Opini

Menyoal Kursus Poligami

Rab, 18 Juli 2018 | 02:30 WIB

Oleh Muhammad Ishom

Sebuah kursus berjudul “Kelas Poligami Nasional” yang saat ini sedang ditawarkan kepada masyarakat akan berlangsung sehari pada tanggal 29 Juli 2018 di Jakarta dengan biaya atau tarif sebesar Rp3,5 juta/peserta. Melihat besarnya biaya, aroma bisnis kursus ini sangat terasa. Dengan kata lain pihak penyelenggara tampak bermaksud mencari keuntungan finansial dengan menjadikan poligami sebagai komoditas dalam bentuk kursus. Masalahnya adalah untuk apa berpoligami di zaman sekarang ketika perkawinan semacam ini berpotensi merusak rumah tangga yang sudah terbentuk dan yang seharusnya dijaga dan dirawat dengan baik agar lestari.

Membaca Kembali Poligami Rasulullah 

Poligami yang dijalani Rasulullah shallahu alaihi wasallam berbeda dengan yang dijalani orang-orang di zaman sekarang. Poligami di zaman ini lebih didorong oleh alasan-alasan personal seperti untuk menuruti syahwat. Sedangkan poligami yang dijalani Rasulullah sangat kental dengan tujuan sosial, yakni pengentasan kemiskinan. Sebelum Siti Khadijah wafat, Nabi menjalani monogami bersamanya selama 23 tahun dan baru berpoligami setelah itu selama 13 tahun. Artinya jika poligami itu baik secara mutlak tentulah Rasulullah telah menjalaninya sejak awal perkawinannya dengan Siti Khadijah.

Keputusan Rasulullah berpoligami baru terjadi setelah ada perintah dari Allah, baik lewat mimpi maupun wahyu melalui malaikat Jibril. Ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan poligami adalah sebagaimana termaktub dalam surat An-Nisaa’, ayat 3, yang berbunyi: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.

Ayat tersebut mendorong bagi yang mampu supaya mengawini perempuan sebanyak dua, tiga hingga empat. Jika tidak mampu, maka satu istri sudah cukup. Artinya bagi mereka yang memang mampu secara ekonomi dan dapat berlaku adil, baik adil terhadap diri sendiri dan keluarga yang telah ada maupun terhadap istri-istri baru beserta anak-anak yatimnya, berlaku prinsip semakin banyak jumlah istri semakin baik dengan dibatasi maksimal empat orang. Hal ini untuk mencegah kelebihan beban yang berpotensi menimbulkan perilaku yang tidak adil. 

Prinsip tersebut berkaitan langsung dengan situasi yang mendesak saat itu guna mengatasi merebaknya kemiskinan di masyarakat. Namun, Rasulullah sebagai pemimpin umat tertinggi dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, dibebani tanggung jawab yang lebih besar dengan dipersilakan mengawini perempuan hingga 9 orang atau lebih. Rasulullah memang memiliki kapasitas yang memadai untuk berlaku adil baik secara sosial maupun ekonomi terhadap diri sendiri dan keluarga maupun terhadap istri-istri baru yang dinikahi beserta anak-anak yatimnya. Jadi poligami bukanlah untuk bersenang-senang tetapi merupakan beban berat sebab menguras banyak sumber yang ada pada laki-laki.

Ketika Rasulullah memulai poligami, istri pertama beliau setelah Siti Khadijah wafat adalah Siti Saudah binti Zam’ah bin Qois – seorang janda tua dengan 6 anak yatim dari perkawinannya dengan Sahabat Sakran bin Amr. Beberapa bulan berikutnya beliau menikahi Siti Aisyah binti Abu Bakar Ash-Siddiq. Lalu menikah lagi dengan Hafshah binti Umar yang merupakan janda Sahabat Khunais bin Khudzafah As-Sahmi yang meninggal dunia dalam perang Uhud. 

Kesediaan Siti Saudah dan Siti Aisyah untuk dimadu Rasulullah dengan hadirnya Siti Hafshah binti Umar dan seterusnya merupakan bentuk solidaritas mereka atas penderitaan sesama perempuan di masa krisis. Inilah sebabnya rumah tangga Rasulullah tetap utuh dan tidak mengalami disharmoni di antara para istri dan anak-anaknya karena masing-masing pihak menyadari bahwa mereka sedang dalam krisis sosial dan ekonomi di mana poligami merupakan perintah langsung dari Allah  untuk mengatasinya. 

Jadi konteks zaman ketika Rasulullah berpoligami adalah pada saat itu terjadi krisis sosial dengan merebaknya kemiskinan karena banyaknya janda beserta anak-anak yatimnya akibat ditinggal mati suami di medan perang. Para janda itu umumnya tidak cukup mampu menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya karena perempuan di zaman itu umumnya tidak bekerja sehingga ketika banyak suami meninggal dunia akibat perang, runtuhlah ekonomi keluarga mereka. 

Keruntuhan itu menimbulkan persoalan sosial yang serius karena panti-panti asuhan untuk anak-anak yatim dan lembaga-lembaga sosial maupun politik untuk menolong para janda belum terbentuk sebagaimana sekarang. Satu-satunya cara paling efektif untuk mengatasi hal itu secara masif adalah poligami bagi mereka yang memang mampu secara ekonomi dan sanggup berlaku adil. Singkatnya, poligami di zaman Rasulullah adalah sebuah solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan di saat krisis. Islam memang memiliki watak sosialis sekaligus berwatak sebaliknya, yakni mengakui dan melindungi hak-hak individu sesuai ketentuan syariat yang telah ditetapkan-Nya.

