Opini MUKTAMAR NU

Muktamar NU dan Transformasi Digital

Sel, 14 Desember 2021 | 17:00 WIB

Muktamar NU dan Transformasi Digital

Pandemi Covid menyadarkan kita untuk menyusun metode dakwah yang baru sekaligus merancang secara sistemik bagaimana melakukan transformasi digital untuk membentuk ekosistem warga Nahdliyyin yang kokoh, mandiri, berdaulat dan berdaya saing yang tinggi.

Oleh Masykurudin Hafidz

Nahdlatul Ulama akan melaksanakan event paling penting dalam organisasi, Muktamar. Di antara agenda Muktamar NU adalah pembahasan masalah sosial kemasyarakatan yang dihadapi oleh mayoritas warga, merumuskannya dalam rancangan program dan rekomendasi untuk dilaksanakan di masa mendatang.


Salah satu materi Muktamar yang penting dan sedang dilakukan pembahasan secara intensif adalah perubahan ke arah dunia digital. Perubahan menuju tata dunia yang baru. Perubahan yang ditandai dengan penggunaan sekaligus ketergantungan terhadap teknologi informasi, menjadi realitas yang tidak bisa dipungkiri.


Dunia berubah, yang tidak berubah ya perubahan itu sendiri.Pilihan bagi Nahdliyyin hanya dua; ketinggalan atau cepat beradaptasi. Menolak perkembangan zaman dengan segala konsekuensinya atau segera menyerap kelebihan dan kekurangan kondisi mutakhir ini, mengambil hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi organisasi dengan tetap mempertahankan nilai dan praktik baik sebelumnya.


Tranformasi Digital

Dalam konteks ke-NU-an, transformasi digital adalah proses penggunaan teknologi digital untuk menciptakan hal baru atau memodifikasi proses organisasi, budaya, dakwah dan kehidupan Nahdliyyin sesuai dengan kondisi terkini. Dari yang sebelumnya konvensional, diubah menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang.


Transformasi digital bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal nilai, pengoptimalan dan kemampuan adaptasi pada saat teknologi informasi digunakan. Secara organisasi, transformasi ini juga menyangkut proses,kompetensi serta manajemen untuk sepenuhnya memanfaatkan peluang penggunan teknologi digital sekaligus mempertimbangkan dampak bagi pengelolaan organisasi secara keseluruhan serta jalan keluarnya jika mengalami hambatan.


Batasan di kalangan NU dalam transformasi ini jelas, mempertahankan yang baik, dan mengambil yang lebih baik (al-muhafazatu ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil aslah).Senantiasa berusaha menjaga tradisi yang bernilai baik sekaligus membuka peluang terhadap sesuatu yang datang dari luar yang dinilai lebih baik dan bermanfaat bagi kemajuan organisasi dan warga Nahdliyyin.


Nilai baik dari teknologi digital adalah integrasi, koneksi dan kolaborasi. Integrasi dimaknai bahwa teknologi digital dapat menggabungkan atau menyatukan yang selama ini terpisah dan terpecah-pecah dengan mudah. Koneksi diartikan bahwa teknologi menghubungkan satu dengan yang lainnya dengan cara yang sangat cepat. Dengan kemudahan untuk terhubung dan menyatukan diri, maka memunculkan dimensi kolaborasi yaitu bertemunya para pihak dengan kebutuhan yang sama kemudian menghasilkan kerja sama.


Dengan kondisi ini, transformasi digital menjadi realitas de facto yang sangat mempengaruhi tingkat kesadaran manusia dan sistem sosial masyarakat, termasuk pendidikan, jual beli, komunikasi hingga gerakan politik dan keagamaan. Tidak jarang gerakan politik atau keagamaan berasal dari perbincangan dengan menggunakan teknologi digital. Semakin besar gerakan sosial kemasyarakatan sering kali ditentukan oleh kuat tidaknya bertahan di media sosial.


Transformasi NU

Dalam dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia yang mayoritas warga Nahdliyyin. Pola kehidupan berubah. Terdapat kebijakan yang wajib diterapkan di seluruh negara bahwa umat manusia di dunia ini harus berhenti, berjarak dan menjalankan protokol kesehatan. Jelas ini sangat bertabrakan dengan budaya Indonesia, terutama kaum Nahdliyyin yang hampir semua kehidupannya dijalankan secara bersama, karena dalam jama’ah itu ada barokah.


Pengajian umum dengan ribuan jamaah berhenti. Pendidikan di pondok pesantren diliburkan. Kegiatan keagamaan yang mengumpulkan banyak orang dibatasi, bahkan dilarang. Terdapat rasa yang hilang dalam keterasingan (alienasi) saat pandemi berlangsung dengan protokol kesehatan ketat.


