdapat pada kata-kata yang tersurat. Pentafsiran ini dilakukan dengan mempergunakan  isyarat-isyarat yang tersembunyi yang hanya nampak pada pemuka-pemuka tasawwuf, dengan arti kata tafsir yang didasarkan pada isyarat-isyarat rahasia dengan cara memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat.  
 
Hal ini memberikan kesan kepada kita bahwa terdapat pembatasan mengenai mempelajari agama. Bahkan sebagian ulama tak berani menerjemahkan Al-Qur’an. Karena memang pemahaman teks berbahasa Arab tak mudah. Dalam tafsir Mbah Sholeh Darat ini setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin.  Bahwa makna batin yang terkandung terdapat usaha untuk memahami isyarat-isyarat yang tersembunyi. Isyarat-isyarat yang terdapat di balik ayat-ayat Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan yang dibawa ayat-ayat.  Tentu mengisyaratkan bahwa Mbah Sholeh Darat salah seorang ulama cemerlang pada waktu itu. 

Kita bisa melihat salah satu penafsiran dalam QS al-Baqarah 173. Ayat ini menjelaskan tentang hal-hal yang dilarang oleh Allah. Dalam makna dhohir terdapat darah, oleh Mbah Sholeh Darat kata ini diartikan menjadi syahwat. Karena dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa “Jika syahwat tidak bertempat di dalam darah maka syetan tidak bisa masuk ke dalam tubuh manusia”. 

Tentu tak semua orang bisa memberikan perspektif mendalam mengenai keterangan seperti ini. Ibnu Khaldun (1332-1406) menyatakan bahwa konflik selamanya ada dalam masyarakat karena animal power yang mendorongnya untuk agresif. Syahwat atau nafsu hayawaniyyah inilah yang memiliki peran penting untuk membuat kerusakan. Dari makna dhohir dan batin ini kemudian bisa memunculkan tafsir sosial. Tafsir inilah yang merespon antara pembendaharaan tafsir terhadap realitas yang bisa apliklasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Kalau kita perhatikan lebih lanjut bahwa karya Mbah Sholeh Darat berhubungan satu dengan yang lainnya. Karya satu tak berdiri sendiri namun, menguatkan satu dengan yang lainnya. Karena memang lengkap seperti yang telah penulis paparkan dalam 12 karya Mbah Sholeh Darat. 

Taufiq Hakim (2016) menyematkan julukan Al-Ghazalinya Jawa. Mbah Sholeh mampu mengintegrasikan fiqih dan tasawuf. Karena memang Mbah Sholeh Darat tak pernah meninggalkan fiqih demi tasawuf dan tak pernah mencampakkan tasawuf demi fiqih. Keduanya harus berimbang dan mengisi satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, Abdurrahman Wahid (2010) menyebut bahwa fiqih kita bernuansa sufistik. Hal ini bisa dilacak dari masuknya tradisi keilmuan Islam di pesantren bersumber dari dua gelombang. Pertama, pengetahuan keislaman yang datang dari kawasan Nusantara abad ke-13 masehi. Kedua, gelombang para ulama nusantara yang belajar di semenanjung arabia. Kita bisa melacaknya hingga Kiai Bisri Syansuri yang mengajarkan fiqih sufistik seperti Qathr al-Ghaits, an-Nasha’ih al-diniyyah, bidayah al-Hidayah dan kitab-kitab sejenisnya. 
Hadirnya fiqih tasawuf memberikan cara kita mengenal terhadap Tuhan sekaligus mengerti manusia. Di sisi yang lain ini menjadi jalan tengah antara normatifitas dan substatif, sisi ini yang selalu memberikan kita cara untuk tetap berada dalam keadaan wasathiyyah. Dengan demikian fiqih sufistik menjadi salah satu ciri Islam Nusantara, adanya kekhasan dalam tradisi lokal budaya dan adat istiadat yang tetap lestari. 
 
Dari sosok Mbah Sholeh Darat memberikan sumbangsih yang kuat pada Indonesia. Pertama, dengan terbit karya-karyanya mentransfer keilmuan melalui aksara arab pegon menjadi strategi jitu untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat yang ingin mengenal Islam. Kedua, transmisi keilmuan yang menyabungkan antara generasi satu dengan yang selanjutnya serta menjaga mata rantai keilmuan. Ketiga, Kiai Sholeh Darat memberikan teladan (uswah hasanah) sebagai seorang kiai-ulama yang layak ditiru dalam produktivitas karya tulis.
 
 
Penulis adalah anggota Komunitas Pecinta KH Sholeh Darat (Kopisoda) Semarang.

--------------
Artikel ini diterbitkan atas kerja sama NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo RI