Opini

Memahami Bahasa Dakwah Persuasif

Rab, 18 Oktober 2017 | 08:00 WIB

Memahami Bahasa Dakwah Persuasif

Ilustrasi (© shutterstock)

Oleh Muhamad Hizbullah

Dakwah adalah kegiatan mengomunikasikan pesan-pesan kepada mad’u (objek dakwah) disertai upaya memengaruhi dan meyakinkan mitra dakwah bahwa apa yang disampaikan adalah benar. Karena dakwah adalah termasuk dalam kegiatan komunikasi maka ia membutuhkan metode-metode untuk menunjang efektivitas kegiatan komunikasi tersebut.

Di dalam al-Qur’an setidaknya ditemukan lima macam bahasa dakwah yang efektif untuk menjadikan dakwah lebih bersahabat dan ramah dengan mitra dakwah. Bahasa dakwah tersebut adalah qaulan baligha (perkataan yang membekas pada jiwa ), qaulan layyina (perkataan yang sejuk dan lembut), qaulan maysûra (perkataan yang ringan), qaulan karîma (perkataan yang mulia), qaulan sadîda (perkataan yang benar). Bahasa-bahasa dakwah tersebut akan saya persempit pada pembahasan qaulan layyina (perkataan yang sejuk dan lembut). 

Tipologi mitra dakwah dalam memahami bahasa dakwah cukup bervariasi. Ada yang tertarik dengan dakwah yang bersuara keras dan lantang. Dalam hal ini biasanya diwakili oleh kalangan anak muda yang masih membara semangatnya, meskipun begitu tidak sedikit pula dewasa ini pemuda sudah mulai tidak tertarik dengan bahasa dakwah semacam itu karena ia sudah tidak terpengaruhi dengan dakwah yang hanya menekankan keindahan retorika semata.

Ada pula yang tertarik dengan bahasa dakwah yang suaranya lembut dan pelan tanpa harus sorak-sorak dan suara lantang. Kelompok ini biasanya diwakili oleh golongan bapak-bapak yang sudah lanjut usia. Mereka tidak lagi mengharapkan suara-suara yang lantang, keras, dan tegas.Tetapi lebih kepada bahasa yang menyentuh dihatinya dan biasanya dengan bahasa dakwah yang lembut, mulia, dan argumentatif.Karena itu melihat kondisi mad’u yang mengalami kemajuan dalam memahami bahasa dakwah, maka dakwah yang dituntut dewasa ini adalah dakwah persuasif yang di dalamnya tercakup bahasa-bahasa dakwah yang lembut, membekas, mulia, mudah, dan benar. Di samping itu pelaku dakwah dituntut memiliki kecakapan pengetahuan yang luas khususnya dalam masalah-masalah keagamaan, sosial kemasyarakatan,dan juga memiliki kepribadian yang baik serta kesalehan di tengah masyarakat. 

Qaulan Layyina (Perkataan yang Lembut) 

Dalam studi ilmu komunikasi Islam dikenal istilah "qaulan layyina" sebagai sebuah pendekatan metode dakwah yang efektif. Dakwah yang disampaikan oleh juru dakwah harus lebih menekankan kepada "layyina" kata layyina dalam kamus al-Munawir adalah bentuk masdar dari kata lâna, yang mempunyai arti lunak, lemas, lemah lembut, halus akhlaknya. Syekh As-Suyuti dan Al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi ‘ala Tafsir Jalalain mengartikannya dengan sahlan lathîfa, yaitu mudah, lemah lembut. Jadi qaulan layyina adalah sebuah metode dakwah atau berkomunikasi dengan cara lemah lembut yang mengedepankan akhlak dan tata cara yang sopan tanpa merendahkan objek dakwah (mad'u). Dalam Quran Surat Thaha:43-44 dikatakan, “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".

Ibnu Asyur menjelaskan ayat ini dengan kisah Nabi Musa beserta saudaranya Harun ketika akan menghadapi atau menemui Firaun disuruh utk berbicara dengan bahasa yang lembut, merendah, dan tidak kasar. Lalu ada sebagian ahli mengatakan model dakwah seperti ini adalah ditujukan kepada pemimpin atau pemuka masyarakat yngg belum tersentuh pesan-pesan dakwah. Jadi disuruh menyampaikan pesan dakwah kepadanya dengan lembut tanpa kasar dan merendahkannya, sembari dengan memberikan hujjah logika yang rasional.

