Opini

Muslim Kaffah yang Sesungguhnya?

Ahad, 5 Agustus 2018 | 23:00 WIB

Muslim Kaffah yang Sesungguhnya?

Ilustrasi (via pixabay)

Oleh Fathoni Ahmad

Dalam Al-Qur’an Allah SWT telah jelas menyebut bahwa manusia hendaknya kaffah dalam memeluk agama Islam. Dia menganjurkan manusia untuk tidak menuruti langkah-langkah syetan, karena mereka adalah musuh yang nyata bagi manusia yang beriman.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat sayang kepada umatnya. Bahkan ketika detik-detik kematiannya, Rasulullah hanya mengingat umatnya dengan menyebut ummati (umatku) sebanyak 3 kali. Ini menunjukkan kecintaan rasulullah kepada umatnya, sehingga kita sebagai umat Nabi juga harus mencintainya dengan jalan selalu menghadirkannya setiap kita membaca sholawat. 

Menjadi Muslim yang kaffah tidak belajar Islam secara instan. Proses instan tidak melalui proses mengaji di berbagai guru, kiai, atau ulama yang ilmunya mumpuni. Belajar agama secara instan hanya berdampak pada mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat, cenderung anti terhadap tradisi dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat, hingga sampai mengkafirkan suadaranya sendiri, padahal sesama muslim.

Maka tidak ada pilihan lain kecuali kita terus berupaya menebar Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dengan cara-cara yang baik dan konsekuen. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Katakanlah aku beriman kepada Allah, maka istiqomah lah.” (HR. Muslim)

Proses belajar di sekolah, pesantren, musholla, masjid, majelis taklim, dan wadah-wadah yang lain merupakan upaya dari kalian semua sebagai pelajar untuk meneguk ilmu sebanyak-banyak dari seorang guru. Belajar agama Islam tanpa menghadirkan guru, kiai, atau ulama hanya akan membuat pemahaman Islam kita tidak mendalam sehingga mudah menyalahkan orang lain yang berbeda.

Merujuk pada Sabda Nabi Muhammad SAW di atas, seorang pelajar harus belajar secara istiqomah, baik belajar agama maupun ilmu umum. Walaupun sesungguhnya tidak dikotomi ilmu (agama dan umum) karena semua ilmu lahir dari kekuasaan Allah yang harus dituntut, dicari, dan di datangi. Dalam persoalan menimba ilmu, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah pernah berpesan bahwa ilmu itu harus didatangi oleh manusia, karena ia tidak mendatangi.

Al-ilmu yu'ta wa la ya'tii (Ilmu itu didatangi bukan mendatangi dirimu). Sebab itu, memperkokoh jaringan atau sanad keilmuan agama kepada sejumlah guru menjadi sesuatu yang penting bagi pelajar dalam upaya memahami Islam secara kaffah (menyeluruh).

Langkah untuk mewujudkan Muslim yang kaffah pernah dikatakan oleh salah satu ulama Indonesia, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta yaitu KH Ali Maksum. Ia memberikan penjelasan bahwa seseorang bisa menjadi Muslim kaffah jika pertama, orang itu harus mempelajari apa dan bagaimana itu Islam.

Kedua, setelah mempelajari juga perlu untuk diamalkan dan diajarkan kembali. Ketiga, sabar dalam berjuang bersama Islam, dan terkahir keempat, memiliki keyakinan terhadap perjuangan Islam. Melalui berbagai tahap ini, Kiai Ali Maksum ingin menegaskan kembali bahwa belajar Islam haruslah melalui berbagai tahap. Tidak instan, apalagi akses tekonologi informasi saat memungkinkan kita semakin mudah dalam memperoleh berbagai informasi di internet.

Salah satu Mufassir bernama Imam Fahruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi dalam Tafsir Al-Kabir-nya menyebutkan: “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan”. Maksudnya tetaplah kalian semua diatas agama Islam sejak awal permulaan dan janganlah kalian keluar dari Islam dan syariat Islam. 

Imam Qaffal berkata: kata kaaffah berarti keseluruhan bisa dikembalikan kepada mereka yang diperintah masuk Islam, sehingga maksudnya: masuklah kalian kesemuanya dalam agama Islam dan janganlah berpisah-pisah dan jangan pula berbeda-beda.

Kata kaaffah berarti keseluruhan juga dapat dikembalikan kepada Islam, yakni seluruh syariat Islam. Al-Wahidi ra berkata: pendapat ini lebih layak dengan dhahirnya tafsir karena mereka (orang-orang mukmin) diperintah melaksanakan keseluruhan syariat Islam.

Terkait istilah kaffah ini, Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, agama Islam sesuatu yang utuh yang tak boleh dipecah-pecah, maka barang siapa beriman kepada islam maka ia wajib mengambil keseluruhannya. Jadi dia tidak boleh memilih hukum Islam yang ia senangi dan meninggalkan hukum Islam yang tidak ia sukai atau mengumpulkan antara Islam dan agama-agama yang lain, karena Allah Ta’ala memerintahkan mengikuti seluruh ajaran-ajaran Islam, menerapkan semua kewajiban-kewajibannya dan memuliakan semua aturan-aturannya tentang halal dan haram.

Adapun terkait penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara (konstitusi) dan dalam kehidupan bermasyarakat (kultur) adalah tanggung jawab bersama setiap muslim. Artinya, syariat Islam tak boleh terlalu dipaksakan ke dalam sistem negara yang majemuk. Usaha menerapkan hukum Islam dalam konstitusi negara harus dilaksanakan dengan cara-cara yang jauh dari kekerasan.

Dalam kehidupan pelajar dan masyarakat secara umum, kita dapat membut kesimpulan seruap bahwa Muslim yang kaffah bukan hanya berupaya menjalankan ibadah dan syariat Islam lainnya, tetapi juga perilaku seperti tidak memaksakan kehendak, taat pada konstitusi negara, dan menjaga tradisi serta budaya yang berkembang di tengah masyarakat juga termasuk upaya mempraktikkan diri sebagai Muslim yang kaffah. Wallahu'alam bisshowab.


Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta