Opini

Pemaknaan Ulang Sikap Islam terhadap Perempuan

Sab, 27 Februari 2016 | 04:50 WIB

Oleh Fathul Purnomo

Salah satu tuduhan keras dari beberapa kalangan progresif mengenai sikap Islam terhadap permasalahan perempuan adalah tidak ramahnya Islam terhadap perempuan. Argumen yang seringkali dipakai adalah masalah pembolehan poligami dalam Islam, perempuan yang harus selalu berpakaian tertutup, perempuan yang belum diperkenankan memimpin dalam beberapa pos kehidupan sosial. Kritik ini dilatarbelakangi oleh semakin menguatnya paham akan kesetaraan gender, dan emansipasi perempuan dewasa ini.

Namun sepertinya memang ada yang bermasalah dengan paham akan Islam yang selama ini berkembang dalam masyarakat. Karena Islam awalnya justru dibangun dari kalangan budak dan perempuan. Hak-hak yang sebenarnya sedang dipromosikan oleh Nabi Muhammad adalah persamaan atas segala manusia, tidak diukur dari warna kulit, posisi sosial, jenis kelamin dan berbagai varian kategori lainnya. Membesarkan Islam dalam rahim budak dan perempuan dalam strategi pergulatan politik tentu merupakan langkah yang sangat berisiko. Bagaimana tidak, Nabi Muhammad bisa saja berkoalisi dengan para pembesar quraisy lainnya yang secara kalkulatif jauh lebih menguntungkan. Namun sikap nabi justru membangun basis massa dari mereka yang lemah dan tidak menjanjikan prospek Islam yang cerah. Tapi inilah isyarat, bahwa perjuangan tidak boleh berpihak pada material semata, dan sekaligus inilah tanda bahwa kaum marjinal adalah pihak yang harus terus dibela dalam Islam.

Dengan berbekal keberpihakan pada perempuan inilah Nabi Muhammad kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap perempuan. Salah satunya adalah dengan menikahi beberapa janda perang. Dalam masyarakat arab—termasuk juga sampai hari ini di budaya kita—menjadi janda adalah suatu hal yang sangat berat, karena masyarakat dengan semena-mena memberikan stigma pada seorang janda. Janda-janda perang yang dinikahi Rasulullah justru terangkat martabatnya. Jadi konteks pembelaan hak-hak perempuan dilakukan oleh Rasulullah dengan jalan menikahi mereka. Dan jika di zaman ini poligami justru merupakan hal yang merendahkan wanita, maka sepertinya arah pandangan Islam umum pun perlu ditilik ulang.

Kedua, dan juga acapkali menjadi perbincangan hangat adalah permasalahan seputar jilbab. Terdapat dua pandangan yang masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Dan semakin menguat disaat Prof Quraisy Shihab membeberkan bahwa jilbab adalah persoalan kultural. Jika kita menggunakan opsi kedua bahwa jilbab merupakan persoalan kultural, maka jilbab yang diatur dimasa Rasulullah terbuka kemungkinan dimana hanya merupakan produk regulasi yang juga demi melindungi perempuan. Dan karena sifatnya yang kultural, dimana saat ini dan di budaya yang berbeda Islam tumbuh, maka jilbab pun perlu dikaji kembali jika masih dianggap sebagai benteng perempuan. Di masa ini banyak yang merasa bahwa jilbab adalah sesuatu yang membelenggu dan tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.

Dalam hal kepemimpinan, Islam sebenarnya sudah membuat contoh yang jelas dimana Aisyah adalah seorang istri Rasulullah yang bahkan pernah memimpin perang. Dalam hal sosial, beberapa ulama berpendapat bahwa perempuan diperbolehkan memimpin. Tafsir paling radikal juga dilakukan oleh beberapa ulama dengan melihat bahwa perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin tidak hanya dalam pos-pos sosial, namun juga dalam perkara praktik beragama. Menjadi pemimpin perang memberikan gambaran bahwa perempuan juga harus bergelut dengan ranah publik, dan menjadi imam juga adalah ranah publik. Pencuatan Aisyah menyiratkan bahwa perempuan tidak boleh hanya bermain dalam ranah privat.

Pembacaan pada konteks memberikan pemahaman yang lebih utuh mengenai Islam. Rasulullah mungkin menikahi banyak perempuan, namun jalan tersebut ditempuh demi mengangkat martabat perempuan itu sendiri. Penggunaan jilbab, yang dirasa perlu dilakukan saat itu juga agar perempuan tidak terlecehkan, dan contoh Aisyah yang sudah jelas-jelas memimpin perang. Jangan terjebak pada lokalitas, sehingga kita melihat yang material sebagai apa adanya. Maka perlu ditekankan agar semua pesan-pesan ini adalah sifatnya universal. Nilai-nilai yang dikedepankan adalah nilai-nilai yang universal, perjuangan terhadap perempuan. Adapun cara berada dengan jalan menikahi mereka adalah bentuk kontekstualitas, dan jika sekarang justru sebaliknya tentu hal tersebut yang harus diterima. Terlebih poligami memiliki persayaratan yang begitu berat. Karena semua orang sama di depan Allah, hanya ketakwaannyalah yang membedakan, termasuk perempuan yang sudah tidak perlu lagi dialienasi dan dibeda-bedakan. Nahdaltul Ulama menjadi jembatan untuk menterjemahkan pemahaman ini, terlebih NU bergerak dengan mencoba menginfiltrasi lewat pos-pos kebudayaan, sehingga sulit untuk menghindari tafsiran ayat suci yang dikawinkan dengan budaya lokal, termasuk dalam hal ini gagasan Islam Nusantara. 

*Department of Philosophy Faculty of Humanity Universitas Indonesia