Akan tetapi disisi lain, pandemi menciptakan kesadaran baru. Muncullah kesadaran bersama di lingkungan Nahdliyyin bahwa keterbatasan hubungan antar sesama dalam menjalankan kehidupan sebagiannya dapat dilakukan dengan menggunakan jalur teknologi informasi. Yang paling kentara adalah di bagian dakwah, kesadaran yang kemudian memunculkan konten-konten pengajian Nahdliyyin melalui berbagai platform. Meningkat drastis baik dari jumlah maupun tokoh NU yang mengembangkan dakwahnya di dunia digital. Bahkan sudah mulai mempengaruhi algoritma di mesin pencarian.

 


Keberhasilan dalam berdakwah di dunia digital, belum merambat kepada keberhasilan pemanfaatan teknologi informasi dalam aspek yang lainnya, yang sama-sama diharapkan bahkan paling dibutuhkan oleh Nahdliyyin, yaitu pendidikan, ekonomi, budaya, politik dan keamanan.


Pandemi Covid menyadarkan kita untuk menyusun metode dakwah yang baru sekaligus merancang secara sistemik bagaimana melakukan transformasi digital untuk membentuk ekosistem warga Nahdliyyin yang kokoh, mandiri, berdaulat dan berdaya saing yang tinggi.


Oleh karena itu, keberhasilan dalam dunia dakwah dalam mentransformasikan dunia digital, diikuti transformasi lainnya dalam rangka melakukan pemberdayaan warga NU. Aktivitas organisasi mengadaptasi teknologi informasi untuk mempercepat agenda-agenda lembaga dan badan otonom untuk mengakselerasi kebutuhan Nahdliyyin untuk meningkatkan taraf hidupnya.


Tranformasi digitalmasuk pada level ekonomi dimana warga NU secara digital dapat menjual sekaligus membeli produk-produk warga NU sendiri di seluruh wilayah Indonesia.Kemandirian ekonomi ditunjukkan sistem yang memudahkan dan terhubung antara warga NU untuk untuk saling promosi dan saling jual beli. Besarnya warga NU sebagai pasar, dikelola oleh pengurus dan warga NU sendiri.Penguatan ekosistem ekonomidengan memfasilitasi program-program jualan online, teknologi digital oleh petani/nelayan, dan start up digital NU.


Demikian juga dalam pengelolaan zakat, infaq dan shodaqoh yang potensinya sangat besar untuk meningkatkan ekonomi warga NU. Penguatan sistem informasi, penggunaan media sosial dan pengembangan aplikasi yang memadai menjadi ujung tombak dari pemanfaatan potensi bidang ini.

 


Oleh karena itu, dalam rangka untuk mempercepat dalam melakukan transformasi digital di lingkungan NU maka Muktamar NU menjadi wahana untuk merancang, pertama; memetakan dan memenuhi infratruktur internet hingga tingkat Majelis Wakil Cabang (MWC). Pemetaan dan pemenuhan ditujukan kepada warga NU untuk meningkatkan aktivitas organisasi sekaligus menggunakan kantor untuk pemenuhan kebutuhan lainnya.


Kedua; pengembangan pusat data yang intergarif di PBNU. Seluruh data yang berkaitan dengan Nahdlatul Ulama diletakkan dalam satu pusat data nasional yang dikelola di PBNU untuk kepentingan dalam memetakan pergerakan warga serta menetapkan kebijakan strategis. Pusat data juga digunakan untuk riset-riset untuk pengembangan organisasi dan pemberdayaan warga NU.


Ketiga; pengisian, pelatihan dan kaderisasi sumber daya yang mampu mengelola tranformasi digital NU. Setiap MWCNU setidaknya terdapat 2 orang yang ditunjuk dan bertanggung jawab dalam pengelolaan teknologi digital dalam mendukung organisasi sekaligus kebutuhan warga NU di masing-masing kecamatan. Untuk mencapai itu, diperlukan kebijakan dari PBNU untuk melakukan rekrutmen, pelatihan dan kaderisasi dalam memastikan petugas memiliki literasi digital yang mumpuni.


Pada akhirnya, teknologi digital memang tidak pernah menjadi satu-satunya jawaban untuk menangani aspek kemanusiaan. Teknologi adalah pendorong untuk mencapai target organisasi dan gerakan secara lebih mudah, murah dan cepat. Muktamar Ke-34 NU di Lampung adalah wahana paling tepat untuk memulai gerakan NU yang digital transformatif. Wallahu a’lam.


Masykurudin Hafidz, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.