Opini

Mengikis Fanatisme, Menangkal Radikalisme

Ahad, 22 Maret 2015 | 04:10 WIB

Oleh Misbahul Ulum
Sore itu, Jumat (30/4/1999), terjadi peristiwa kelam nan memilukan bagi warga masyarakat Desa Dongos, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Generasi yang mengalami dan menyaksikan peristiwa tersebut tetap ingat dalam memori mereka, walaupun senantiasa berusaha untuk menghapus dan melupakan akan kengerian tragedi berdarah.
<>
Saling serang anak bangsa seagama, sesama saudara, tetangga, teman bahkan anak dan orang tua saling melukai satu sama lain. Kaum Nahdliyin berduka, mereka menanggung akibat dari fanatisme buta. Memahami sejengkal saja akan ideologi partai mereka, pandangan partai berazas Islam dan kebangsaan seakan beda agama.

Akibat konflik antar pendukung partai tersebut jatuh 4 korban tewas, 26 korban luka-luka, 16 mobil dan 26 sepeda motor serta 3 rumah hancur dan terbakar (Ahmad Zazeri, 2007). Jatuhnya korban jiwa, kerugian materiil yang mencapai ratusan juta rupiah, serta tak kalah besar adalah traumatik yang ditanggung oleh masyarakat desa di sekitar kejadian (Bugel, Sowan Lor dan Dongos).

Faktor Pemicu Konflik

Tulisan ini tidaklah bertujuan membuka luka lama, membangkitkan kebencian atau bahkan menyulut konflik kembali. Namun peristiwa kelam awal Pemilu multi partai tahap kedua (tahun 1999 setelah orde baru tumbang) yang terjadi di Jepara, seyogyanya menjadi I’tibar atau gambaran dan  pelajaran oleh kaum Nahdliyin di mana pun berada, pada waktu sekarang dan masa yang akan datang. Khususnya, antisipasi sejak dini terhadap pemicu atau faktor yang dapat memunculkan konflik internal kaum Nahdliyin.

Pasca kejadian kelam di Jepara 1999, banyak penelitian ilmiah dilakukan untuk mengkaji konflik tersebut dari berbagai prespektif. Seperti, Suparmin (2000) melihat dari sisi Lembaga Kepolisian dalam penyelesaian konflik antar pendukung partai. Sopuan (2003) mengamati pemecahan masalah konflik dengan pendekatan Bimbingan Konseling Islam, atau Ahmad Zazeri (2007) mengkaji secara sosio-historis kasus kerusuhan sosial berbasis partai tersebut.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, faktor internal penyebab terjadinya konflik fisik masyarakat yang berafiliasi pada partai adalah sebagai berikut: Fanatisme partai yang ditanamkan tokoh-tokoh agama (da’i); kesalahan pemahaman paradigma Islam sebagai agama dan partai; penghayatan kurang mendalam Ideologi partai Islam dan partai kebangsaan; pemikiran sempit tentang kebebasan demokrasi; basis massa yang sama (Nahdliyin) dan ketidak-netralan pengurus NU; serta kesenjangan ekonomi antara pengusaha sukses yang berafiliasi ke PKB dan pekerja atau kuli yang menjadi mayoritas simpatisan PPP.

Beberapa faktor tersebut tentu tidak berdiri sendiri, faktor eksternal turut memicu konflik pendukung partai. Seperti kurang baik dan tertatanya penyelenggaraan Pemilu oleh KPU saat itu.
Tercatat 195 kasus pelanggaran dan konflik Pemilu di Jawa Tengah pada Pemilu 1999, pelanggaran administratif 25 kasus, tatacara dan tahapan Pemilu 94 kasus, money politic 5 kasus, ketidak-netralan birokrat/ pejabat 8 kasus, 63 kasus pidana Pemilu, 33 diantaranya dapat diselesaikan, 20 ditangani kepolisian dan 10 masuk kemeja pengadilan.

Dari sekian banyak kasus, ada 2 (dua) kasus yang menarik dan sekaligus memperihatinkan yakni konflik di kabupaten Pekalongan d an kabupaten Jepara, di mana keduanya ada penggunaan simbol-simbol agama dalam konflik pendukung partai tersebut, serta terjadi di basis Nahdliyin yang kuat.

Trauma Organisasi dan Upaya Rekonsialisasi
Sebagaimana disebutkan dalam ilustrasi di atas, efek konflik pendukung partai yang sampai sekarang masih terasa oleh kaum Nahdliyin di desa Sowan Lor adalah traumatik.
Masyarakat desa Sowan Lor yang notabene semua pengikut Nahdhotul Ulama’ menanggung berbagai trauma, mulai trauma psikis sampai trauma organisasi. Hal itu sangat terasa dalam perjalanan organisasi NU Ranting Sowan Lor, seperti berhentinya kegiatan rutin Pengajian Idaroh Ranting bertempat di musholla (ada 45 Musholla dan Pondok), terpecahnya tokoh-tokoh agama, bahkan pendirian masjid baru dan lain sebagainya.

