Opini

Memaknai ‘Tabhek’ dalam Tradisi Pesantren

NU Online  ·  Jumat, 27 Oktober 2017 | 09:00 WIB

Memaknai ‘Tabhek’ dalam Tradisi Pesantren

Ribuan santri makan nasi tabhek pada Hari Santri 2017 di lapangan raya Pesantren Nurul Jadid (Foto: © Jurnas)

Oleh Mushafi Miftah

Nasi tabhek merupakan ciri khas pondok pesantren terutama daerah Tapal Kuda. Istilah ini merujuk pada nasi yang dibungkus pakai  daun kemudian digulung dan diikat melalui tali. Setelah diikat, nasi tabhek ini direbus kembali agar memiliki daya tahan atau  tidak mudah basi. Nasi tabhek ini biasanya dibuat oleh wali santri untuk dikirim pada putra-putrinya yang berada di pondok pesantren. Biasanya yang akan mendapatkan kiriman nasi tabhek adalah santri yang rumahnya tidak terlalu jauh dari pesantren—dalam konteks daerah Tapal Kuda biasanya santri yang berasal dari Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang dan Banyuwangi. Sedangkan santri yang dari luar Jawa seperti Sulawesi, Kalimantan, Jakarta sulit untuk mendapatkan kiriman tabhek. Meski demikian, mereka juga akan tetap menikmati tabhek ketika ada temannya yang dikirim. Mereka ikut menikmatinya bersama santri yang lain.  

Nasi tabhek merupakan makanan favorit bagi santri terutama di daerah Tapal Kuda. Walaupun dengan menu yang sederhana (tahu+tempe+sambal), akan tetapi memiliki kenikmatan yang tidak dimiliki oleh makanan lain. Sehingga semua santri selalu ingin menikmatinya. Di pesantren nasi tabhek ini dimakan secara rame-rame mulai dari lima santri sampai sepuluh santri atau teman sekamar di pondok pesantren. Yang ikut menikmati nasi tabhek tidak hanya mereka yang berstatus santri biasa, akan tetapi santri yang berstatus Ustad juga ikut menikmatinya. Bahkan tak jarang lora atau Gus (sebutan untuk putra pengasuh pesantren) tidak canggung untuk berbaur bersama para santri untuk menikmati sajian tabhek. Inilah indikasi bahwa tabhek makan sederhana yang magnet pemersatu santri, baik ketika masih di pondok maupun setelah kembali ke rumahnya masing-masing.

Istilah tabhek kian populer setelah mendapatkan rekor MURI dunia pada peringatan Hari Santri tanggal 22 Oktober 2017 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton. Nasi tabhek ini masuk rekor MURI dunia karena sebagai makan khas pesantren yang dimakan secara bersama-sama dengan jumlah santri yang cukup fantastis, yakni kurang lebih dua belas ribu santri putra-putri. Makan tabhek bersama dalam suasana peringatan Hari Santri sebagai sarana untuk mengembalikan hakikat kesantrian, yakni kesetaraan, kebersamaan, gotong royong, dan solidaritas. 

Simbol Masyarakat Tanpa Kelas

Istilah masyarakat tanpa kelas pertama kali dipopulerkan seorang filsuf asal Jerman Karl Mark. Istilah ini merujuk pada masyarakat yang semua anggotanya tidak memiliki kelas sosial, seperti kekakayaan, pendapatana, pendidikan, kebudayaan, dan jejaring sosial. Teori masyarakat tanpa kelas ini dirancang sebagai otokritik terhadap kaum kapitalis yang seringkali menindas kaum proletar. Karena jika kelompok kapitalis tumbuh, hanya akan tumbuh terus pada gilirannya akan menimbulkan kesengsaraan massal. Karena pada hakikatnya, manusia memilik hak sama sehingga harus diberlakukan secara sama tanpa melihat kelas-kelas sosial. 

Begitu juga dalam dunia pesantren, santri tidak mengenal kelas-kelas sosial, semuanya melebur menjadi satu identitas yakni santri, baik berasal dari keluarga kaya, putra pejabat, putra kiai, dari desa maupun dari kota semuanya sama. Ritual makan nasi tabhek merupakan sebuah simbol kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai kesetaraan (kehidupan tanpa kelas). Dalam konteks membangun bangsa ini, kita perlu belajar pada kehidupan santri, dimana suatu kehidupan yang mengikis nilai-nilai kapitalisme dan borjuisme. Membangun bangsa Indonesia yang kuat tidak bisa dilakukan secara individu atau kelompok tertentu akan tetapi membutuhkan kesadaran kolektif dari komponen bangsa ini, sehingga keadilan sosial dan ekonomi yang merata bisa dirasakan semua rakyat Indonesia. Membangun kolektiftas semacam ini, kita perlu belajar pada santri yang menjadikan nasi tabhek sebagai wasilah persatuan dan silaturrahim para santri.

Walaupun tabhek ini hanya sebuah makanan santri, tapi perannya dalam membangun karakter santri cukup penting. Sebab, dari sini kita akan melihat begitu bermaknanya tabhek bagi kehidupan santri. Ia tidak hanya berfungsi sebagai makanan tapi sarana membangun solidaritas, kesetaraan dan kepedulian sosial pada santri. Karena itu, suasana makan nasi tabhek yang penuh kekeluargaan dan keakraban dapat dipahami sebagai simbol kesetaraan diantara para santri, tanpa dibatasi oleh kasta sosial. Bagaimana tidak, dalam setiap santri makan nasi tabhek yang muncul adalah sisi kebersamaan dan solidaritas sosial. Dalam suasana makan nasi tabhek tersebut kita akan menemukan semangat gotong royong yang dapat menjadi perekat antar sesama santri. Dalam konteks itulah makan nasi tabhek tidak hanya ritual makan bersama akan tetapi sebagai sarana untuk membangun kekompakan, kesetaraan, kesederhanaan, gotong royong, solidaritas dan mengasah kepedulian sosial. 


Melestaraikan Tabhek

Mengingat pentingnya nasi tabhek dalam membangun karakter santri, sudah selayaknya tradisi makan nasi tabhek ala santri terus dilestarikan dalam rangka mengasah dan mebiasakan kepekaan sosial santri. Sebab, kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan agama jika tidak memiliki kecerdasan emosional, maka santri hanya akan mejadi pribadi individual. Melalui sarana makan nasi tabhek ini santri tidak hanya memiliki kemampuan dibidang ilmu agama dan sains akan tetapi juga mampu berinteraksi secara baik dengan sesama santri maupun masyarakat. 

Akhirnya, meski demikian identitas kesantrian yang memiliki kewajiban belajar harus terus didorong agar tetap memiliki keunggulan pengetahuan di bidang agama. Sebab, aspek –aspek lain merupakan penopang dalam menguatkan keilmuan santri. Akan tetapi tabhek hanya sarana untuk melatih mentalitas santri agar tetap sederhana dalam berprilaku, baik dalam berpakaian, makan dan lain sebagainya. Sehingga seorang santri disamping memiliki keilmuan yang mumpu juga memiliki kepekaan sosial, yang terus memiliki kepedulian terhadap sesama. Wallahu a’lam.


Penulis adalah penikmat tabhek ketika nyantri di PP Nurul Jadid  Paiton; sekarang mengabdikan dirinya sebagai dosen tetap di IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan sebagai peneliti di BEDUG INSTITUTE Jawa Timur