Opini

Mengokohkan Status Non-muslim sebagai Warga Negara

Sel, 5 Maret 2019 | 23:00 WIB

Oleh Ahmad Ali MD
Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas Alim Ulama) Nahdlatul Ulama (selanjutnya disingkat Munas NU), yang dirangkai dengan Konferensi Besar (Konbes NU), di Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret 2019 mengenai status non-Muslim menuai pro dan kontra.

Banyak yang mengkritik dan nyiyir terhadap Keputusan Munas NU tersebut, bahkan ada anggapan ataupun tuduhan bahwa keputusan itu berarti menghapus atau mengamandemen kafir dari Al-Quran. Padahal bukanlah demikian hakikatnya.

Sejatinya yang dibahas dalam forum sidang Komisi Bahtsul Masail (BM) Maudhu’iyyah Munas NU dalam sesi masalah Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara dan Perdamaian ini bukan apakah non-Muslim itu kafir atau bukan? Tetapi, yang dibahas adalah bagaimana status non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara?

Jelas sekali bahwa Munas NU tidak menghapus status kafir apalagi menghapus keberadaan dan term kafir yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Quran dan Hadits.

Masalah yang dibahas dan diputuskan dalam sidang bahtsul masail yang dipimpin/dimoderatori oleh KH Abdul Ghofur Maimoen ini adalah status non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam bingkai negara bangsa (nation state).

Dalam Sidang Pleno Munas NU, yang diketuai KH Masdar Farid Mas’udi dengan dihadiri pimpinan struktural Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), antara lain Pj Rais Aam KH Miftachul Akhyar, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj, dan Sekjen PBNU H A Helmy Faishal Zaini, yang dibacakan oleh KH Abdul Moqsith Ghazali, diputuskan bahwa status non-Muslim dalam negara bangsa adalah warga negara (muwâthin) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain. Mereka tidak masuk dalam kategori-kategori kafir yang ada dalam fiqih klasik, yakni mu’ahad, musta’man, dzimmi, dan harbi.

Mu‘âhad adalah penduduk dârul harb (darul harbi, daerah perang/musuh) yang sedang terikat akad perdamaian (al-shulh) dengan daerah Islam/”negara Islam”. Berikutnya Musta’man/Musta’min/Mu’amman adalah non-Muslim yang diperkenankan memasuki ”negara Islam”.

Dzimmi adalah non-Muslim yang menjadi bagian dari warga ”negara Islam” melalui sebuah akad, yaitu ‘aqdud dzimmah, dengan beberapa ketentuan, antara lain: mereka harus tunduk kepada hukum-hukum Islam yang berlaku dengan beberapa pengecualian; mereka wajib tunduk membayar jizyah (pajak kepala) kepada negara; dan dalam hal-hal tertentu status sosial mereka tidak boleh melebihi penduduk Muslim.

Adapun harbi adalah non-Muslim yang selain tiga kategori tersebut, bahkan memerangi kaum Muslim (Lihat ‘Abdul Karîm Zaidân, Ahkâmud Dzimmiyyîn wal Musta’minîn fî Dâril Islâm [Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1982]).

Beberapa kitab yang dijadikan rujukan atau landasan hukum dalam masalah ini adalah Takmilatul Majmû‘ karya Muhammad Najîb Al-Muthî‘î, Ikhlâshun Nâwî fî Irsyâdil Ghâwî ilâ Masâlikil Hâwî karya Syarafuddîn Ismâ‘îl bin Abî Bakr Al-Ma‘rûf bi Ibnil Muqri’ (w 837 H), As-Siyâsatus Syar‘iyyah au Nizhâmud Daulah Al-Islâmiyyah karya ‘Abdul Wahhâb Khallâf (w. 1956), dan Âtsârul Harb karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili. Teks landasan hukum tersebut sebagai berikut:

إن الإسلام أسس علاقة المسلمين بغيرهم على المسالمة والأمان، لا على الحرب والقتال.

Artinya, ”Sungguh Islam membangun fondasi hubungan orang-orang Muslim dengan selain mereka di atas landasan perdamaian (musâlamah) dan keamanan bukan atas landasan perang dan pertempuran,” (Lihat Ibnul Muqri’, Ikhlâshul Nâwî [Beirut: Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2004], Juz III, halaman 291, ‘Abdul Wahhâb Khallâf, As-Siyâsatus Syar‘iyyah au Nizhâmud Daulah Al-Islâmiyyah [Beirut: Kitâb Nâsyirûn, 2016], halaman 63).

