Opini

Pendidikan Karakter dalam Keluarga (4)

Rab, 8 Juli 2020 | 23:30 WIB

Pendidikan Karakter dalam Keluarga (4)

Pendidikan agama dengan segala muatannya akan tidak efektif tanpa teladan. Anak-anak yang tinggal bersama orang tua, akan sangat mendambakan sosok-sosok model terbaik agar mereka mampu membentuk watak yang mulia.

Pada bagian akhir tulisan ini, selain keteladanan orang tua, fokus pendidikan agama untuk pembentukan karakter anak adalah konten yang diajarkan. Pada masa pandemi Covid-19 ini, banyak orang tua bingung, materi agama apa yang tepat selain yang diberikan dari sekolah? 


Fakta berbicara, belajar dari rumah (study from home) ternyata guru agama lebih sering memberikan PR kepada anak-anak murid dari pada mengajar langsung. Mungkin bisa dipahami karena keterbatasan media pembelajaran. Bahkan untuk mengikuti pembelajaran, anak-anak murid hanya diminta menonton TVRI.


Kondisi ini yang menjadikan para orang tua merasa cemas. Pendidikan agama buat anak-anak dikhawatirkan tidak memenuhi target minimal. Apalagi model pembelajaran dari sekolah sering mengalami kendala, seperti soal metode dan jaringan internet. Selain itu, juga menyangkut aspek metode dan muatan pembelajaran dinilai kurang kaya akan muatan kurikulum dan komprehensif sepanjang mereka lebih banyak di rumah.

 


Kekhawatiran juga dialami oleh orang tua yang memilih jalur Home Schooling (HS) bagi anak-anaknya. Mereka sering merasa kekurangan atau bahkan tidak mengerti apa yang harus diajarkan kepada anak terkait pendidikan agama. Hal ini wajar karena memang HS memberi kesempatan kepada orang tua untuk memilih muatan kurikulum dan metode pembelajaran yang cocok untuk anak-anaknya. Sementara belum ada panduan lengkap tentang pendidikan agama dalam keluarga.


Oleh karena itu, orang tua semestinya sudah memiliki gambaran tentang pendidikan agama tingkat dasar kepada anak-anaknya. Muatan pendidikan agama tingkat dasar ini penting untuk diketahui dan diajarkan kepada anak agar kelak mereka memiliki pemahaman keagamaan secara komprehensif. Artinya, selama anak-anak telah mendapatkan pendidikan dasar agama yang cukup, orang tua bisa menikmati di hari tua dengan nyaman.


Pemahaman komprehensif ini harus didasarkan pada muatan yang utuh, meliputi aspek akidah (teologi), ibadah, muamalah, dan akhlak (karakter). Pada saat yang sama diselipkan unsur kesejarahan dan penambahan values lain, seperti hafalan surat-surat pendek, doa sehari-hari, shalawat Nabi, dan lain-lain. Berdasarkan alasan ini pula, penulis telah membuat silabus mandiri Pendidikan Diniyah (Keagamaan) Tingkat Dasar yang diperuntukkan bagi pendidikan anak di dalam keluarga.


Silabus yang dibuat ini bersifat fleksibel yang bisa disesuaikan dengan konteks, ketersediaan sarana dan waktu pembelajaran. Pada saat yang sama, bagi orang tua yang belum memiliki pengetahuan cukup tentang pendidikan agama bisa sekalian belajar bareng dengan anak-anak mereka. Tidak ada istilah malu terkait belajar agama. Tentu orang tua harus terlebih dahulu menguasai materi yang akan disampaikan agar anak bisa menerima dengan baik.


Lalu apa konsep silabus pendidikan diniyah (keagamaan) tingkat dasar yang diperlukan dalam keluarga? Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:


Pertama, muatan kurikulum akidah (teologi). Ini adalah dasar paling pokok bagi anak yang harus diajarkan sejak dini. Pemahamannya harus lebih detail tentang konsep ketuhanan. Kenapa Allah ada. Kenapa harus ada rasul dan kitab. Kenapa kita harus beriman kepada malaikat, hari akhir dan qadla qadar. Dasar keimanan ini satu persatu diuraikan agar terinternalisasi dalam kesadaran anak.


