Opini HARLAH PANCASILA

Meneguhkan Pancasila Sebagai Konsensus Berbangsa

Ahad, 31 Mei 2020 | 14:10 WIB

Meneguhkan Pancasila Sebagai Konsensus Berbangsa

Ilustrasi. (NU Online)

Oleh Syakir NF

Masih ada oknum yang berupaya melakukan berbagai cara agar menegakkan Islam sebagai dasar negara. Salah satu cara mereka adalah dengan mendelegitimasikan Pancasila. Bahkan, mereka membandingkan dua hal tersebut, Islam dan Pancasila, yang jelas-jelas tidak apple to apple. Namun, hal tersebut di mata awam akan sangat mengesankan sehingga membenarkan argumentasi orang yang berupaya untuk mendelegitimasi itu.

Pancasila merupakan falsafah negara yang sudah menjadi sebuah kesepakatan antarpihak dalam negeri. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Indonesia terdiri dari ratusan suku, ratusan bahasa, dan berbagai agama dan aliran kepercayaan. Pancasila hadir sebagai falsafah yang mempersatukan semua perbedaan tersebut.

Masyarakat Islam pada saat perumusan Pancasila juga sebetulnya mengupayakan syariat Islam sebagai sebuah ideologi negara. Akan tetapi, hal tersebut mendapatkan pertentangan dari masyarakat lain yang tidak beragama Islam, bahkan juga oleh kalangan Muslim sendiri. Di sinilah letak kompromi masyarakat Muslim Indonesia. KH Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa perjuangan untuk hal tersebut sejak saat itu telah berakhir.

Pancasila tidak diputuskan oleh seorang pribadi saja, melainkan oleh banyak pihak dengan berbagai latar belakang melalui sebuah forum musyawarah yang disebut dengan Panitia Sembilan, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Abdul Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Laku demikian sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159, “... dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu)...”.

Pakar Tafsir Al-Qur’an Indonesia Quraish Shihab (1996: 470) menulis dalam bahwa meskipun perintah musyawarah dalam ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad, tetapi menunjukkan bahwa ayat tersebut berlaku umum kepada setiap Muslim, utamanya kepada setiap pemimpin agar bermusyawarah dengan para anggotanya.

Keputusan musyawarah merupakan ketetapan yang harus ditaati bersama mengingat tanggung jawab akan keputusan tersebut dipikul bersama. Bahkan, seorang Nabi pun tidak berani menentang hasil yang telah ditetapkan dalam suatu permusyawaratan tersebut.
 
Hal ini tercatat dalam sebuah hadis yang dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-‘Aḍim, bahwa Nabi pernah berkata kepada Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar bin Khattab, “Kalau kita sudah bersepakat dalam sebuah musyawarah, tidak akan aku mempertentangkan kamu berdua.”

Hal itu juga yang harusnya dipikul bersama oleh seluruh bangsa Indonesia mengingat Pancasila sudah menjadi kesepakatan seluruh elemen bangsa di negeri ini. Artinya, kita sebagai bangsa Indonesia sudah sepatutnya untuk menaati dan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara yang sudah final. Sembilan orang yang tersebut di atas sudah mewakili berbagai golongan.

Lebih lanjut, Imam Ibn Katsir juga mengutip hadits lain, bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib tentang suatu rencana. Ia menjawab “musyawarahkan dengan ahlinya kemudian ikuti mereka.”

Panitia Sembilan tentu bukanlah orang yang sembarangan. Mereka merupakan pimpinan dari kelompok atau organisasinya masing-masing. Tidak lagi diragukan kredebilitasnya sebagai orang pilihan yang memiliki pemikiran cemerlang dengan keahliannya di bidangnya tersendiri tanpa menyampingkan pengetahuannya dalam ilmu tatanegara.

Kehadiran mereka dalam forum tersebut tidak dengan tangan hampa. Mereka masing-masing membawa hasil olah pikirannya tentang dasar berbangsa dan bernegara itu. Lima poin inti menjadi kesepakatan.
 
Namun, urutan dan redaksinya mengalami perubahan sedemikian rupa sampai dihasilkan Pancasila sekarang. Sebelumnya, sila ketuhanan yang diusulkan oleh Bung Karno diletakkan di urutan terakhir. Namun, para anggota lain meminta sila tersebut diletakkan pada posisi pertama.

Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman “... serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antarmereka,...” (Q.S. al-Syȗra: 38)

Quraish Shihab (1996:471) dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan mengungkapkan bahwa ayat tersebut merupakan pujian terhadap kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Muhammad dan menyepakati keputusan musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari. Meskipun demikian, ia juga menyatakan bahwa ayat ini berlaku umum mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.

Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani mengungkapkan bahwa urusan yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan urusan tertentu, tetapi urusan umum yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan akhirat mereka. Sementara musyawarah yang dilakukan dalam memutuskan suatu perkara itu dilakukan bersama saudara-saudara mereka tanpa sewenang-wenang terhadap pandangan mereka.

Oleh karena itu, Pancasila sudah final dan tidak dapat diganggu gugat. Masyarakat Indonesia yang tidak secara langsung mengikuti dan menyepakati hal tersebut tinggal mengisi dan menurunkan lima sila itu ke dalam praktik hidup sehari-hari.

Para ulama sejak dulu melihat bahwa diputuskannya Pancasila sebagai dasar bernegara dan berbangsa merupakan pilihan yang paling maslahat. Pasalnya, jika hal tersebut tidak disepakati, sebagian masyarakat dari Timur mengancam akan memisahkan diri dari NKRI. Hal itu berarti jika Pancasila tidak disepakati oleh kalangan Muslim, maka keutuhan bangsa menjadi taruhannya.

Maka, demi kemaslahatan keutuhan bangsa dan negara, Pancasila disepakati oleh Muslim. Hal itu juga sudah sesuai syariat Islam. Mengutip Ahmad al-Raisuni, Abdul Moqsith Ghazali dalam tulisannya yang berjudul Metodologi Islam Nusantara mengungkapkan bahwa para ulama yang menyepakati kemaslahatan sebagai sumber hukum Islam mengatakan bahwa di mana ada maslahat, di situ ada syariat, dan di mana ada syariat, di situ ada maslahat.

Bahkan, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) itu menjelaskan bahwa kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh Al-Qur’an dan Hadis pun bisa dijadikan sebagai sumber hukum dengan catatan kemaslahatan tersebut tidak dinegasikan nas Al-Qur’an dan Hadits.

Hal itulah yang menjadi landasan hukum para ulama Indonesia menerima Pancasila sebagai ideologi dan landasan bernegara. Tentu hal demikian sama sekali tidak bertentangan dengan hukum dan syariat Islam sehingga tidak patut juga untuk dipertentangkan. Kita sebagai masyarakat saat ini tinggal mengikuti ketetapan mereka sebagai para pendahulu.
 

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)