Opini

Menggali Fikih Aswaja Mbah Sahal

Sen, 17 Maret 2014 | 01:02 WIB

Oleh Mamang M. Haerudin

Bergumul dengan Islam Indonesia berarti ia bergumul dengan pesantren. Dan itu artinya bergumul dengan tradisi fikih dan Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah). Hal inilah yang dirumuskan secara mengesankan oleh Mbah Sahal, sapaan untuk al-Maghfurlah KH. MA. Sahal Mahfudh, dalam bukunya ‘Nuansa Fiqh Sosial’, yakni fikih Aswaja yang kontekstual dengan zaman dan dinamis akan perubahan.<>

Ada yang berbeda dari pemahaman dan pemikiran antara fikih yang diilhami Mbah Sahal dengan arus utama. Jika arus utama hanya mengandalkan fikih secara qauli (tekstual), Mbah Sahal menggagas fikih yang juga berparadigma manhaji (metodologis). Pada akhirnya pemahaman fikih manhaji ini akan mendorong sebuah bangunan Aswaja yang aktual dan aplikatif, Aswaja yang betul-betul menyentuh akar dan realitas sosial masyarakat.

Semangat dinamisasi fikih Mbah Sahal ini sekaligus ingin memberikan pencerahan kepada pesantren dan umat Muslim pada umumnya bahwa (produk) fikih tidak hadir di ruang hampa, melainkan ia adalah upaya responsif para ulama atas realitas sosial yang terbatas oleh zaman. Kritik Mbah Sahal benar efektif terutama saat dihadapkan dengan tradisi bahtsul masail (pembahasan masalah) pesantren dan NU yang berkecederungan tekstualis. Penjelasan bernada kritik itu dinyatakan Mbah Sahal dengan tegas, bahwa seringnya kegagalan masalah dengan kitab kuning membuat pesantren memiliki tradisi aneh dalam menjawab permasalahan, yaitu dengan memberikan hukum mauquf. Secara jujur, lanjutnya, harus diakui bahwa tradisi ini mencerminkan ketidakmampuan mengambil keputusan final. 

 

Fikih Kontekstual-Dinamis

Fikih sosial yang digagas Mbah Sahal juga sejalan dengan rumusan hasil halaqah NU, RMI, dan P3M yang memiliki sekurangnya lima ciri pokok. Pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, perubahan pola bermazhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’); Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.

Konsistensi Mbah Sahal akan paradigma fikih sosial begitu nyata, misalnya ketika membedah kontroversi lokalisasi prostitusi para pedila (perempuan yang dilacurkan). Dalam bukunya Mbah Sahal berpendapat bahwa pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan fiqh sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap perempuan pekerja seks komersial.

Pendapat ini bagi sebagian pihak mungkin terasa mengagetkan, sehingga akan dituduh sebagai sebuah dukungan akan maraknya perzinahan. Tetapi bagi yang terbiasa mengaji ushul fikih di pesantren, sesungguhnya pendapat itu didasarkan pada kaidah idza ta’aradha mafsadatani ru’ya a’zhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihima, apabila bertemu dua keburukan, maka pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang dampak keburukannya lebih kecil. Upaya ini bermakna bahwa prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks, yang tak bisa diselesaikan hanya dengan cap halal-haram. Saya memaknainya sebagai solusi gradual untuk menuntaskan persoalan prostitusi. Dengan kata lain, kita sepakat bahwa prostitusi dilarang agama, tetapi kemudian kita juga mesti peduli bahwa mereka para pedila itu juga manusia yang punya hati nurani untuk bisa berupaya hidup normal sebagaimana mestinya. Butuh waktu yang panjang untuk memulihkannya, pemulihan dari sisi psikologis, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

 

Spirit Aswaja Aktual

Masyarakat pesantren dan NU sejak lama mengilhami Aswaja yang hanya dipahami dengan pemaknaan terbatas yakni fikih (syariat) berafiliasi pada empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali), tauhid (aqidah) pada al-Asy’ari dan al-Maturidi, tasawuf (sufisme) pada al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.

Tetapi saat membaca Aswaja ala Mbah Sahal, ada nuansa berbeda yang menunjukkan bahwa Aswaja itu universal sekaligus aktual. Memang tidak ada salah tatkala memahami Aswaja sebagaimana umum, asal saja tidak saklek dan ekslusif. Karena Mbah Sahal menyatakan Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Lebih jauh, Mbah Sahal menegaskan, Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidaklayakan, keterbelakangan, serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan, yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.

Ini spirit Aswaja yang aktual di tiap lini kehidupan. Para pengikut Aswaja di mana pun berada mesti menjadi pelopor kemanusiaan. Dalam lini agama mampu menyongsong keberagaman dan harmonisasi, dalam lini sosial mampu menciptakan kesejahteraan, dalam lini budaya mampu menjaga dan meletarikannya, dalam lini ekonomi mampu memandirikan masyarakat, dan pada lini-lini kehidupan lainnya.

Dengan pemahaman semacam ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi ketegangan dan konflik yang saling mengunggulkan—atau mengklaim kebenaran—antar aliran; Sunni versus Syiah, Sunni versus Ahmadiyah, dan lain-lain. Setiap aliran atau kepercayaan menjadi benar sebab diyakini oleh masing-masing pemeluknya dan di saat yang sama kita tidak saling merasa paling benar dan menyalahkan yang lain. Dalam hal ini Mbah Sahal, betul-betul telah memberikan teladan mengesankan kepada kita, yakni fikih Aswaja yang memanusiakan dengan dua prinsip utamanya; kontekstual dan dinamis.

 

Mamang M. Haerudin, Khadim al-Ma’had di pesantren Raudlatut Tholibin Babakan-Ciwaringin dan LP3M STID Al-Biruni Cirebon