Opini

Monopoli dalam Pandangan Al-Ghazali

Sel, 28 April 2009 | 12:36 WIB

Oleh Adi Kusno*
 
Islam adalah cara hidup yang imbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral, material manusia dan aktualisasi keadilan sosio-ekonomi serta persaudaraan antar umat manusia. Berbagai aspek kehidupan dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam syariah dan muamalah, sehingga mengikutinya merupakan perjalanan yang harus ditempuh untuk menjadi Muslim sejati.

Islam merupakan satu-satunya agama yang mengemukakan prinsip-prinsip yang meliputi semua segi kehidupan manusia, tidak hanya membicarakan tentang nilai-nilai ekonomi. Islam juga telah menanamkan kerangka kerja yang luas berdasarkan kesempatan berekonomi yang sama dan adil bagi penganutnya untuk mengarahkan mereka ke arah kehidupan ekonomi yang seimbang.<>

Sebagai agama yang komprehensif tentunya aktivitas ekonomi sebagai kegiatan vital kemanusiaan tidak luput dari perhatian. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275), Ayat-ayat inilah yang menunjukkan sebagian dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang merujuk pada aktivitas ekonomi.

Pembahasan mengenai struktur pasar menjadi penting dalam ekonomi Islam, karena dalam konsep ekonomi Islam, penentuan harga didasarkan atas kekuatan-kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Sebagaimana Rasulullah SAW sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil, sehingga beliau menolak adanya suatu intervensi pasar apabila perubahan harga yang terjadi karena mekanisme harga yang wajar. Dengan demikian, Islam menjamin pasar bebas di mana produsen dan konsumen bersaing satu sama lain dengan arus informasi yang berjalan lancar dalam kerangka keadilan, yakni tidak ada (baik individu maupun kelompok produsen, konsumen, dan pemerintah) yang zalim atau dizalimi.

Kondisi ini merupakan suatu kondisi ideal yang pada tataran praktis tidak selalu seperti itu kondisinya. Sehingga distorsi pasar (market distortion) yang menyebabkan pasar tidak bekerja pada kondisi yang ideal menjadi pembahasan paling vital dalam ekonomi Islam. Secara garis besar, ekonomi Islam membedakan tiga bentuk distorsi pasar, yaitu distorsi pada penawaran dan permintaan, penipuan (tadlis), dan  ketidakpastian (taghrir).

Akan tetapi, yang menjadi pembahasan di sini adalah hanya tertuju pada distorsi pada penawaran, lebih tepatnya mengenai monopoli yang di dalam terminologi ekonomi Islam dikenal sebagai ikhtikar. Ikhtikar sebagai salah satu bentuk distorsi pasar yang menyebabkan pasar menjadi tidak sempurna yang bertentangan dengan ajaran Islam karena Islam mendorong adanya suatu pasar yang memiliki karakter sbagaimana pasar persaingan sempurna yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Secara normatif ajaran Islam ini harus dipahami sebagai upaya untuk menciptakan pasar yang setidaknya mendekati pasar persaingan sempurna.
 
Monopoli dalam ekonomi konvensional sering diartikan sebagai sebuah pasar yang hanya memiliki satu penjual (produsen) tetapi memiliki banyak pembeli (konsumen). Dengan demikian, penawaran monopolis sekaligus juga sebagai penawaran pasar (industri), dengan kata lain, permintaan terhadap output perusahaan merupakan permintaan industri. Sehingga dapat dikatakan bahwa monopolis tidak memiliki kompetitor (pesaing). Dalam kenyataannya jarang ditemukan monopoli murni (pure monopoly), tetapi yang banyak ditemukan adalah kondisi di mana hanya terdapat sedikit perusahaan (produsen) yang bersaing di dalam suatu pasar lebih tepatnya.

Pada dasarnya dalam ekonomi Islam, monopoli tidak dilarang, siapapun boleh berusaha atau berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain, asalkan tidak melanggar nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, yang dilarang berkaitan dengan monopoli adalah ikhtikar, yaitu kegiatan menjual lebih sedikit barang dari yang seharusnya sehingga harga menjadi naik untuk mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal, di dalam istilah ekonomi kegiatan ini disebut sebagai monopoly’s rent seeking behaviour. Sehingga sekarang dapat dibedakan antara monopoli dan ikhtikar dalam terminology ekonomi Islam. Maka, di sinilah konsep monopoli yang dalam islam diartikan sebagai ikhtikar itu dilarang.

Dalam hal ini, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai dua hal tentang ikhtikar di antara para ahli fiqih, yakni tentang jenis barang dan waktu diharamkannya ikhtikar. Menurut Imam al-Ghazali pengharaman ikhtikar hanya terbatas pada barang-barang kebutuhan pokok, selain kebutuhan pokok termasuk penopang bahan makanan pokok seperti obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak dikenakan larangan meskipun termasuk barang yang dimakan.

Sedangkan menurut pandangan Yusuf Qardhawi adalah pengharaman ikhtikar tidak terbatas pada barang kebutuhan pokok saja, melainkan barang yang dibutuhkan manusia, baik makanan pokok, obat-obatan, pakaian, peralatan sekolah, peraabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Menurut Imam al-Ghazali waktu pelarangan ikhtikar adalah dikhususkan pada waktu persediaan bahan makanan sangat sedikit, sementara orang-orang sangat membutuhkannya. Sehingga tindakan menangguhkan penjualan dapat menimbulkan bahaya. Namun jika bahan makanan berlimpah ruah dan orang tidak begitu membutuhkan dan menginginkannya kecuali dengan harga yang rendah, kemudian penjual menunggu perubahan kondisi itu dan tidak menunggu sampai paceklik, maka tindakan ikhtikar tidak termasuk dalam suatu tindakan yang membahayakan tersebut.

Inilah pandangan al-Ghazali tentang monopoli (ikhtikar) yang merupakan suatu kontribusi bagi para pakar ekonomi islam dan sebagainya, terutama dalam memaknai monopoli tersebut. Maka, konsep monopoli baik dalam ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam memiliki perbedaan. Di dalam ekonomi Islam, monopoli tidak diharamkan, akan tetapi kegiatan monopoli’s rent seeking yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai ikhtikar yang dilarang atau diharamkan dalam Islam. Karena menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu agen ekonomi lain dalam ekonomi, salah satu pihak (produsen) diuntungkan akibat kerugian pihak lain (konsumen).
 
*Penulis adalah Direktur Eksekutive Lembaga Ekonomi Islam, Tinggal di Yogyakarta