Opini

Haji sebagai Jalan Kembali dari Kepalsuan Diri

NU Online  ·  Sabtu, 14 Juni 2025 | 10:07 WIB

Haji sebagai Jalan Kembali dari Kepalsuan Diri

Jamaah haji Indonesia (Foto: MCH2025)

Ada satu penyakit halus yang terdalam dalam jiwa manusia modern, (dan barangkali dalam diri manusia setiap zaman) yang kerap tak disadari: penyakit ad-da‘āwa (الدّعاوى), yaitu kecenderungan manusia yang mengklaim sesuatu atas kuasa diri. Manusia digoda dengan perasaan mampu, merasa memiliki kehendak sendiri dan mengendalikan semesta. Merasa bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini adalah hasil dari kehendak dan usaha pribadi.


Ini bukan hanya tentang kesombongan yang kasat mata, tapi tentang ilusi keberdayaan yang menyelinap dalam kesadaran. Manusia merasa seakan-akan dirinya adalah poros dari segala keputusan, pencapaian, bahkan kebahagiaan. Padahal, dalam terangnya tauhid, semua itu tidak lebih dari klaim palsu. Sebagaimana bayangan yang tampak hidup namun tak memiliki ruh, begitu pula klaim-klaim tentang diri kita: tampak nyata tetapi kering keronta, hampa dari hakikat.


Kesadaran yang Membebaskan: Al-Inābah
Dalam tradisi ruhani Islam, terdapat satu konsep luhur yang menandai kematangan seorang hamba: al-inābah (الإنابة). Ini bukan sekadar "kembali" dalam arti gerak tubuh, melainkan kembalinya kesadaran—secara total dan eksistensial—kepada Allah.

 

Seorang yang sampai pada maqam ini menyadari bahwa segala kemampuan yang ia banggakan sejatinya hanyalah milik Allah. Eksistensinya hina, kecil dan tak mampu berdiri sendiri, kalaulah bisa tegak, hanya karena izin dan kasih sayang Allah.


Bahkan kehendak manusia yang dianggap sebagai milik pribadi, sesungguhnya tunduk pada kehendak Yang Maha Menentukan. Al-Inābah memberikan jawaban pada sebuah momen pencerahan, ketika kabut ego memudar dan cahaya ruhani menerangi pusat kesadaran seorang hamba.


Kesadaran tentang Tiada Daya kecuali Allah
Kita perlu kembali ke tempat asal manusia—yakni kondisi spiritual suci di mana tidak ada yang melekat kecuali dengan kehambaan sejati. Sebab sejatinya, tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung (لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ العَلِيِّ العَظِيمِ). Seorang hamba tidaklah memiliki kuasa atas segala urusannya. Ia tak berdaya menolak kebutuhan ataupun mendatangkan manfaat. 


Segala sesuatu hanya mungkin terjadi jika Allah berkehendak. Jika dalam diri masih melekat penyakit ad-da‘āwa—yakni kecenderungan mengklaim sesuatu atas kuasa diri—maka kita tidak akan benar-benar menemukan "tempat kembali" yang sejati. Sebab antara hamba dan Tuhannya masih terdapat hijab/dinding ilusi yang memisahkan, membutakan dan menjauhkan.


Karena itu, selain pentingnya menempuh jalan al-Inābah, kita perlu melatih diri untuk menumbuhkan rasa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh, yaitu sebuah perasaan di mana setiap gerak hati dan segala ikhtiar manusia, ada penyerahan total kepada kekuatan Ilahi. Jika hijab ad-da‘āwa itu berhasil kita sirnakan dalam diri kita, niscaya jalan pulang kembali akan terbuka—bukan sekadar samar, tetapi terang benderang. Kita akan kembali dengan hati ringan dan jiwa merdeka menuju fitrah yang telah lama menunggu.


Jalan Taubat: Kembali ke Tanah Asal Jiwa
Taubat sejati bukan sekadar meninggalkan kesalahan moral atau perilaku menyimpang. Ia adalah ar-rujū‘ ilā waṭanil aṣlī (الرُّجُوعُ إِلَى وَطَنِ الأَصْلِيّ)—kembali ke “negeri asal” ruhani manusia, yaitu fitrah kehambaan. Sebuah kondisi batin yang jernih, ikhlas, dan sepenuhnya berserah kepada Sang Pencipta. Di titik ini, seorang hamba mulai menyadari bahwa Ia tidak memiliki apa pun, selain apa yang Allah pinjamkan. Ia tidak mampu berbuat apapun, kecuali atas pertolongan-Nya. Ia tidak bisa menggantungkan harapan kepada selain Dia.


Taubat seperti inilah yang mengubah orientasi hidup manusia. Dari yang sebelumnya berpusat pada “Aku”, menjadi kembali berporos pada “Engkau (Allah)”.


Thawaf: Simbol Kosmis Kembali Menuju Fitrah
Barangkali tidak ada ritual ibadah yang lebih filosofis daripada thawaf. Gerakannya melingkar, berlawanan arah jarum jam, mengitari satu titik pusat: Ka'bah. Tapi hakikat thawaf bukan sekadar ritual fisik; ia adalah simbol perjalanan batin.


Thawaf mengajarkan bahwa hidup bukan tentang menjadi pusat, melainkan tentang mengitari pusat yang sejati: Allah. Kita berjalan bukan untuk menemukan sesuatu yang baru, tapi untuk kembali—kembali ke poros tauhid, ke arah yang hakiki, menuju fitrah yang telah lama kita tinggalkan dalam kebisingan dunia dan kesombongan eksistensial. Bukankah selama ini, diam-diam kita telah thawaf mengelilingi ego? Menjadikan ambisi, reputasi, dan kehendak diri sebagai titik pusat?


Thawaf mengajarkan kita untuk melepaskan itu semua. Untuk berputar kembali. Untuk menegaskan bahwa pusat dari segala gerak, segala cinta, segala harap, bukanlah diri sendiri, melainkan Dia.


Ketika ritual ibadah haji selesai, tiba saatnya thawaf wada’—perpisahan fisik dengan Baitullah—sebenarnya ada satu undangan sunyi dari langit: bahwa yang seharusnya ditinggalkan bukan hanya Makkah, tetapi juga klaim-klaim palsu atas diri. Yang seharusnya dibawa pulang bukan hanya oleh-oleh, tapi kesadaran baru bahwa hidup ini bukan tentang memiliki, melainkan tentang mengabdi.


Adib Fuad, alumnus Madrasah Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Saat ini menjabat sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU Papua Selatan dan Anggota DPD RI Perwakilan Provinsi Papua Selatan.