Opini

Membaca Ulang Sejarah Konflik Israel dengan Palestina

Sen, 25 Desember 2017 | 22:01 WIB

Membaca Ulang Sejarah Konflik Israel dengan Palestina

Ilustrasi (pinterest.com)

Oleh Moh. Salapudin

Setelah Presiden Amerika Donald Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mengumumkan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, pemberitaan mengenai konflik Israel dengan Palestina kembali memanas. 

Konflik antara Israel dengan Palestina sebenarnya bukanlah berita baru. Dalam narasi sejarah, konflik antara Israel dengan -bahkan tidak hanya Palestina, melainkan negara-negara Arab- tertulis dengan gamblang. Sebagaimana ditulis Tom Segev dalam buku berjudul “1967, Israel, The War, And The Year That Transformed The Middle East”, Israel pernah terlibat konflik dengan Mesir pada Juni 1967. Kala itu, 183 pesawat pembom tempur Israel secara bergelombang menggempur Mesir.

Mesir kalah. Namun kekalahan dalam perang 1967 itu membuat hubungan Mesir dengan Suriah, negara yang sebelumnya juga terlibat konflik dengan Israel, makin erat. Presiden Mesir saat itu, Anwar Sadat, dan Presiden Suriah, Hafez al-Assad sepakat menggempur Israel secara bersamaan. Perang pun pecah kembali pada 1973. 

Suriah menggempur Israel dari Utara dan Mesir menggempurnya dari selatan. Setelah pecah perang selama 19 hari, 7.000 tentara Mesir tewas dan terluka, 11.600 tentara Israel tewas dan terluka, dan 9.100 tentara Suriah tewas dan terluka. Mesir kehilangan 1.100 tanknya, Israel kehilangan 840 tank, dan Suriah paling banyak, yakni 1.200 tank.

Konflik antara Israel dengan Palestina sendiri, bermula ketika gagasan pendirian tanah air (homeland) Yahudi mengemuka di kalangan tokoh Zionis. Tokoh paling berpengaruh dalam Zionisme selama abad ke-19 adalah Theodor Herzl (1860-1904). Pada 1896, ia menerbitkan buku berjudul “The Jewish State: an Attempt at a Modern Solution to the Jewish Question”. 

Menurut Herzl, satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah Yahudi di Eropa adalah dengan menciptakan “homeland” Yahudi. Sebenarnya, wilayah yang pertama kali ditunjuk untuk dijadikan “homeland” Yahudi bukanlah Palestina. Dalam Kongres Zionis keenam pada 1903, setelah melalui perdebatan panjang, gagasan Herzl untuk menjadikan Uganda sebagai “homeland” Yahudi dipilih. 

Gagasan Herzl tersebut didukung oleh 295 suara melawan 177 suara menentang, sementara 100 suara abstain. Namun pada 1904 Herzl meninggal dunia dalam usianya yang ke-44. Setahun setelah meninggalnya Herzl, Kongres Zionis ketujuh akhirnya menolak apa yang disebut dengan “Rencana Uganda” yang dicetuskan Herzl.

Pada 1905 dilakukan lagi pemungutan suara dalam sebuah kongres dan mereka memutuskan Palestina sebagai “homeland” kaum Yahudi. Dari sinilah persoalan dimulai. Karena sejak Palestina mereka putuskan sebagai “homeland” bagi kaum Yahudi, terjadilah gelombang imigrasi ke Palestina. Pembangunan “homeland” Yahudi itu dipuncaki dengan pecahnya perang 1948 yang oleh Israel disebut sebagai perang kemerdekaan Israel; sebaliknya, bagi bangsa Arab, inilah awal perang penjajahan.

Jalur Gaza

Dalam ingatan sejarah orang-orang Yahudi, sebenarnya Gaza dikenal sebagai kota dengan banyak pesta, bergaya hidup hedonis, pusat perdagangan, dan kemewahan dunia, sehingga bukanlah tempat ideal bagi orang-orang Yahudi saleh. Namun menurut mereka Gaza juga satu pusaka milik suku Yehuda, keturunan Yakub yang disebut juga Israel. Gaza adalah bagian dari Yudea, sebutan wilayah yang dikuasai suku Yehuda. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Raja Salomo, tahun 960 sampai 922 SM, Gaza menjadi batas paling barat kerajaan tersebut.

Dogma Yahudi juga sudah menahbikan bahwa bangsa Filistin adalah musuh abadinya. Rivalitas bangsa Filistin dengan keturunan Yakub memang memiliki cerita panjang. Salah satu cerita yang menarik dikemukakan di sini adalah kisah Samson dan Delilah. Dikisahkan, Samson adalah laki-laki perkasa dengan rambut gondrong yang tak pernah dicukur sejak lahir. 

Saking perkasanya, ia dapat mengalahkan singa dengan tangan kosong. Namun, kisah cintanya dengan Delilah menjadi awal petaka baginya. Delilah adalah gadis menawan Filistin yang sengaja diumpankan para pemimpin Filistin kepada Samson yang dianggap sebagai bahaya besar bagi mereka. Delilah dipesan untuk mencari tahu rahasia kekuatan Samson dengan imbalan uang.

Samson bertekuk lutut di hadapan Delilah dan menceritakan rahasia kekuatannya. Ketika sudah diketahui kelemahan Samson (rahasia kekuatannya ada pada rambutnya), Delilah menggoda Samson untuk tidur di pangkuannya. Setelah Samson tertidur, Delilah memanggil seseorang untuk mencukur tujuh utas rambutnya sehingga lenyaplah kekuatan Samson.

Apapun alasannyadan siapa pun pemenangnya, peperangan selalu menyisakan kerugian. Selama 22 hari ofensif militer yang dilancarkan Israel sejak 27 Desember 2008, The Palestinian Center for Human Rights (PCHR) mencatat korban tewas di pihak Palestina mencapai 1.251 orang, 179 orang di antaranya adalah pejuang Hamas, 168 polisi, 292 anak-anak, dan 97 perempuan.

Belum lagi korban luka-luka yang menurut Jaber Wishah, Deputy Direcor of The Palestinian Center for Human Rights, mecapai 4.356 orang, di mana 1.133 di antaranya adalah anak-anak dan 735 korban lainnya adalah perempuan. Korban itu tidak sebanding dengan korban di pihak Israel di mana menurut catatan Israel Defense Forces (IDF) tiga penduduk sipil dan 10 tentara Israel tewas.

Perang Israel dengan Palestina memang bukanah perang yang sepadan. Perang Israel dengan Palestina, meminjam bahasa Taufik Ismail (1989), adalah perang laras baja melawan timpukan batu.

Penulis adalah Santri Futuhiyyah Mranggen Demak, Alumnus UIN Walisongo Semarang.