Opini

Nabi Muhammad dan Umumnya Orang Indonesia

Kam, 24 Oktober 2019 | 10:30 WIB

Oleh Abdullah Alawi
 
KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, dalam sebuah pengajian di Jakarta, mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok terbaik dalam perihal nasionalisme terhadap bangsanya. Sebagai seorang rasul, ia tidak membedakan diri dengan masyarakatnya. Namun, ia melebur, berjuang bersama masyarakat. 

Gus Mus memberikan catatan, Nabi Muhammad, lagi-lagi ia menyebut sebagai seorang rasul, berpakaian sebagaimana umumnya masyarakat Arab. Kenapa nabi tidak membuat pakaian sendiri yang khas untuk menunjukkan bahwa dia seorang rasul? Kenapa ia malah berpakaian sebagaimana orang-orang yang membencinya seperti Abu Jahal dan Abu Lahab?
 
Menurut Gus Mus, itulah contoh nasionalisme dalam berpakaian.  

Mungkin saja, jika Nabi Muhammad lahir di tempat lain, semisal di Texas, ia akan berpakaian sebagaimana orang-orang Texas. Jika di Jawa, maka ia akan sebagaimana berpakaiannya orang Jawa.
 
Bukankah seorang nabi diperintahkan untuk berbicara dengan bahasa kaumnya? Jika diperlebar, bahasa ini tentu bermakna pakaian, dan budayanya.
 
Dan tentu saja, namanya seorang rasul, cara berpakaian pun atas bimbingan wahyu. Jika ada yang tak sesuai, barulah nabi mengkoreksinya. 

Begitulah pemaknaan Gus Mus terhadap nasionalisme dalam cara berpakaian ala Nabi Muhammad. Karenanya, ia dan kiai-kiai lainnya seperti Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Kiai Said Aqil Siroj, menggunakan batik, sebagai bentuk nasionalisme terhadap budaya tanah airnya. Itulah bentuk ittiba (mengikuti) jejak nasionalisme kepada Nabi Muhammad. 

Kiai Said Aqil Siroj punya penjelasan sendiri dalam mencintai tanah air. Juga dari jejak hidup Nabi Muhammad. Ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah, adalah upaya untuk membentuk tanah air.
 
Mengapa Al-Qur’an menceritakan sejarah Fir’aun yang kufur terhadap Allah? Karena dia punya tanah air. Kenapa kita masih bercerita Sriwijaya, Majapahit, Pajajaran? Karena mereka jelas punya tanah air.

Ini kalimat yang sering digembor-gemborkan Kiai Said dalam ceramahnya, man laisa lahu ardun, laisa lahu tarikh, man laisa lahu tarikh, laisa lahu dzkirah, barangsiapa yang tak punya tanah air maka tak akan punya sejarah, barangsiapa yang tak punya sejarah, maka akan terlupakan. 

Di atas tanah air itulah, sebuah bangsa bisa membuat peradaban, mulai dari membangun lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah, masjid dan lain sebagainya. 

Beruntung sekali Indonesia memiliki ulama-ulama yang berpandangan cinta tanah air sebagian dari iman sehingga pada awal mula berdiri, bersatu, sepakat bahwa tanah air terlebih dahulu terbebas dari penjajahan.
 
Bahkan dimotori para ulama, pada Oktober tahun 1945 melahirkan Fatwa Jihad fi Sabilillah dan Resolusi Jihad fi Sabilillah. Fatwa jihad ditujukan untuk umat secara keseluruhan. Resolusi Jihad untuk pemerintah republik Indonesia.  
 
Memang, ada perdebatan sengit soal dasar negara. Namun, umat Islam sebagai kaum mayoritas rela Indonesia berdasarkan Pancasila.  

Jika di awal berdiri ribut memperdebatkan dan bahkan memaksakan sebuah ideologi untuk dasar negara, maka kemungkinan besar akan terjadi perang antarsaudara sesama anak bangsa. Contohnya Afghanistan. Selepas Uni Soviet hengkang, mereka semula bersatu padu malah sibuk perang saudara karena tak mampu sampai pada titik temu yang menyatukan semua pihak. Dalam situasi begitu, jangan berharap ada generasi emas yang mumpuni dalam berbagai bidang. 

Lalu, jika saat ini ada orang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama (Islam) memaksakan diri untuk menjadikan pemahaman keagamaannya sebagai dasar negara, mereka sebetulnya mencontoh siapa? Bukankah Nabi Muhammad saja di Madinah membangun sebuah negara berdasarkan kesepakatan bersama dengan berbagai agama dan suku bangsa?  

Penulis adalah Nahdliyin, kelahiran Sukabumi
 
--------------
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo RI