Opini

Pendidikan Karakter: Menjadi NU, Menjadi Indonesia

Jum, 24 Agustus 2018 | 00:30 WIB

Oleh Amsar A. Dulmanan

Pendidikan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, terdapat kosa kata prinsip dengan arti asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, sebagai landasan, dasar atau prinsip (principle) operasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan merupakan fondasi utama menambah wawasan, membentuk karakter dan meningkatkan daya saing peserta didik. Pendidikan adalah proses pembudayaan, yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat. Sekaligus tidak sebatas pewarisan tradisi yang ada tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju arah keluhuran hidup kemanusiaannya.

Pada NU, Sejak awal kelahirnya 1926 sebelum Indonesia diproklamasikan telah meletakan “Kaidah Ushul Fiqih” –-memelihara hal-hal lama (baca-tradisi) yang bagus serta mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

Yakni sebagai upaya pelestarian nilai-nilai atau tradisi dengan tuntutan atas perubahan budaya yang menyertainya. 

Tradisi atau budaya, bagi NU merupakan sesuatu yang dinamis, yang mengikuti cara pikir manusia dan peradabannya. Peradaban, nilai atau budaya tidak saja berhenti pada teks, melainkan juga sebagai realitas berikut “relasi sosial” yang dihadirkannya. Sehingga “nilai” tidak berhenti pada ideologis, bahkan dogmatisme, tetapi tumbuh berkembang terkontektualisasi dalam peradaban untuk menjadi lebih baik lagi, menjadi manusia seutuhnya.

Dalam Muktamar Magelang tahun 1939, NU meletakan prinsip-prinsip relasi sosial  atau perihal kemanusiaan NU yang tertuang dalam “Mabadi Khaira Ummah”, dimana proses hidup manusia setidaknya memiliki karakteristik sebagai ash-shidqu (benar), tidak berdusta, al-wafa bil ‘ahd  (menepati janji) dan at-ta’awun (tolong-menolong).

Ash-shidqu, berarti kejujuran  atau  kebenaran, yaitu penuguhan diri untuk menyatukan  “kata” dengan “perbuatan”,  satu ucapan dengan pikiran. Lahir dengan  yang batin menjadi satu kesatuan, tidak memutarbalikkan fakta dan memanipulasi atau berikan informasi yang menyesatkan. Pada posisi inilah kejujuran berpikir dan transaksi menjadi kepastian atas realitas, fakta dengan yang dipikirkan, tentu saja tetap berkeinginan mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.

Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan semua beban yang mesti dilakukan, terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Juga kata tersebut diartikan dapat dipercaya, setia dan selalu menempati janji, baik bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Sifat Amanah ini sekaligus menghindarkan dari sikap buruk seperti manipulasi atau berkhianat, yang kesemua sikap dan sifat dilandasi kepatuhan dan ketaatan pada Allah semata.

At–ta’awun. Sebagai sikap tolong-menolong, dimana substansi manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa pihak lain. Ta’awun berarti bersikap setiakawan, gotongroyong dalam kebaikan dan taqwa. Disamping itu  Ta’awaun mempunyai arti timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh karena itu sikap ta’awun mendorong orang untuk bersikap kreatif agar bisa beradaptasi dalam relasi sosial yang melingkarinya –sebagai kepentingan bersama yg maslahat—dalam tata kehidupan bermasyarakat.

Ketiga prinsip tersebut  diatas yang kemudian dikenal sebagai “Trisila Mabadi” --mabadi khaira ummah ats-Tsalasah). Selalnjutnya pada Munas NU di Lampung 1992  dikembangkan lagi menjadi mabadi khaira ummah al-khamsah  --Pancasila Mabadi, yakni dengan menambahkan prinsip “adhlah” sebagai prinsip keadilan dan istiqamah  sebagai konsistensi, keteguhan diri.

Al’Adalah. Merupakan sikap obyektif, proporsional dan taat asas, yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sebagaimana adanya tanpa  pengaruh egoisme, emosi atau kepentingan pribadi. Distorsi terhadap sikap “adil” akan  menjerumuskan pada kesalahan bertindak. Bahkan dalam prespektif ekonomi sikap adil, proporsional dan obyektif pada relasi & bentuk kesepakatan sosial akan saling menguntungkan.

Sedang  Istiqamah, dalam pengertian teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan ketentuan Allah dan Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan “aturan” main serta rencana yang sudah disepakati bersama. Sisi yang lain adalah kesinambungan dan keterkaitan  antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga semuanya  merupakan  satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Konsisten terkait pelestarian atas nilai-nilai agama  dan terhadap perubahan budaya maupun arus pergerakan budaya yang terjadi.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, pendidikan dimaknai sebagai upaya untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan sebagai nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini pendidikan berfungsi mengembangkan dan meningkatkan kemampuan, kualitas, kepribadian, watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dalam hal inilah tolak ukur keberhasilan adalah menghasilkan warga negara dengan akal budi yang mampu berkarya dan berpekerti luhur.