Merupakan pekerjaan berat bagi pengurus NU Ranting Sowan Lor untuk memulihkan organisasi, rekonsiliasi antar pendukung yang berbasis Nahdliyin, atau bahkan sekadar menyembuhkan trauma konflik. Namun sekalipun dalam kondisi demikian, segala upaya dan ikhtiyar untuk menghidupkan kembali organisasi Nahdhatul Ulama’ dan kegiatan-kegiatan pendukungnya tetap selalu dilakukan.
Walaupun kejadian konflik telah lama yaitu 16 tahun silam dan berbagai upaya penyatuan telah dilakukan sejak pasca konflik, namun luka sejarah yang tergores belum juga sepenuhnya pulih secara total.

K.H.Nursalim Muhammad sebagai Ketua Tanfidiyah NU Ranting Sowan Lor mengutarakan, bahwa pengurus NU tetap berupaya melakukan pendekatan pada semua pihak untuk bersama-sama menghidupi organisasi.
Dia menceritakan bagaimana sikap masyarakat terhadap organisasi NU, bahkan sampai sekarangpun sekadar mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dalam satu majlis atau forum adalah perkara yang tidak mudah.

Sebagai contoh dalam persiapan kegiatan Pengajian Kliwonan NU MWC Kedung yang kebetulan akan diselenggarakan di Ranting Sowan Lor 25 Maret 2015, Pengurus NU mengirim  65 undangan yang disebar kepada tokoh agama, kiai musholla dan pondok, Anshor, Muslimat, Fatayat dan IPNU-IPPNU. Akan tetapi hanya dihadiri oleh 10 orang saja.

Kiai yang juga Ketua Panti Asuhan Daarul Aitam tersebut tetap bersemangat, karena ia yakin suatu saat Organisasi NU akan kembali semarak, sebab penduduk desa Sowan Lor tetap sebagai Nahdliyin yang kuat. Hanya mereka trauma aktif dalam Organisasi NU, bahkan sebatas duduk bersama dalam satu majlis.

Kekawatiran berlebihan untuk aktif secara organisasi oleh masyarakat Sowan Lor tidak serta merta melunturkan tradisi dan amaliyyah kaum Nahdliyin, karena pada dasarnya mereka tetap pengikut setia Nahdhotul Ulama’, yang terus menjaga tradisi dan memegang teguh faham organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Pemerintah Desa Sowan Lor sebagai Umaro’ bersama kiai sebagai Ulama’ menjadi kunci sukses upaya-upaya penyembuhan trauma tersebut, sebagai contoh Pengajian Idaroh yang sebelum konflik antar pendudukung partai berlabel Pengajian Idaroh NU Ranting Sowan Lor, demi menjaga tradisi Nahdliyin akan majlis ta’lim dan mencegah gesekan fanatisme partai, kegiatan berganti nama menjadi Pengajian Idaroh Ahad Pon Desa Sowan Lor.

Kegiatan tersebut sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah desa bahkan sampai pada pengadaan biaya operasional seperti bantuan dana, transportasi untuk memobilisasi jama’ah dan kehadiran Petinggi desa Sowan Lor pada setiap pelaksanaan pengajian.

Hariyanto selaku Petinggi Desa Sowan Lor menekankan, bahwa kegiatan Pengajian Idaroh Ahad Pon adalah program umat Islam, bukan program desa. Sehingga demi kerukunan umat Islam, seyogyanya seluruh warga desa yang adalah semua beragama Islam untuk mengikuti dan turut serta. Hal itu sebagaimana ia sampaikan dalam sambutan pada acara Pengajian Idaroh Ahad Pon, bertempat di Pondok Tamrinul Huda (Sabtu, 14/03/2015).

Pemerintah Desa Sowan Lor juga berperan dalam menyatukan tokoh-tokoh agama, karena mereka berkepentingan pada pencegahan konflik horizontal di tingkat grassroot yang berbasis fanatisme.
Masjid baru yang dibangun sebagai akibat dari efek konflik partai ditetapkan oleh petinggi sebagai masjid desa, pengurus dan tokoh pemuka yang menjadi Khotib di kedua masjid tersebut diangkat menjadi Kiai Desa dan bergilir menjadi khotib.

Penetapan ini tentu wujud upaya menghapus streotip/ cap masjid partai yang pada awal pendirian pasca konflik sempat tersemat pada salah satu masjid tersebut, dan lambat laun streotip tersebut mulai hilang walaupun tidak sepenuhnya terhapus.

Memantapkan Empat Sikap Karakteristik Aswaja

Fanatisme terbukti menjadi faktor utama munculnya konflik internal kaum Nahdliyin, tentu ini menjadi cambuk bagi Organisasi Nahdhatul Ulama’ untuk menanamkan pada pengikutnya akan sikap tasamuh atau toleransi sebagai pandangan hidup.

Bahaya lain akan fanatisme juga menjadi cikal bakal lahirnya radikalisme (mudah mengkafirkan dan mem-bid’ahkan, cepat men-justment orang yang tidak sependapat dll.) yang tentunya tidak sejalan dengan pandangan moderat atau tawasuth Nahdhatul Ulama’.