Syekh Wahbah Az-Zuhailî dengan mengutip perkataan Ibnus Shalâh:

قال ابن الصلاح مقررا مذهب الجمهور: إن الأصل هو إبقاء الكفار وتقريرهم لأن الله تعالى ما أراد إفناء الخلق ولا خلقهم ليقتلوا وإنما أبيح قتلهم لعارض ضرر وجد منهم لا أن ذلك جزاء على كفرهم فإن دار الدنيا ليست دار جزاء بل الجزاء فى الأخرة.

Artinya, ”Ibn al-Shalâh menegaskan mazhab Jumhur berkata: ‘Bahwa yang asal (pokok) adalah menetapkan (status) orang-orang kafir dan mengakui (keberadaan) mereka, karena sungguh Allah Taala tidaklah hendak menghancurkan makhluk dan tidak pula menciptakan mereka untuk dibunuh, melainkan diperkenankan membunuh mereka karena ada faktor madharat (bahaya, kerusakan) yang ditemukan dari mereka; bahwa membunuh mereka itu bukanlah sebagai bentuk balasan atas kekufuran mereka, sebab negeri dunia ini bukanlah negeri tempat pembalasan, karena pembalasan itu adanya di akhirat’.” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Âtsârul Harb: Dirâsah Fiqhiyyah Muqâranah [Beirut: Dâr al-Fikr, 2013], halaman 103).

Kategorisasi kafir dalam teks-teks fikih klasik yang menyebutkan ada empat kategori (kafir mu’ahad, musta’man, dzimmi, dan harbi), dalam konteks negara bangsa saat ini tidaklah relevan dan tidaklah tepat untuk diberlakukan kembali.

Hal ini karena kategorisasi kafir tersebut dibuat dalam konteks bukan negara bangsa, melainkan dalam konteks sistem kekuasaan Islam atau sistem khilafah yang membagi kepada dâr al-Islâm(negeri/negara Islam) dan dâr al-harb (negeri/negara kafir musuh).

Beberapa tokoh dan pakar telah menegaskan bahwa dalam konteks saat ini sebutan dan term kafir tidaklah ada atau tidak relevan dalam sistem negara bangsa. Misalnya, Syekh Yûsûf Al-Qarâdhâwî, dalam Kitab Khithâbunâ al-Islâmî fî ‘Ashril Aulamah, pentahqiq Kitab Sullamut Taufîq-nya‘ Abdullâh bin Husain bin Thâhir Ba’alawî Al-Hadhrami al-Tarîmî, dan Fahmi Huwaidi pemikir Mesir, dalam karyanya Muwâthinûn Lâ Dzimmiyyûn (Warga Negara Bukan Dzimmi), Cet. ke-2 (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1994).

Dalam catatan kaki Kitab Sullamut Taufîq (Sibtul mu’allif, 2013, halaman 119) disebutkan bahwa ”Dzimmi tidaklah ditemukan pada masa sekarang, karena yang membuat akad jizyah dan menarik jizyah dari mereka adalah sang khalifah, dan tidaklah ada khalifah pada masa sekarang”. Istilah untuk menyebut non-Muslim saat ini yang digunakan adalah muwâthin (warga negara).

Menyebut non-Muslim dengan sebutan kafir justru menyakitkan mereka, dalam konteks menjalin hubungan kerukunan umat beragama. Dalam Kitab Al-Qaniyyah diingatkan:

لو قال ليهودي أو مجوسي يا كافر يأثم إن شق عليه.

Artinya, ”Andaikan seseorang berkata kepada orang Yahudi atau Majusi: wahai kafir! Maka ia berdosa, bila orang tersebut keberatan (tersakiti),” (Lihat dalamal-Hummâm Maulânâ Al-Syekh Nizhâm, al-Fatâwâ al-Hindiyyah al-Ma‘rûfah bil Fatâwâ al-‘Âlamkariyyah [Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000], Juz V, 427).

Al-Qarâdhâwî mengatakan:

غير المسلمين) بدل (الكفار):ومن الدعوة بالحكمة والموعظة الحسنة، ومن الجدال بالتي هي أحسن، المطالب به المسلمون، وخصوصا في عصر العولمة: أن لا نخاطب المخالفين لنا باسم الكفار وإن كنا تعتقد كفرهم. ولا سيما مخالفينا من أهل الكتاب.

Artinya, ”(Non Muslim) Pengganti sebutan (Kafir): Di antara dakwah bil hikmah dan mauizhah al-hasanah, dan perdebatan dengan cara terbaik adalah orang-orang muslim, khususnya di era globalisasi: agar kita tidak memanggil orang-orang yang berbeda terhadap kita dengan sebutan kafir, sungguhpun kita meyakini kekafiran mereka, terlebih orang-orang yang berbeda dengan kita itu dari golongan Ahli Kitab” (Lihat Yûsûf al-Qarâdhâwî, Khithâbunâ al-Islâmî fî ‘Ashr al-‘Aulamah [Kairo: Dâr al-Syurûq, 2004), hlm. 44).