Pertanyaannya adalah kenapa dalam ayat tersebut Allah menyuruh Musa dan saudaranya berbicara dengan "qaulan layyina" kepada Fir'aun sementara ia sudah jelas-jelas kasar, diktator, dan tidak berperikemanusiaan? Syekh Al-Razi memberikan argumen setidaknya karena dua hal, pertama, Musa sempat tinggal bersama Firaun dan membesarkannya. Kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim cenderung tidak menghargai dan menghormati pesan yang disampaikan dengan cara yang kasar dan keras. Jadi menurut teori ini dakwah harus mengedepankan sisi-sisi kelembutan, kemanusiaan, etika, dan akhlak sembari memperhatikan hujjah dan prinsip prinsip dasar Islam.

Rasulullah sebagai figur komunikator ulung dalam dakwahnya selalu mengedepankan sisi kelembutan sehingga banyak yang simpati kepadanya. Dakwah yang disampaikan secara keras, sorak sorak bukan pada tempatnya diibaratkan seperti suara keledai.Berbicara sampai terpingkal-pingkal menghardik dan menghujat cenderung menghilangkan substansi dakwah itu sendiri.Iswadi Arsyad Laweung dalam salah satu artikelnya mengutip Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka dengan mengutip Mujahid mengatakan bahwa suara keledai sangatlah jelek.Oleh karena itu. Orang-orang yang bersuara keras, menghardik-hardik, sampai seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik-balik, menyerupai suara keledai, tidak enak didengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah Swt. 

Seorang dai hendaknya dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah harus lebih mengedepankan sisi-sisi psikologis mad’u yakni lebih menekankan kepada aspek jiwanya sehingga pesan-pesan yang disampaikan dengan mudah dicerna dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jikalau menyampaikan pesan-pesan dakwah tersebut dengan kasar tentu orang-orang disekelilingnya tidak simpati kepada dakwah. (QS.3: 159). 

sini seorang dai di tuntut untuk memahami ilmu psikologi dakwah supaya mengetahui batasan-batasan dan takaran mana yang perlu disampaikan dan tidak perlu disampaikan.Pada suatu kesempatan di sebuah masjid di daerah Jakarta Selatan saya mendengarkan keluhan ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) yang mengeluhkan salah seorang ustadz yang berceramah di Masjidnya. Ia merasa kecolongan untuk menghadirkan sang ustadz tersebut. Ia mengeluhkan ceramah sang ustadz yang terlalu keras yakni seolah-olah menyalahkan jamaah yang menghadiri pengajian tersebut. Sang DKM mempertanyakan apakah sebuah dakwah harus disampaikan dengan begitu lantang dan keras seraya menyindir dan menyalahkan pihak lain?

Dalam kasus yang sama, di daerah Cirendeu saya juga menyaksikan seorang khatib Jum’at yang sangat menggebu-gebu dengan suara lantang dan keras memaki-maki dan menyindir salah seorang ulama yang mengeluarkan pernyataan kontroversialnya tentang “Rasulullah tidak dijamin masuk surga”. Saya tidak mengetahui apakah sang khatib tersebut sudah menyaksikan secara utuh atau mengklrafikasi pernyataan sang ulama tersebut sehingga dengan entengnya dalam khutbahnya mengatakan “ulama sû’ sesat dsb). Saya sendiri yang mengikuti dan menyaksikan secara full video pernyataan tokoh tersebut, memang benar sang ulama tersebut menyatakan “rasulullah tidak dijamin masuk surga” tetapi, ia melanjutkan “hanya yang masuk surga karena Rahmatnya” Hadits tersebut terdapat dalam riwayat Muslim nomor Hadits 2817 yang berbunyi, “Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku (Muhammad), kecuali dengan rahmat dari Allah” sampai di sini besar dugaan saya sang khatib tidak melihat dan menyaksikan secara full pernyataan sang ulama tersebut atau mungkin hanya sekadar mengikuti dari pernyataan-pernyataan orang tanpa ingin berusaha mencari kebenaran pernyataan tersebut. Yang membuat semakin parah adalah pernyataan tersebut disampaikan dalam sebuah forum yang sangat mulia yaitu mimbar khotbah yang menyulitkan jamaah intruksi atau menanyakan kebenaran informasi tersebut.

Sampai di sini dari dua kasus tersebut dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang tidak saya paparkan melalui tulisan ini sungguh berbahaya kalau seorang dai tidak memiliki kecakapan, wawasan, dan sikap kehati-hatian terutama dalam masalah-masalah yang di luar wewenang dan pengetahuannya. Dai tersebut tidak hanya akan merusak citra dai tetapi juga substansi dan pesan-pesan dakwah yang dibawanya. 