Membaca Kembali Poligami Nabi Ibrahim 

Islam memang membolehkan poligami sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan baik yang bersifat personal maupun sosial. Poligami dengan latar belakang alasan sosial mengacu pada praktik poligami di zaman Rasulullah sebagaimana telah diuraikan di atas. Sedangkan poligami dengan latar belakang alasan personal dapat mengacu pada praktik poligami yang dilakukan Nabi Ibrahim 'alaihissalam.

Dalam sejarah dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim hingga usianya mencapai lebih dari 80 tahun belum dikaruniai seorang anakpun. Atas rekomendasi istri pertama Siti Sarah, Nabi Ibrahim menikah lagi dengan Siti Hajar yang tak lain adalah pembantunya sendiri. Perkawinan Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar melahirkan Nabi Ismail 'alaihissalam. Beberapa tahun kemudian lahirlah Nabi Ishaq 'alaihissalam dari rahim Siti Sarah. 
 
Menarik untuk diperhatikan bahwa poligami yang dilakukan Nabi Ibrahim dengan latar belakang alasan personal, yakni keinginan memiliki anak, sebaiknya (secara moral) merupakan inisiatif dari istri. Atau inisiatif bisa berasal dari suami tetapi mendapat persetujuan dari istri. Dengan demikian poligami menjadi keputusan bersama dan bukan keputusan sepihak dari suami, apalagi secara sembunyi-sembunyi. 

Berbeda dari Nabi Ibrahim, Nabi Zakaria ‘alaihis salam tidak melakukan poligami meski belum dikaruniai anak hingga usianya sudah mencapai 80 tahun juga. Hal yang dilakukan Nabi Zakaria adalah terus menerus berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala agar diberi-Nya seorang anak dengan tetap bermonogami dengan Elizabeth (sumber lain menyebut Hannah). Doa Nabi Zakaria akhirnya dikabulkan oleh Allah dengan lahirnya Nabi Yahya ‘alaihis salam dari rahim Elizabeth. 

Sikap Nabi Zakaria yang bersikukuh tidak berpoligami tentu bisa dijadikan acuan moral bahwa seorang laki-laki tidak sebaiknya berpoligami dengan alasan personal ketika istri tidak menghendakinya sebab bagaimanapun poligami berpotensi menyakiti perasaan istri pertama dan rentan menimbulkan konflik di antara sesama istri maupun anak-anak keturunannya. 

Tak Perlu Ada Kursus Poligami

Dengan membaca seluruh uraian di atas, kita memiliki pijakan untuk menyoal kursus poligami yang ditawarkan kepada masyarakat sebagaimana diuraikan dalam paragraf pembuka tulisan ini dengan mengajukan pertanyaan, “Untuk apa kursus poligami?”

Penulis berpendapat bahwa kursus poligami tidak diperlukan karena tidak memiliki dasar teologis dan sosiologis yang kuat dan jelas. Kita sekarang ini hidup di zaman merdeka di negara yang aman, damai, dan sejahtera. Tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa saat ini diperlukan gerakan poligami karena memang tidak ada kemiskinan yang menimpa para janda bersama anak-anak yatim akibat ditinggal mati suami di medan perang. 

Poligami di zaman sekarang bukanlah sebuah anjuran karena sudah di luar konteks yang sebenarnya sebagaimana di zaman Rasulullah. Sesi yang ditawarkan dalam kursus itu dengan judul “Cara Cepat Dapat Istri Empat” menunjukkan tidak adanya perempuan janda miskin dalam jumlah besar yang secara sosial harus dinikahi secara poligami. Sesi lain dengan judul “Managemen Konflik Pra/Pasca Poligami” menunjukkan bahwa poligami memang rawan konflik baik sebelum maupun sesudahnya yang mengancam keutuhan dan keharmonisan rumah tangga yang sudah terbangun dan yang seharusnya dijaga dan dirawat dengan baik agar lestari. 

Namun demikian, harus diakui masih dimungkinkan berpoligami di zaman ini, yakni sebuah poligami yang dilatarbelakangi alasan personal seperti kebutuhan memiliki anak atau lainnya sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim 'alaihis salam. Dalam poligami seperti ini secara moral keputusan berpoligami hendaknya merupakan keputusan bersama antara laki-laki dan perempuan sehingga pihak suami tidak secara sepihak dan sembunyi-sembunyi melakukan poligami, apalagi dengan jumlah istri yang mencapai empat orang. Jika istri tidak memberikan rekomendasi sebagaimana sikap Elizabeth terhadap Nabi Zakaria 'alaihis salam sebagaimana kisah di atas, sikap tersebut secara moral sebaiknya dihormati.

Kesimpulannya, kursus poligami sebagaimana ditawarkan di atas tidak perlu diadakan. Ia hanyalah sebuah bisnis komersial dengan menjadikan poligami sebagai komoditas semata. Masyarakat sebaiknya memahami ini dan tidak tergoda untuk mengikutinya karena bagaimanapun poligami bisa menjadi madharat yang besar ketika tidak alasan kuat dan jelas yang disepakati bersama. 


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.