Jika melihat silabus yang ada, mungkin ini sebagai hal biasa. Namun target kompetensi setiap poinnya bukan hanya pemahaman, tetapi internalisasi nilai. Di sinilah perlunya orang tua bisa memahami konsep teologi terlebih dahulu. Misalnya, saat menyampaikan materi iman kepada Allah munculkan pertanyaan "kenapa Allah ada?" Anak diberikan perspektif yang kritis, sehingga mereka akan beriman berdasarkan pengetahuan yang kuat sejak dini. Jadi bukan sekedar kalimat bahwa Allah itu ada.

 


Kedua, muatan kurikulum ibadah. Setelah pemahaman akidah cukup, muatan ibadah harus diajarkan. Konsep ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, serta ibadah sunnah lain perlu ditanamkan. Selain aspek akidah sebagai dasar meyakini atas Islam, juga pengetahuan tentang ibadah dan praktiknya harus ditekankan. Sekali lagi, aspek ibadah ini perlu contoh konkrit dari orang tua agar dapat ditiru oleh anak-anaknya.


Nilai-nilai kebaikan atau hikmah di balik praktik ibadah juga harus dijelaskan secara bertahap. Kenapa? Agar anak mampu menangkap tujuan Syariah atas praktik ibadah. Sehingga, kelak mereka akan mengerti substansi ibadah dan tidak menjadi golongan orang yang taklid buta. Dengan ibadah yang diiringi pemahaman substansi akan menambah keyakinannya dalam beragama.


Ketiga, muatan kurikulum muamalah. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti berhubungan dengan manusia lain dan lingkungan. Karena itu, anak harus dibekali pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana berhubungan dengan orang lain, khususnya terkait dengan jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, ghashab, pernikahan, dan lain-lain.


Apalagi di era teknologi seperti ini, pengetahuan tentang muamalah menjadi sangat penting. Transaksi antar manusia semakin intens dan beragam jenis media. Paling tidak, dasar-dasar pengetahuan untuk bermuamalah sudah diajarkan. Sehingga tidak ada kegagapan ilmu dengan realitas.


Keempat, muatan kurikulum tentang akhlak. Akhlak adalah pondasi penting sebagai makhluk rohani. Dengan bekal akhlak, anak-anak akan memiliki kecerdasan sosial dan spiritual yang baik. Akhlak mulia akan menjadi mahkota bagi pemiliknya, karena akan membentuk sikap dan perilaku yang baik. Tujuan penting dari orang beragama adalah menjadi pribadi yang berakhlak (berkarakter). Tanpa akhlak, agama akan kehilangan substansinya.

 


Titik tekan dari pendidikan agama selain dedikasi kepada Tuhan, juga memiliki hubungan yang baik antara sesama. Pendidikan akhlak (tahdzibul akhlaq) menjadi fokus penting dari para tokoh seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Ibnu Miskawaih, dan masih banyak lagi.


Sekali lagi, pendidikan agama dengan segala muatannya akan tidak efektif tanpa teladan. Anak-anak yang tinggal bersama orang tua, akan sangat mendambakan sosok-sosok model terbaik agar mereka mampu membentuk watak yang mulia.


Diharapkan, dengan pendidikan agama akan membentuk insan yang lebih sempurna, selain memiliki keyakinan yang kuat, taat dalam beribadah, berpengetahuan dalam muamalah, serta berakhlak mulia, baik pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, maupun kepada Sang Ilahi. Wallahu a'lam bisshawab. (Selesai)


 

Thobib Al-Asyhar, Dosen Psikologi Islam pada Kajian Timteng dan Islam, SKSG Universitas Indonesia