Untuk menghilangkan traumatik dan mengkikis habis fanatisme buta dengan pandangan ekstrim (radikalisme), maka wajib ditanamkan pada seluruh warga pengikut Nahdhatul Ulama’ akan karakteristik Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja).

Empat sikap Aswaja tersebut yaitu, pertama sikap toleran (tasamuh). Kaum Nahdliyin harus memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan (terutama masalah furu’ dan khilafiyyah), masalah politik, kemasyarakatan dan kebudayaan.

Sikap menghormati pendapat dan pandangan yang beda, serta memahami perpedaan sebagai rahmah merupakan langkah prefentif dalam menekan munculnya kefanatikan. Bahkan, fanatime perorangan terhadap kebenaran pendapat yang dianut.

Kaum Nahdliyin harus dibiasakan menghadapi lingkungan yang beragam, mulai dari berbeda agama, madzhab fiqih, macam organisasi, beda pendapat, tradisi dan budaya, serta warna kaos partai dalam berpolitik.

Kedua, sikap tawasuth dan i'tidal yaitu sikap tengah-tengah yang menitikberatkan pada prinsip hidup menjunjung tinggi berlaku adil dan lurus dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga akan selalu bersikap membangun serta menghindari bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim.

Fanatik buta pada keyakinan kebenaran pendapat akan memunculkan sikap ekstrim atau radikal terhadap selainnya, perbedaanpun seakan menjadi pemisah yang tidak bisa dipersatukan. Pengucilan, pengasingan, sikap apatis, mengkerdilkan, bahkan meremehkan adalah wujud lain dari radikalisme.
Kaum Nahdliyin seharusnya menjadi masyarakat yang moderat, menyikapi perbedaan dengan seadil-adilnya, menempatkan selisih pendapat pada proporsi yang tepat. Sehingga mereka akan mampu mengakomodir berbagai ragam jenis masyarakat atau anggota dalam berorganisasi, yang selanjutnya dapat menghilangkan anggapan “paling benar sendiri”.

Ketiga, sikap tawazun yaitu seimbang, selaras, serasi dalam berkhidmah kepada Allah SWT, berkhidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan. Organisasi Nahdhatul Ulama’ yang berkarakter Ahlussunnah Wal Jam’ah tentu harus mampu menyeimbangkan setiap langkah gerak, program, kegiatan dan tradisi organisasi, antara kesalehan individual dan sosial. Amanu wa ‘amilush sholihat.
Kaum Nahdliyin harus sadar pada kewajiban sebagai hamba Allah SWT dengan menjalankan semua syari’at agama, dapat menjadi kholifaullah fil ardh yang bermanfaat pada sesama, serta menjaga lingkungan sebagai tempat atau ladang beramal saleh, ad dunya mazro’atul akhiroh. Sehingga akan tercapai ukhwah basyariyah, ukhwah wathoniyah dan ukhwah nahdhiyyah.

Dan keempat, sikap al amru bil ma’rufi wan nahyu ‘anil munkari yaitu kepekaan untuk mendorong berbuat baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan menjegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Kewajiban ber-amar makruf dan nahi munkar merupakan tanggung jawab personal kaum Nahdliyin, tentunya sesuai dengan porsi dan posisi sosial dalam masyarakat.

Ulama’ atau kiai memiliki kewajiban menyampaikan kebenaran (haq) dalam posisi sebagai pewaris para Nabi. Menyebarkan nilai-nilai humanisasi atau kemanusian, perdamaian sebagai landasan keislaman, serta ketauhidan sebagai basice spritual umat. Tidak lupa akan kelantangan dan ketegasan ulama’ dalam menyikapi segala bentuk kemaksiatan dan penyelewengan.

Umara’ yaitu pemimpin pemerintahan mengejawentahkan azas amar ma’ruf nahi munkar ke dalam seluruh kebijakan yang dibuat. Membuat peraturan yang sejalan dengan kebenaran yang didengungkan ulama’, serta mendukung dengan totalitas sesuai kapasitasnya sebagai penguasa wilayah.

Kaum Nahdliyin sebagai jama’ah yang senantiasa mengikuti fatwa ulama’ dan warga dari penguasa wilayah atau umara’, selalu beraktifitas dengan azas kebenaran dan ajaran syari’ah, melaksanakan peraturan pemerintah yang seirama dengan kenaran,  serta membentengi diri dari segala kemunkaran dengan penolakan dalam hati atau inkar bil qolbi.

Empat azas sikap Aswaja di atas jika tertanam dalam setiap pribadi kaum Nahdliyin di Sowan Lor, pasti mampu menghapus traumatik dan menghidupkan kembali ghiroh atau semangat menghidupi organisasi. Sehingga Nahdhotul Ulma’ di Sowan Lor tidak hanya besar secara jam’iyyah saja, tetapi besar secara organisasi pula. Pada akhirnya, kamanfaatan Nahdhotul Ulama’ bukan sebatas tradisi dan amaliyyah, namun mampu mensejahterakan kaum Nahdliyin dalam bidang soisal, ekonomi dan politik. Wallahu a’lamu bish showabi…