Jika meminjam Ki Hajar Dewantara,  Pendidikan merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup manusia. Sehingga sistem yang dibangun idealnya “merdekakan” manusia secara lahiriah dan batiniah. 

Namun Ki Hajar membedakan pendidikan dan pengajaran, yakni pada pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin –sebagai otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik. Sedang dalam pengajaran ialah proses pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada “anak didik”. Keduanya, Pendidikan serta pengajaran tetap  tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan. Karena  manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri.

Terkait dengan Pendidikan berkarakter adalah pendidikan nasional yang demokratis  dan  bermutu  guna  memperteguh  akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisplin dan bertanggung jawab, berketerampilan  serta  menguasai  ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia  Indonesia   -–Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025/UU No 17 tahun 2007.  

Begitu pula dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter 2010 bahwa  Pendidikan berkarakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan manusia Indonesia untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. 

Kesemua terarah pada upaya mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Yakni  membentuk dan membangun manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antar umat beragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan  modal sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa yang mensejahterakan.

Kembali kepada mabadi khaira ummah al-khamsah  --Pancasila Mabadi, sebagai prinsip pendidikan berkarakter menbentuk manusia Indonesia berbasis pada ash-shidqu (benar tidak berdusta), al-wafa bil ‘ahd  (menepati janji),  at-ta’awun  (tolong-menolong), “adhlah”  (adil) dan “istiqamah”  (konsistensi, keteguhan diri),  menurut KH Ahmad Siddiq sebagai sarana mengembangkan masyarakat Pancasila, yaitu masyarakat sosialis religius yang dicita-citakan oleh NU dan oleh negara. 

Maka bukan sebagai keanehan, jika konsistensi NU terhadap Indonesia begitu kokoh, seperti Perang Kebudayaan 1927 –setahun sebelum Muktamar  NU September 1928, sebagai bentuk penolakan atau konfrontasi terhadap “budaya” kolonialisme belanda, Wilayah Hindia Belanda sebagai   Darul Islam, sebagai wilayah Islam –keputusan Muktamar NU di Banjarmasin 1936,   pencoretan tujuh kata ketika Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila  --dalam PPKI 1945.

Termasuk seruan “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” 22 Oktober 1945, yaitu “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”. 
 
Juga "Kontroversi" NU berlanjut, dibawah Mbah Wahab, pada era Demokrasi Terpimpin bergabung dengan koalisi NASAKOM (Nasionalis diwakili PNI, Agama diwakili NU, dan komunis diwakili PKI) yang digagas oleh Sukarno. Tentu saja berbasis “Ijtihad” NU waktu itu mengenai keberadaan PKI di pemerintahan Sukarno, yang tetap harus dikawal agar tidak mendominasi kebijakan Sukarno. 

Lalu NU menerima Pancasila sebagai azas tunggal -- dilakukan melalui kajian dan upaya riyadloh lahir batin dengan merujuk para masayikh NU saat menerima Pancasila sebagai Dasar Negara. Hingga pasca reformasi 1998, NU mendirikan Partai Politik sebagai upaya membangun kesadaran politik Nahdliyin dan warga bangsa dalam proses bernegara secara konstitusional, melalui demokrasi Indonesia.

Pada konsepsi Pancasila Mabadi, hingga sekarang NU lagi-lagi teguh berupaya mengintegrasikan karakter keagamaan menjadi karakter keIndonesiaan, disinilah NU selalu  menyatukan hubungan Islam sebagai agama dan negara sebagai perwujudan atas bangsa Indonesia. Sehingga pendidikan karakter adalah membangun pandangan hidup bernegara berbasis pada nilai-nilai agama dalam kontektualisasi  atas perubahan menjadi Indonesia yang lebih baik.

Terlebih ketika mencermati pemikiran Gus Dur tentang Islam dan fungsi agama sebagai “kesejahteraan” bagi semesta (rahmatan lil alamin), dimana kesempurnaan iman seorang muslim berbanding lurus dengan kepeduliannya terhadap martabat manusia, yaitu meletakan hak-hak dasar manusia secara adil dan sederajat tanpa diskriminasi dalam bernegara.

Nahdliyin berkarakter “Mabadi Khaira Ummah” merupakan  manusia Indonesia berkarakter Pancasila, adalah manusia Indonesia seutuhnya sekaligus merupakan ummat terbaik, sebagaimana dalam Al Imron ayat 110; 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Qs.3:110. Semoga.


Penulis adalah Dosen UNUSIA (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) Jakarta