Opini

NU Kultural di Bumi Sunda

Kam, 6 Februari 2020 | 23:00 WIB

NU Kultural di Bumi Sunda

Ikat kepala berlambang Nahdlatul Ulama

Oleh Warsa Suwarsa
 
Hari lahir Nahdlatul Ulama ke-94 bagi penulis merupakan sebuah pencapaian luar biasa. Sebuah organisasi yang didirikan jauh sebelum Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan masih tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan telah melakukan sejumlah prestasi dan sejarah positif bahwa keberadaan NU diakui sebagai benteng keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan bahasa cukup sederhana, NU telah dapat melalui serangkaian fase nimesis, sebuah fase krusial bagi sebuah  organisasi, dengan melalui fase tersebut organisasi ini telah lahir, tumbuh, berkembang, dan bertahan sampai era revolusi industri 4.0 di samping organisasi lainnya.

Saya akui, terlalu luas hal yang harus dielaborasi jika melihat judul di atas. Untuk menarik sebuah kesimpulan terhadap judul besar tersebut memerlukan penelitian lebih serius bukan sekadar racikan kata-kata. Paling tidak, opini ini dapat dijadikan pijakan awal, apa yang seharusnya dilakukan oleh Nahdlatul Ulama agar kelompok akar rumput (NU kultural)  mengakui bahwa keberadaannya tetap sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama. Bukan hanya di Tatar Sunda, juga di setiap daerah di negara ini.

Tidak dapat dipungkiri, pergerakan sebuah organisasi selalu bersinggungan dengan keberadaan organisasi lainnya. Bahkan dapat saja bersinggungan dengan kekuasaan. Bukan hanya pertarungan dalam hal ideologi, juga akan selalu menghadapi pertarungan di ranah sosial kultural. Tata cara di dalam peribadatan pun  dapat menjadi pemantik persinggungan antar organisasi.

Munculnya wacana Nahdlatul Ulama struktural dan Nahdlatul Ulama kultural sebetulnya bukan hal mendasar dalam sebuah organisasi. Namun  melalui pewacanaan ini secara eksplisit tersampaikan pesan bahwa siapa pun yang mengerjakan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (misalnya tahlilan, selametan, kendurian, dsb), mereka masih merupakan orang-orang NU secara kultur, hanya secara struktural tidak masuk ke dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama.

Pada tahun 2000, saat penulis masih duduk di bangku kuliah, persinggungan pemikiran terutama amaliah termanifestasi saat seorang dosen mengatakan muludan, rajaban, bedug, tasbeh, tahlilan, dan amaliah yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul Ulama merupakan bentuk bid’ah, pengamalannya tidak didasari oleh dalil atau nash. Beberapa teman mahasiswa, karena sebagian besar memiliki latar belakang pesantren, saat pulang kuliah sontak berkata kepada saya: “ Biarpun dosen itu mengatakan demikian, kita mah tetap mengamalkannya (amaliah yang disebut bid’ah), kita tetep NU”. 

Kisah tersebut merupakan bagian kecil dari persinggungan yang sengaja dilakukan oleh organisasi lain –hanya  karena berbeda pandangan terhadap tradisi dan kultur yang telah lama berkembang di masyarakat – melakukan serangan kepada masyarakat (NU kultural). Tidak sedikit, masyarakat yang mudah dipengaruhi hanya karena –seolah-olah para propagandis tersebut- lebih memiliki kapasitas memaparkan persoalan keagamaan karena setiap hal selalu disisipi oleh dalil dari dua sumber hukum primer (Al-Qur’an dan hadits). Masyarakat kultural tentu saja tidak akan dapat melawan hujjah mereka dengan argumentasi lain saat dua sumber primer dalam Islam dijadikan alasan mengerjakan amaliah tertentu. Di kelompok Nahdlatul Ulama kultural inilah sikap skeptik mudah lahir.

Sementara itu, di masyarakat urban, persinggungan pemikiran yang lebih serius telah dimulai dua dekade lalu. Meskipun kalangan muda Nahdlatul Ulama memiliki alasan mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dalam memberikan penafsiran –secara progressif- terhadap nash, kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok lain sebagai sebuah aliran baru dan cenderung menyesatkan. Liberalisme dalam tubuh Nahdlatul Ulama diwacanakan dan dibahasakan kembali kepada masyarakat tradisional pengamal kultur ke-NU-an. Pandangan kalangan muda Nahdlatul Ulama telah direfleksi oleh kelompok lain bahwa Nahdlatul Ulama  saat ini telah diracuni oleh virus sepilis. Pewacaaan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme dapat dikatakan sedikit ampuh untuk menghantam pola pikir masyarakat kultural yang masih tabu dengan terma-terma berbau Barat.

Selama dua dekade tersebut merupakan fase penguatan di tubuh NU. Bahkan dapat disebut sebuah fase test-case seberapa kuat hantaman itu dapat meluluh-lantakkan benteng kultural di masyarakat. Kekhawatiran yang mucul telah terselesaikan, meskipun isu sepilis tetap digemakan, tetapi isu ini toch tidak menghantam secara masif benteng pertahanan kultural. Termasuk di Tatar  Sunda. Masyarakat yang telah mengamalkan amaliah-amaliah Aswaja meskipun dari berbagai organisasi sering berbisik bahwa dirinya masih sama dengan Nahdlatul Ulama. Tradisi keagamaan yang telah dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama  tetap dilakukan oleh mayoritas masyarakat Islam. Ada satu anomali yang terjadi selam sepuluh tahun terakhir ini, yayasan yang dikelola oleh kaum Salafi telah memberikan bantuan pembangungan ribuan mesjid kepada masyarakat dengan beberapa syarat antara lain: tidak boleh ada bedug dan nama mesjid harus diganti. Tetapi masyarakat justru semakin lebih gencar melakukan aktivitas dan  tradisi ke-NU-an di mesjid tersebut. 

Masyarakat Sunda dalam Bingkai Nahdlatul Ulama
Sebagai orang Sunda dan tinggal di Jawa Barat saya harus berpikir keras dan jengkel, dan ini dirasakan oleh orang Jawa Barat lainnya ketika provinsi ini disimpulkan sebagai provinsi paling intoleran. Penyematan seperti ini membuat saya dan masyarakat Sunda sedikit kesal karena tanpa dasar, alasannya pun hanya karena di provinsi ini tumbuh bibit-bibit radikalisme. Alasan historis dimunculkan kembali, DI/TII sangat mengakar di Jawa Barat. Sebutan dan simpulan seperti ini justru akan menjadi pemantik bagi sebagian masyarakat Sunda melakukan perlawanan opini kepada pemerintah. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi besar dituntut untuk menyelesaikan penggiringan opini ini dengan alasan mayoritas masyarakat Sunda sampai saat ini tetap melaksanakan amaliah yang sama dilakukan oleh Nahdlatul Ulama.

Kita harus jujur, jika dilihat dari perspektif politis, kenapa pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengalami kekalahan di Jawa Barat, tidak ada sangkut-pautnya dengan pertumbuhan radikalisme dan intoleransi di provinsi ini. Kekalahan secara politis tidak dapat disangkutpautkan dengan pertumbuhan intoleransi di satu daerah karena perbandingannya pun memang sudah tidak tepat. Kelalahan politis murni merupakan kelalahan dalam strategi  dan marketing politik saja.

NU kultural merupakan entitas paling besar di Tatar Sunda. Permasalahan yang muncul dalam perkembangan ke-NU-an di Tatar Sunda dapat saya simpulkan berkutat pada persoalan adab-adaban dan  kemestian hubungan antara Nahdlatul Ulama  struktural dengan masyarakat kultural. Ada beberapa kejadian, misalnya tokoh sebuah pondok pesantren mengambil langkah –seolah- keluar dari Nahdlatul Ulama  tetapi tetap mengerjakan amaliah Aswaja. 

Alasannya sederhana, ada adab dan sopan-santun yang mulai redup. Para  pengurus Nahdlatul Ulama  di wilayah masih kurang melakukan pendekatan dan membuat strategi bagaimana menghadapi tokoh seperti ini. Nahdlatul Ulama  harus memokuskan diri dalam membentuk para “inohong” atau melahirkan tokoh-tokoh karismatik di daerah dan berbasis pondok pesantren. Secara struktural, hubungan vertikal antara pengurus pusat dan daerah harus lebih diintensifkan mengkaji persoalan ini. Artinya, masyarakat telah kehilangan tokoh-tokoh karismatik atau figur-figur dari kalangan pesantren setelah dikelola oleh generasi kedua dan ketiga dari tokoh sebelumnya. Figur-figur inilah yang akan tetap merawat masyarakat dalam mengamalkan amaliah-amaliah keaswajaan sebagai pijakan Nahdlatul Ulama dalam berkiprah dan merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 
Penulis adalah Guru MTs-MA Riyadlul Jannah