Fenomena dan Problematika Dai 

Dakwah yang persuasif tidak hanya ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi tetapi juga ditentukan oleh pribadi, citra, dan karakter sang dai. kefektifan dakwah tersebut sangat ditentukan oleh etos sang dai. Sikap, perbuatan, dan tingkah lakunya menjadi role model bagi masyarakatnya.Karena itu dai selalu dituntut konsisten (istiqomah) terutama dalam hal-hal kebaikan. Sebab bagaimana bisa efektif sebuah pesan yang dibawanya kalau sang dainya selalu melanggar dan gemar melakukan kemaksiatan. Minimal bagi sang dai apa yang diucapkannya harus di terapkan terlebih dahulu dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sang dai kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Pertama, ucapannya harus sesuai dengan perbuatan.Kedua, pakaian yang dikenakannya harus sesuai dengan cara pandang masyarakat sekitarnya. Ketiga, menjadi problem solving di tengah masyarakatnya.Ketiga, kemampuan membaca seluk beluk karakter komunikannya sehingga bisa mengatur strategi yang tepat dengan kondisi masyarakatnya.

Seorang komunikator atau dai yang memperhatikan point-point tersebut diharapkan terjadi interaksi sosial yang lebih kongkret baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik bagi komunikan (mad’u) dalam kehidupan real di tengah masyarakat.ketika seorang komunikator berniat menyampaikan pesan kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi suatu proses. Pesan komunikasi ini terdiri dari dua aspek, yakni isi pesan dan lambang.Isi pesan umumnya adalah pikiran, sedangkan lambang umumnya adalah bahasa. (Onong : 2003).

Antara isi pesan dan lambang harus menjadi titik point perhatian komunikator.Meskipun begitu kedua hal tersebut masing-masing memiliki titik tekan yang berbeda-beda.Isi pesan misalnya bisa dilihat dari keluasan wawasan seorang komunikator yang menyampaikan pesan secara verbal kepada komunikan.Seorang komunikan bisa dengan cermat menerka dan menangkap pesan dari seorang komunikator selama disampaikan komunikator dengan tegas, lugas, dan rasional.Dalam hal ini isi pesan lebih mencakup kepada sisi-sisi luar dan masih abstrak bagi seorang komunikator.Lain halnya dengan lambang (bahasa).Ia mampu menyentuh dua sisi sekaligus yakni pesan dan juga perasaan terutama untuk membangun kesamaan-kesamaan dalam proses komunikasi. Lambang (bahasa) baik yang bersifat abstrak maupun kongkret dengan mudah seorang komunikan membahasakan menjadi bahasa verbal dalam kehidupan. Misalnya, seorang komunikator ketika menyampaikan pesan dengan terbata-bata atau simbol mata yang tidak fokus maka akan tampak kedalaman pengetahuan dan wawasan komunikator. Atau seorang komunikator yang berafiliasi kepada suatu golongan/kepentingan tertentu, maka komunikan dengan mudah mengetahi alur, jalan pikiran, dan keberpihakan sang komunikator melaui bahasa atau simbol yang dikenakannya. 

Ahmad Atabik dalam artikelnya tentang “konsep komunikasi dakwah persuasif” mengatakan, Bahasa dapat menjembatani dua atau lebih pikiran dan perasaan terutama untuk membangun kesamaan-kesamaan yang diperlukan dalam proses komunikasi. Jembatan penghubung inilah kemudian diekspresikan secara verbal melalui bahasa. Dalam banyak hal, bahasa dapat mempermudah menemukan kesamaan rujukan sejauh simbol-simbol (kosakata) yang digunakannya dapat dimaknai secara sama pula.

Dua pesan komunikasi di atas menjadi sebahagian kendala sang dai sehingga tidak sedikit masyarakat banyak yang mengeluh susahnya terjadi perubahan di tengah masyarakat padahal para muballigh, ustadz, dai, dan penyeru kebaikan sudah cukup banyak di lingkungannya.

Ada dua potensi dalam diri komunikan yang dapat dijadikan acuan oleh komunikator dakwah dalam menyampaikan pesannya, yaitu 1) kemampuan berfikir, mengarah kepada sejauh mana komunikan senang berfikir mendalam, dan 2) kemampuan merasa (perasaan), mengarah kepada apakah komunikan lebih senang imbauan emosional pesan-pesan yang menggembirakan atau pesan yang sedih. (Maarif : 2010, 41-42)


Penulis adalah pengurus Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jakarta dan Dosen IIQ Jakarta