Opini

Pendidikan Islam dan Wawasan Masyarakat

Sab, 19 Agustus 2017 | 05:00 WIB

Oleh Aswab Mahasin

Pendidikan berbasis Islam didirikan tidak serta merta tanpa arah. Kehadirannya tentu untuk menjawab persoalan masyarakat. Khususnyayang berhubungan dengan pendidikan akhlak dan pengetahuan Islam. Kita tidak bisa menampik, Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam, dalam perkembangannya membutuhkan sebuah suplemen tambahan pada dunia pendidikan.

Merujuk pada realitas sejarahnya, pendidikan Islam, seperti; Pesantren dan Madrasah Diniyah adalah model pendidikan yang sudah mentradisi. Hadirnya pendidikan Islam tidak lepas dari kebutuhan masyarakat, khsusnya orang tua. Di mana kebutuhan membangun karakter anak adalah hal utama.

Kemajuan sebuah bangsa atau negara, dan agama harus dibarengi dengan nilai-nilai spiritualitas. Relevansinya sudah jelas. Pendidikan Islam diharapkan akan melahirkan generasi-generasi berkualitas; sebagai transmisi nilai dalam wawasan kehidupan bermasyarakat.
 
Baru-baru ini, di berbagai media ramai Full Day Scholl (FDS). Pada kapasitas ini, saya tidak akan megomentari hal tersebut, karena sudah jelas menyimpang dari kodrat budaya kita. Dan kebijakan itu harus segera “ditenggelamkan”. 
Secara pandangan moral, pendidikan Islam lebih menganut faham objektivisme moral, bukan relativisme moral. Karena karakter yang dibangun tidak melulu pada pemahaman keagamaan melainkan seluruh aspek kehidupan/wawasan kemasyrakatan. 

Seperti di Pesantren, kita diajarkan banyak hal, ditempa secara karakter, tidak hanya teknis (pengetahuan), tapi psikis (mental) juga. Mungkin, sebagian orang mengatakan basis lembaga Pendidikan Islam terlalu kolot dan tidak bisa berkembang. Tidak demikian, hal tersebut bagian dari gagasan keliru modernisasi, itu hanya pandangan apatis terhadap tradisi yang sudah mengakar.

Saya ambil contoh model pendidikan modern, sebuah negara barat yang industrinya sudah maju, Selandia Baru, merasakan ada kesalahan dalam model pendidikan mereka. Kenapa? Pendidikan mereka menganut dasar relativisme moral, maksudnya, suatu kepercayaan benar dan salah tidak diukur dari kesepakatan umum/objektif, melainkan masing-masing individu mempunyai ukurannya sendiri-sendiri.

Standar nilai seperti yang diajarkan oleh agama, ditolak. Contoh: ketentuan agama mengatakan berhubungan badan antra laki-laki dan perempuan yang belum menikah hukumya haram. Bagi penganut relativisme moral hal tersebut boleh, dan wajar asalkan suka sama suka.

Pertanyaannya, apa konsekuensi dari pelaksanaan atas dasar prinsip relativisme moral? Terlahirnya dua arus negatif yang susah dijinakkan, pertama, seseorang akan menjadi indivdualisme dan radikal, dan Kedua, lepasnya nilai-nilai kesalehan. Memang, Selandia Baru secara data sejak tahun 1960 hingga sekarang pendudukanya makmur, tekhnologi berkembang, kaya, dan sehat. Namun, seiring dengan itu, kejahatan meningkatan, kelahiran di luar nikah meningkat, perceraian juga, begitupun dengan bunuh diri. Apakah pendidikan Indonesia akan diarahkan ke sana? Semoga tidak.

Berkaca dari pengalaman tersebut, ketika pendidikan agama (Islam) ditinggalkan, telah jelas, yang akan terjadi adalah wawasan masyarakat mengenai pergaulan sosial bergeser ke arah tidak teratur, di mana setiap penduduk akan mementingkan dirinya sendiri, gotong royong sirna, dan nilai-nilai kebudayaan/kesalehan sosial tiada. Tentu, kita semua tidak ingin hal itu terjadi.

Selain itu, anehnya kritik juga berdatangan dari sebagian ilmuan sosial yang mengatakan lembaga pendidikan agama cenderung merefleksikan dan menggemakan stereotip dan prasangka antarkelompok, karena menyebarkan pandangan self-glory dan self-righteous, dan menjalankan dinamika relasi sosial-keagamaan yang segregatif. Dianggap itu akan memperuncing perpecahan, karena pengajarannya bersifat deduktif-dogmatis dan eksklusif.

