Opini

Pasar dan Tempat Ibadah

Jum, 29 Mei 2020 | 03:02 WIB

Pasar dan Tempat Ibadah

Sederhana kok. Tetapi banyak orang tidak mau paham. Ini masalahnya.

Saya heran dengan orang yang teriak-teriak, membandingkan pasar (modern atau tradisional) dengan tempat ibadah. "Kenapa pasar dibuka, sementara tempat ibadah masih ditutup?"

Padahal, faktanya, dalam fase new normal semua dipertimbangkan untuk dibuka. Hanya saja masyarakat diminta untuk mengubah gaya hidup sesuai dengan protokol kesehatan.

Selain itu, ada yang harus dipahami dengan baik dan jernih. Pasar merupakan roda ekonomi paling mendasar. Tanpa pasar, masyarakat bisa kolaps. Sedangkan tempat ibadah adalah tempat masyarakat beribadah. Tidak di tempat ibadah pun masyarakat tetap dapat beribadah di rumah.

Sederhana kok. Tetapi banyak orang tidak mau paham. Ini masalahnya.

Andaikan pasar (baik modern atau tradisional) dibuka dan tempat ibadah masih ditutup. Logikanya pakai qiyas awlawi: kalau di tempat ibadah saja tidak boleh berkerumun, apalagi (berkerumun) di pasar.

Tetapi bukankah pasar adalah kebutuhan? Tanpa pasar tidak ada proses ekonomi (jual-beli). Maka itu orang harus ke pasar. Inilah yang dimaksud darurat. Terpaksa harus ke pasar, dan harus menaati protokol kesehatan.

Jika Anda paham ushul fiqih, Anda bisa menggunakan qiyas awlawi (yaitu “apalagi”) seperti dijelaskan di atas. Sama dengan hukum memukul orang tua.
 
Dalam Al-Qur'an tidak ada ayat yang melarang memukul orang tua. Yang ada adalah ayat yang melarang berkata kasar dan membentak orang tua. Jika berkata kasar dan membentak saja dilarang, apalagi memukul orang tua. 

Sekali lagi, ini namanya qiyas awlawi.

Meski pasar sudah dibuka, kalau tidak ada kebutuhan mendesak, ya jangan ke pasar. Simpel kan?
 

KH Taufik Damas Lc. Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta