Oleh Abdul Kadir Karding
Pada 31 Januari 2017, organisasi keagamaan dengan massa terbanyak di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), merayakan hari lahir yang ke-91. NU yang lahir pada 31 Januari 1926, di usianya yang sangat matang, kini menghadapi medan perjuangan yang kian menantang.
Kita tahu, akhir-akhir ini kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia sedang mendapatkan ujian. Sikap tasamuh umat, toleransi, penghormatan terhadap keberagaman dan perbedaan mendapatkan gugatan dari sekelompok garis keras yang agresif. Kelompok ini, sering dan cenderung memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan penegakan ajaran agama menurut versi mereka.
Semula, bisa jadi kelompok ini muncul karena dipicu oleh keresahan atas situasi bangsa yang belum menggembirakan terkait dengan persoalan sosial. Mulai dari korupsi, kesenjangan ekonomi, kemiskinan, penggusuran, prostitusi, narkoba, perjudian, dan berbagai hal yang kemudian dinisbatkan sebagai kemaksiatan yang harus diperangi dengan pendekatan keagamaan an sich, dengan tafsir tekstual yang kaku melalui jalan nahi mungkar.
Pilihan jalan nahi mungkar, memberantas kemungkaran, diserukan sebagai pilihan dengan dalih karena selama ini pemimpin umat dianggap lebih condong pendekatan amar ma’ruf dengan hanya menyerukan kebaikan yang terlalu sayup untuk didengarkan oleh pemangku kepentingan yang tak responsif. Sementara upaya menekan kemungkaran, yang dilakukan dengan cara-cara demonstratif, show of force, razia yang dianggap membuat gentar praktik kemaksiatan, tak dilakukan.
Berbekal tafsir tekstual atas apa yang tertuang dalam Al-Quran, semangat nahi mungkar dan kemampuan mengelola sentimen kelompok masyarakat yang tak puas dengan persoalan sosial yang dihadapi dalam kesehariannya, kelompok garis keras terus bergerak dengan simbol-simbol formalistik keagamaan yang mampu menarik perhatian umat yang teraliniasi dari ulama atau kiai NU di pesantren yang low profile.
Bersamaan dengan itu, gerakan transnasional ikut masuk memanaskan suasana dengan agenda politik pihak luar yang mengancam persatuan bangsa. Mempolitisasi isu-isu panas bernuansa SARA yang rentan memicu konflik antargolongan. Mengabaikan bahwa Indonesia berdiri dengan semangat para kiai yang mengedepankan persatuan atas dasar tasamuh, toleransi yang menghargai keberagaman dengan menyepakati Pancasila sebagai dasar negara.
Ketika sidang BPUPKI berkutat pada polemik panas soal Piagam Jakarta yang memicu ancaman pemisahan diri dari Indonesia oleh beberapa tokoh Indonesia timur, konon, Presiden Soekarno mengutus KH Wahid Hasyim konsultasi ke Hadlratussyekh KHM Hasyim Asy’ari terkait Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam suatu riwayat, setelah melalui puasa dan istikharah dalam tiga hari, Hadlratussyekh kemudian memberikan dukungannya.
Kaidah fiqih, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih (menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan) menjadi salah satu landasan para kiai menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, menghindari perpecahan, dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Rendahnya pemahaman atas konteks sosial, sejarah perjuangan, dan keterbatasan atas referensi-referensi keagamaan yang beragam, termasuk dalam kajian fiqh; bidang ilmu yang membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan secara pribadi maupun bermasyarakat, menjadikan awam yang tengah tinggi gairah keagamaannya plus menghadapi problem sosial dan ekonomi, mudah terjebak oleh kelompok garis keras yang senang bermain dengan simbol-simbol atau identitas keagamaan yang formalistik.
Menyodorkan contoh-contoh dari pelaksanaan keagamaan di negara lain, seperti Timur Tengah yang sesungguhnya gagal mengelola keberagaman sehingga mengalami berbagai gejolak dan konflik-konflik dengan kekerasan yang berlarut-larut.
Seharusnya, negara-negara yang terjebak dalam konflik berkepanjangan itu datang berguru kepada ulama atau kiai Indonesia bagaimana menerjemahkan Islam yang rahmatan lil’alamin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk soal Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
Dan NU yang menjadi salah satu entitas di negeri ini harus terus melakukan fungsinya merawat perdamaian dan keberagaman. Kaum santri bersarung yang selama ini menjadi salah satu ciri khas nahdliyin harus terus mengobarkan semangat toleransi.
Usia Ke-91 tahun, NU harus tetap berdiri kokoh menjaga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), mendidik umat agar kian matang dalam beragama dengan semangat menumbuhkan rahmatan lil’alamin, kebaikan bagi seluruh penghuni alam raya tanpa membeda-bedakan suku, agama, kelompok, dan ras.
Untuk mengatasi gerakan kelompok garis keras, dan menghindarkan umat dari jebakan radikalisme, maka NU harus mengembangkan pendekatan yang fokus pada pemicu masalah, yang ternyata, tidak melulu soal ideologis, namun lebih banyak karena pelampiasan dari kekecewaan atas problem sosial dan ekonomi yang dialami.
Sebagaimana semangat "nahdlah", yang bermakna kebangkitan, maka NU dan nahdliyin harus segera membangkitkan potensi umat, kiai, santri, dan kaum muda NU lainnya, bersama-sama membangkitkan semangat jihad untuk mewujudkan cita-cita para pejuang bangsa. Sebagaimana wasiat KH Hasyim Asyari pada 1928 yang menyatakan “Sesungguhnya Nahdlatul Ulama berdiri di atas landasan keadilan dan kebenaran. Memperjuangkan kemakmuran bangsa.”
Bila keadilan dan kemakmuran bangsa, benar-benar dapat diwujudkan melalui berbagai upaya yang NU jalankan, maka sesungguhnya, intoleransi, radikalisme, kelompok garis keras, dengan sendirinya akan mati karena tak menemukan kubangan untuk menyemaikan virus-virus perpecahan.
Sesuai dengan budaya jamiyyah, maka seluruh komponen NU perlu segera menyinergikan potensi gerakan pendidikannya yang tersebar di berbagai pesantren, madrasah dan perguruan tinggi yang secara simultan juga menyentuh pemberdayaan ekonomi umat.
Selain menjalankan sendiri upaya-upaya mewujudkan tujuan mulai yang diwasiatkan KH Hasyim Aysari, NU sebagai organisasi dengan jumlah anggota yang tersebesar di Indonesia patut mendesak pemerintah untuk lebih konkret mendekatkan akses modal, informasi, lapangan kerja, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan kepada rakyat kebanyakan.
Laksana badan, yang dapat membuat NU membungkuk seharusnya hanyalah kepentingan rakyat dan umat, menjadi jembatan demi mewujudkan kemakmuran bangsa.
*) Abdul Kadir Karding, Sekretaris Jenderal DPP PKB
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
4
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
5
Khutbah Jumat: Persahabatan Sejati, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Prabowo Serukan Solusi Dua Negara agar Konflik Israel-Palestina Reda
Terkini
Lihat Semua