Penulis sendiri terlibat langsung dalam sesi pembahasan masalah ini, dengan tegas menyatakan bahwa menggunakan kategorisasi-kategorisasi kafir dalam konteks negara bangsa merupakan bentuk pemaksaan dalam beragama, padahal kategorisasi kafir tersebut merupakan produk fiqih yang sifatnya zhanni (kebenarannya nisbi, tidak absolut), sementara prinsip fundamental yang qath'i (pasti, tetap) dalam Islam adalah tidak boleh ada paksaan dalam beragama, untuk memeluk Islam (Surat Al-Baqarah ayat 256).

Memaksakan agar non Muslim dalam konteks negara bangsa masuk dalam kategorisasi kafir tersebut adalah bentuk pemaksaan yang jelas tidak sejalan dengan prinsip ajaran fundamental dalam Islam, yaituajaran kebebasan beragama.

Pemaksaan demikian justru menafikan Risalah Islam yang rahmatan lil alamin itu sendiri. Meminjam istilah Prof. Dr. Thaha Jabir Al-Alwani (w. 2016), pakar ushul fikih Universitas Al-Azhar Al-Syarif Kairo Mesir, dan guru penulis, hal semacam itu merupakan dharbun min al-takalluf wa tadhyîq li-âfâq al-Risâlah, yakni bentuk membebani diri dan mempersempit cakrawala Risalah Islam (Lihat Al-‘Alwânî, Nahwa al-Tajdîd wa-al-Ijtihâd Murâja‘ât fî al-Manzhûmah al-Ma‘rifiyyah al-Islâmiyyah, Awwalan: Al-Fiqhu wa-Ushûluh [T.Tp.: Dâr Tanwîr, 2008], hlm. 163). 

Jadi, Keputusan Munas NU sejatinya adalah mengokohkan pandangan para ulama sebelumnya mengenai status non-Muslim dalam negara bangsa (nation state) adalah warga negara (muwâthin) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan mengokohkan labeling kafir terhadap mereka.

Pandangan dan sikap yang ngotot untuk memasukkan status non-Muslim dalam negara bangsa ke dalam kategorisasi kafir adalah bentuk kejumudan, bahkan kemunduran. Padahal fiqih senantiasa berkelindan dengan konteks sosio budaya, geografi, dan waktu, dan lainnya, takkala produk fikih dilahirkan.Telah maklum maqâlah Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah dalam I‘lâm al-Muwaqi‘în, bahwa ”Taghayyur al-fatwâ wa-ikhtilâfuhâ bi-hasbi taghayyur al-azminah wa-amkinah wa-al-ahwâl wa-al-niyyât al-‘awâ’id”, perubahan fatwa/hukum Islam dan perbedaannya itu berkelindan dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, niat (motivasi) dan adat kebiasaan.

Putusan Munas NU 2019 tersebut sejatinya meneguhkan dan mengokohkan Keputusan Muktamar NU ke-29 Tahun 1994 di Cipasung Tasikmalaya, tentang Pandangan dan Tanggungjawab NU terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan, yang berisi Trilogi Ukhuwah (Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah).

Putusan Munas NU 2019 ini menguatkan juga Anggaran Rumah Tangga NU (ART NU) Pasal 16 Bab VIII Hak dan Kewajiban Anggota, serta Keputusan Muktamar NU ke-33 di Jombang Tahun 2018 tentang Khashaish Aswaja An-Nahdliyah poin 9.

Melalui tulisan ini diharapkan kesalahpahaman atau pun anggapan bahkan tuduhan negatif terhadap NU, para Kiai dan peserta Munas NU tersebut, menjadi reda. Maka, kerendahan hati dan kesadaran diri,dari pihak-pihak yang kontra terhadap Keputusan Munas NU ini, penting diutamakansebagai bentuk toleransi, menghargai, menghormati, bahkandapat menerima pandangan yang berbeda yang merupakan bentuk ”ijtihad”.

Tiada lain, Keputusan Munas NU, dimaksudkan untuk terwujudnya keharmonisan,ketenteramandan perdamaian semua warga negara, baik Muslim maupun non Muslim dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,wabilkhususdi Indonesia, sehingga terwujud keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),dan umumnya di dunia internasional. Wallâhu a‘lam bis shawwâb.


Penulis adalah Pengurus Lembaga Dakwah PBNU.