Bagi saya pandangan tersebut jelas keliru. Pengajaran dalam lembaga pendidikan keagamaan, khususnya Islam, selalu diajarkan sikap toleransi, dan menghormati sesama. Penguatan karakter yang ditekankan adalah akhlak yang mulia, sesuai dengan gambaran besarnya Nabi Muhammad Saw. Apalagi didorong dengan tradisi dan kebudayaan Indonesia yang ramah lingkungan. 

Kalau pun ada titik simpul yang menyulut perpecahan, jelas model pendidikannya bukanlah model yang sudah mentradisi dalam lembaga pendidikan keagamaan kita, melainkan mereka yang mengajarkan paham-paham radikal. Ini yang harus kita bendung dan filter, agar pendidikan agama yang kita ajarkan sesuai dengan karakter wawasan mayarakat kita. Tolok ukurnya tidak hanya hukum semata, melainkan saleh ritual dan saleh sosial. 

Pendidikan Islam Ala Wali Songo

Peran Wali Songo dalam penyebaran Islam di Indonesia tidak bisa dikesampingkan. Bumi Nusantara menjadi Islam secara mayoritas adalah hasil dari dakwah Wali Songo yang ramah lingkungan. Pendekatannya lemah lebut, melalui jalur seni, tembang-tembang dolanan, dan melakukan “pengilmuan Islam” terhadap budaya lokal. 

Wali Songo menerapkan konsep Pendidikan Islam “ngayomi”. Tidak menuding dan tidak juga menyalahkan. Bahasa populernya adalah Wali Songo melakukan proses akulturasi, mengapresiasi tradisi dan kearifan lokal, dengan berlandaskan al-Qur’an, Hadits, dan Kajian Kitab Kuning. Menurut para ahli, Wali Songo yang pertama kali melakukan sistem pendidikan karakter berbasis pesantren.

Wali Songo dalam proses pendidikannya terlebih dahulu memahami selera rakyat, tidak gegabah menyalahkan apalagi sampai mengkafirkan. Pengajaran akhlak, toleransi, dan menghormati orang lain adalah kunci dari suksesnya sistem pendidikan yang diterapkan. Entah itu melalui jalur wayang atau mencoba merekonstruksi tradisi-tradisi yang belum islami. Anehnya, pendidikan model ini disalahkan oleh sebagian kalangan—dianggap mencampur adukkan ajaran, sehingga Islam tidak lagi murni. 

Padahal, dulu hingga kini, salah satu yang membuat bumi Nusantara menjadi Islam, medianya wayang, tembang, syukuran, kenduren, dan tahlilan. Sederet nama tersebut oleh Wali Songo dijadikan sebagai alat pendidikan untuk mengajak, bukan menginjak. Seandainya kita tahu, bisa jadi keIslaman kita sekarang ini bagian dari produk pertunjukan wayang para Wali, bagian dari produk “berkat” sedeakh alam/tahlilan, dan bagian dari produk tembang-tembang dolanan. Dan hebatnya, ajaran-ajaran Wali Songo mentradisi hingga sekarang, Pesantren dan Madrasah. 

Titik Pijak Pendidikan Islam

Titik pijak pendidikan Islam harus dibangun pada empat landasan konsep; pertama, Pendidikan Spiritual, menekankan pentingnya prinsip tauhid. Islam sebagai agama yang universal dari segi ruang dan abadi dari segi waktu terkait dengan kenyataan sehari-hari yang khusus, ada continum yang tak terputus antara keesaan Tuhan dan kenyataan.
 
Itulah proses pembangunan spiritual yang hakiki. (Lih. QS. Yusuf [12]: 40; Ar-Rum [30]: 30),  Kedua, Pendidikan Emosional, menekankan pentingnya prinsip keteladanan/menjadi teladan yang baik. Ketiga, Pendidikan Intelektual, menekankan pentingnya prinsip mencari ilmu. Islam mengajarkan bahwa untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat harus dengan ilmu. Keempat, Pendidikan Sosial, menekankan pentingnya prinsip hidup berdampingan, al-Qur’an memerintahkan kita untuk saling mengenal, dan berbuat baik serta tolong menolong atas dasar taqwa. (Lih. QS. Al-Mai’dah [5]: 2); QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Dengan demikian, Pendidikan Islam di Indonesia mau tidak mau harus terus berbenah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat kita. Supaya pendidikan Islam menjadi corong utama dalam peran membangun manusia, membangun bangsa, dan negara.

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.