Opini

Menjadi Santri di Era Millennial

Ahad, 23 Oktober 2016 | 09:30 WIB

Menjadi Santri di Era Millennial

Ilustrasi (sangpena.com)

Oleh Faried Wijdan

Tinta emas sejarah mencatat kaum santri selalu tampil memberi sumbangsih dan mencurahkan darma baktinya bagi eksistensi negara dan Bangsa, baik pada periode prakolonial, zaman kolonial, era kemerdekaan, Orde Baru, dan reformasi. Banyak penelitian dan buku sejarah ‘merekam’ semua ini. Dan menjadi sebuah fakta sejarah bahwa santri senantiasa memberikan sumbangan maha penting dan berharga bagi masyarakat bangsa, bukan hanya dalam pembentukan karakter positif nan luhur bagi individu-individu anak bangsa, melainkan juga bagi utuhnya sistem Negara Bangsa dengan seluruh pilarnya.

Santri sebagai out put pesantren terbukti tidak hanya mempunyai intelektualitas yang tinggi, tapi juga sosok yang memiliki kecerdasan spiritual di atas rata-rata. Santri hidup dan digembleng tentang arti solidaritas, tenggang rasa, dan kebersamaan, memperoleh piwulang integral dari soal moral sampai keterampilan hidup (life skill). Santri diajari soal keduniaan sampai keakhiratan. Inilah karakter pendidikan pesantren yang komunal, integral, dan futuristik.

Kekecualian Santri

Pertama, penjelajah intelektual yang kritis. Karena keahlian dan penguasaan ilmu alat (nahwu) dan bahasa santri terbiasa membaca sendiri khazanah kitab-kitab klasik maupun modern. Santri adalah sosok pembelajar mandiri, otodidak, dan ‘luas ilmu dan referensinya’. Santri terbiasa berdiskusi, berdebat ilmiah, membaca secara mendalam, meresume, dan mengulang-ulang pelajaran (takrar). Semua aktivitas tersebut men-drill santri untuk berani mengemukakan pemikiran, membangun argumentasi dan mempertahankan, melatih santri berpikir kritis dan analisis, melecut santri untuk menulis, dan menguatkan daya ingatnya.

Kedua, moderat dan toleran. Dalam melihat, memahami, lalu menghukumi sesuatu, santri memiliki kesadaran diri bahwa sesungguhnya setiap orang tidak memiliki hak mengatakan yang paling benar. Santri tidak mudah menyalahkan orang lain dan mengafirkan sesama. Sikap toleran santri berupa akhlak terpuji dalam pergaulan, saling menghargai antara sesama manusia. Sikap moderat dan toleran berjalan berkelindan dengan laku lampah santri sehari-hari. Artinya, jika ada santri ekstrim dan tidak toleran, ia telah mengabaikan ajaran substantif dari nilai-nilai dasar pesantren. Pribadi santri diasosiasikan sebagai sosok yang mempunyai kepribadian saleh (baik ritual maupun sosial), berawawasan inklusif, toleran, humanis, kritis dan berorientasi pada komitmen kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan (al-musawah).

Ketiga, mencintai Tanah Air. Cinta tanah air bagian dari iman. Santri harus setia pada NKRI, mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Jika ada santri yang menyerukan penggantian dasar dan bentuk negara, dipastikan ia adalah santri abal-abal. Di dalam tubuh santri mengalir darah nasionalisme.

Keempat, mandiri, sederhana, ikhlas, asketis, rendah hati, dan selalu istikamah menjaga marwah diri. Kemandirian adalah merupakan elemen esensial dari moralitas yang dimiliki kaum santri. Kemandirian adalah sebuah kekuatan internal individu yang diperoleh melalui proses individuasi, yaitu proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan ketika di pesantren. Selepas dari pesantren, setiap santri mampu berpikir alternatif dan memikirkan cara hidup, pandai memanfaatkan kesempatan dan peluang, senantiasa optimis dan melihat peluang, menyesuaikan diri dalam segala peran. Santri jebolan pesantren biasanya memeliliki kemandirian aman (secure autonomy), sebuah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama, dan tumbuh rasa percaya diri terhadap kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk mencintai kehidupan dan membantu orang lain. Berapa banyak kita mendengar success stories para alumni pesantren. Meraka bisa berdarma dan berkarier di semua matra kehidupan, dari guru ngaji, politisi, seniman, entrepreuneur, aktifis, sampai praktisi IT dengan bisnis rintisannya (start up).

Kelima, visioner. Santri dididik untuk berpandangan jauh ke depan tentang bagaimana membangun masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam universal, seperti keadilan, kesejahteraan, kemajuan, kearifan, kesetaraan, kebahagiaan, dan kerjasama dalam membangun kebaikan dan meminimalisir hal-hal negatif. Santri harus siap kembali ke masyarakat, berproses ditengah-tengah masyarakat, membimbing dan mengajarkan agama, membangun perekonomian rakyat kecil, mengembangkan kualitas pendidikan, memberikan keteladan moral dan dedikasi, serta aktif melakukan kaderisasi demi menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Seseorang tidak memperoleh predikat ‘muslim yang baik’ karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama dianggap sebagai ‘muslim yang baik’, karena ia memikirkan masa depan Islam. Sebagai mahluk sosial dalam komunitas berbangsa, santri dituntut memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Sebagai pembangun bumi (imaratul ardhi), santri harus mampu mengelola, mengembangkan, dan melestarikan sumber daya alam. Santri harus menjadi pelopor gerakan hijau (go green) dan mengejawantahkan fikih lingkungan (fiqh biah) yang mereka pelajari.

Pendek kata, di pesantren, santri dididik soal: karakter (character), rasa ingin tahu (curiosity), kreativitas (creativity), ilmu dakwah/komunikasi (communication), berpikir kritis (critical thinking), bekerjasama (collaboration), tanggung jawab kultural dan sosial (cultural and social responsibility), penyesuian diri (adaptibility), melek media dan digital (digital and media literacy), penyelesain masalah dan membuat keputusan (decision making and problem solving), sehingga melahirkan pribadi-pribadi beretika luhur (strong ethic), terpercaya dan bertanggung jawab (dependability and responsibility), berakhlak mulia (possesing a positive attitude), lentur (adaptibility), jujur dan berintegritas (honesty and integrity), memiliki motivasi untuk tumbuh dan belajar (motivated to grow and learn), tangguh dan percaya diri (strong self and confidence).

Santri di Zaman Millennial

Kapital sosial santri sungguh luar biasa yang senantiasa menyatukan diri secara integral bersama masyarakat, memiliki basis dan jejaring sosial yang sungguh dahsyat. Potensi yang dimiliki oleh santri selama ini dinilai masih belum tereksplorasi dan termanfaatkan dengan baik dalam membangun bangsa, padahal santri merupakan individu-individu pilihan masyarakat yang diharapkan mampu berbuat sesuatu demi kebangsaan dan kesejahteraan umat.

Santri harus terus mengembangkan diri untuk meneruskan estafet perjuangan para pendahulunya. Perlu dipikirkan bagaimana menciptakan santri agar memiliki kemampuan diferensial dan distinctive dalam menghadapi perkembangan perubahan mondial (global) dan dapat berkiprah dalam wilayah-wilayah sosial, ekonomi, politik maupun pemerintahan. Santri bukan hanya menguasai kitab-kitab kuning saja tapi juga mampu survive dan memberikan warna tersendiri dalam berbagai sektor kehidupan. Santri meski mempunyai bidang "keahlian dunia", di bidang kedokteran, kimia, IT dan desain komunikasi visual, astronomi, nuklir, dan lain-lain sehingga mandiri, tak tergantung ‘angin politik’ dan ‘tidak tegoda’ untuk sibuk ‘menyusun proposal’.

Di era millenial, santri fardhu 'ain melakukan jihad-jihad kekinian di zaman kacau (mess age) ini. Santri harus menjadi generasi langgas yang moderat dan toleran di dunia maya. Santri harus aktif dan berani mentransfer, mengampanyekan sekaligus mensosialisasikan doktrin Islam yang toleran dan anti kekerasan di dunia maya. Santri adalah garda terdepan yang mendakwahkan Islam yang teduh, bukan rusuh. Santri harus menjadi ‘promotor’ persatuan, perdamaian, dan ketertiban. Bukan malah menjadi ‘buzzer’ kemunkaran, permusuhan, fitnah dan ujaran kebencian.

Santri itu harus serbaguna, serbabisa, multitalenta. Santi tidak boleh kudet (kurang update). Santri harus berpikir konstruktif, reflektif, aktif, efektif, kreatif, inovatif. Santri harus terus menjadi pelaku sejarah, bukan beban sejarah. Santri harus menjadi paku bumi sebagaimana amanat Alm. KH Abdul Aziz Mansur. Santri harus mampu mengambil peran sebagai lokomotif perubahan sosial demi kemaslahatan umat, bukan sekadar pendorong. Selamat merayakan Hari Santri Nasional!


Penulis adalah alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta