Opini

NU Memandu Bangsa: Refleksi Hari Pramuka dan HUT RI

Sab, 13 Agustus 2016 | 22:01 WIB

Oleh Fathoni Ahmad
Hari Pramuka diperingati setiap tanggal 14 Agustus yang hiruk pikuknya satu rangkaian dengan Hari Ulang Tahun (HUT) RI tanggal 17 Agustus. Adapun Hari Pramuka di tahun 2016 ini merupakan peringatan yang ke-55 tahun, sedangkan HUT RI sudah mencapai ke-71 tahun. Selama sekian tahun lamanya, wadah para Praja Muda Karana ini telah memberikan pendidikan karakter dan kreativitas nyata supaya generasi muda mencintai dan berkarya untuk negerinya dalam usaha memperkokoh kemerdekaan.

Manusia Pancasila. Ya, itulah sebutan bagi para aktivis Pramuka yang tertuang dalam salah satu bait lagu Hymne Pramuka. Misi mulia dalam mengembangkan kreativitas, memperkokoh daya juang, meneguhkan kecintaan para pemuda kepada bangsa dan negaranya menjadikan Pramuka mempunyai misi dan tujuan utama yang sama seperti di Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Penulis tidak bermaksud membandingkan antara Pramuka dan NU, melainkan menarik simpul bahwa kewajiban mencintai bangsa dan negara merupakan tujuan bersama yang tidak boleh padam dan harus terus berkobar seperti semangat dalam filosofi api unggun.

Keberhasilan perang dalam menegakkan kemerdekaan yang dilakukan oleh para santri, kiai, dan masyarakat Indonesia harus diteruskan dengan cara mencintai negerinya dan berupaya keras mengisi kemerdekaan dengan kegiatan produktif, mencapai prestasi terbaik, serta merawat identitas bangsa. Merawat identitas bangsa ini tidak berpijak pada keseragaman, tetapi justru berangkat dari keberagaman. Dari titik-titik keberagaman itulah bangsa Indonesia yang plural mampu menyatukan diri secara kokoh melalui pondasi bernama Pancasila. 

Tujuan bersama tersebut mempunyai konsekuensi bahwa jika ada pihak-pihak tertentu yang berupaya memecah belah kesatuan bangsa dengan menebarkan kebencian atas nama agama dan sektarianisme, secara tegas harus dilawan. Namun, karena bangsa Indonesia mempunyai keluhuran dalam budi pekerti seperti yang diajarkan oleh para leluhur, proses melawannya pun tidak boleh dengan cara-cara merusak atau dengan menyerang balik secara frontal. Namun, perlawanan cukup dengan cara terus memperkuat kebersamaan di tengah keberagaman dengan saling menghormati. Kemudian, menjaga kelestarian tradisi dan budaya juga menjadi usaha yang tidak kalah pentingnya untuk memperkuat persatuan dari rongrongan kolonialisme modern berkedok agama.

Pandu Tanah Air

Misi memperkuat generasi muda dengan kesadaran akan negerinya begitu penting sehingga harus terus dilakukan oleh Pramuka sebagai gerakan kepanduan seperti yang dilakukan oleh kalangan pesantren sejak 600 tahun yang lalu. Gerakan kepanduan juga tidak lepas dari sejarah NU dan para pemudanya. Bahkan wadah peningkatan kapasitas generasi muda terus dilakukan NU hingga saat ini.

Pada tahun 1924, berawal dari KH Abdul Wahab Chasbullah yang kala itu bersama Abdullah Ubaid merintis organisasi kepemudaan Syubbanul Wathan (Pandu Tanah Air). Kemudian juga membentuk organisasi Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air). Dua organisasi ini yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya GP Ansor dan Banser. Ahlul Wathan yang berjumlah ratusan anggota ini dipimpin oleh Inspektur Umum Kwartir Imam Sukarlan Suryoseputro.

Ketika itu, latihan yang dilakukan seperti pendidikan baris berbaris, lompat dan lari, angkat mengangkat, ikat mengikat (Pionering), Fluit Tanzim (belajar kode/isyarat suara), isyarat dengan bendera (morse), perkemahan, belajar menolong kecelakaan (PPPK), Musabaqoh Fil Kholi (Pacuan Kuda), dan Muromat (melempar lembing dan cakram). Setelah berdiri Anshoru Nahdlatul Ulama (ANU) pada tahun 1934, yang kemudian berganti nama menjadi Gerakan Pemuda (GP) Ansor, kepanduan dijadikan sebagai salah satu perangkat organisasi bernama Pandu Ansor.

Pandu Ansor ini pernah beberapa kali menggelar kegiatan Djambore Kepanduan Ansor yang diikuti perwakilan Pandu Ansor se-Indonesia dan Cabang Istimewa NU di beberapa negara seperti Singapura, yang pernah mengikutinya pada gelaran Djambore Kepanduan Ansor ke-3 yang dihelat di Jakarta. Bahkan Pandu Ansor pernah mengukir kebanggan bangsa Indonesia dengan ikut andil dalam Djambore Dunia. Mereka menjadi salah satu perwakilan Kontingen Pandu Indonesia untuk dikirim mengikuti DJambore Pandu Dunia ke-X di Makiling, Los Banos (Laguna) Filipina, 17-26 Juli 1959.

Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, wadah kegiatan seperti Pandu Ansor bersama Drum Band Pemuda Ansor dan Banser menjadi magnet sendiri di kalangan para pemuda untuk tertarik masuk ke dalam Ansor atau NU. Pada perkembangannya, seiring dengan terjadinya dinamika pada gerakan pandu di Indonesia, pada tahun 1961 seluruh organisasi kepanduan di Indonesia, termasuk Pandu Ansor, melebur menjadi satu dalam wadah bernama Pramuka.

Memandu bangsa mencintai negeri

Gerakan kepanduan yang menjadi aktivitas para pemuda NU itu tidak hanya berupaya memperkokoh jiwa dan mental generasi muda, tetapi juga menularkan virus cinta tanah air seperti yang menjadi tujuan utama Syubbanul Wathan. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan kalangan pesantren dilakukan secara konsisten dalam memandu bangsa Indonesia, baik ketika masa penjajahan maupun pasca kolonialisme saat seorang KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur ikut merumuskan dasar negara berupa Pancasila dan UUD 1945.

Peran NU dan kalangan pesantren bukan tanpa jejak historis dalam meneguhkan perdamaian bangsa dan memperkuat negara. Hal ini dibuktikan ketika ada seorang atau kelompok yang berusaha merongrong Pancasila, NU selalu terdepan dalam menghadapinya. Bahkan organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan ini secara berkelanjutan memberikan penyadaran bahwa kecintaan warga negara terhadap tanah air berperan penting dalam mengokohkan eksistensi bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan fatwa hubbul wathani minal iman (mencintai negara adalah sebagian dari iman) yang dideklarasikan KH Hasyim Asy’ari beberapa dasarwarsa yang lalu.

Penulis menegaskan bahwa hal ini bukan afirmasi buta terhadap jasa-jasa NU. Karena kondisi riil di lapangan secara nyata dapat dilihat bahwa NU telah menjadi gerakan civil society yang mampu memperkuat negara. Bayangkan jika kekuatan organisasi Islam terbesar di dunia ini tidak mempunyai pandangan moderat terkait kehidupan berbangsa dan bernegara, kesimpulan tesis ini bisa dilihat dalam gambaran konflik, perang, dan tragedi kemanusiaan yang amat mengerikan di Timur Tengah.

Setidaknya hal ini merupakan salah satu upaya dalam mengokohkan kesadaran cinta tanah air walaupun penulis sendiri menyadari bahwa banyak hal yang harus dilakukan agar problem-problem kebangsaan di Indonesia bisa di atasi dengan baik. Sebab masalah keadilan dan kesejahteraan sosial serta supremasi hukum masih belum menemukan titik terangnya sebagai upaya menjadikan Indonesia sebagai negara maju di tengah persaingan global yang makin keras seperti saat ini.

Apalagi melihat dinamika politik dari dulu hingga sekarang yang tidak pernah bisa memenuhi ekspektasi publik karena terlalu banyak kepentingan kelompok dan orang per orang yang dibawa dalam percaturan mengurus negara. Terkadang kondisi masyarakat yang kurang stabil yang disebabkan olehnya itu membuat tatanan masyarakat menjadi rapuh. Di titik inilah kelompok-kelompok pemecah belah bangsa menyusup untuk menyebarkan virus kebencian, biasanya instrumen yang digunakan dengan menghembuskan persepsi agama, keyakinan, dan paham-paham tertentu.

Dengan muwafaqah (kesamaan) antara NU dan elemen-elemen bangsa lain untuk menyajikan wajah Islam ramah dan menghargai sesama, memperingati semangat Hari Pramuka ke-55 dan HUT ke-71 RI harus dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk terus memupuk dan meningkatkan kecintaan kepada bangsa dan negara. Langkah mudah yang dapat dilakukan untuk menjaga keutuhan bangsa yaitu dengan tetap lurus dalam memandang kenegaraan sebagai sebuah bangsa. 

Pandangan negara bangsa (nation state) tersebut terus dirawat oleh NU karena ada kecenderungan manusia ketika menjadi modern menghendaki negara ini salah satu di antara dua: lepas dari agama sama sekali (menjadi negara sekuler) atau negara dimotivasi oleh agama seperti gairah mendirikan khilafah secara ahistoris. Di titik ini NU mampu menjaga agama agar dapat mempersatukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengemas Islam sebagai agama publik secara konsisten dilakukan NU agar agama tidak dipahami sebagai syariat buta dan simbol-simbol belaka. Esensi ini juga terdapat dalam 10 butir Dasa Dharma Pramuka yang di antaranya menyatakan bahwa Pramuka itu cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Salam Pramuka dan Dirgahayu Indonesiaku! 

Penulis adalah Dosen STAINU Jakarta, anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan.