Opini

Pengeras Suara dan Budaya Kita

Jum, 14 September 2018 | 19:00 WIB

Oleh Achmad Murtafi Haris 


Suara bising menjadi masalah dan berakibat serius bagi Meiliana warga Medan yang mengeluhkan kerasnya suara azan masjid depan rumah. Dia dibawa ke meja hijau dan dijatuhi hukuman 18 bulan penjara oleh majelis hakim berdasarkan Pasal 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 1 PNPS (Penetapan Presiden) tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (P3A/Penodaan Agama). 


Sejatinya, kebisingan menjadi masalah karena kebutuhan manusia untuk hidup tenang. Manusia secara umum terganggu dengan adanya suara keras yang masuk ke telinganya. Kebisingan bisa bersumber dari apa saja. Suku pedalaman di Kalimantan pernah mengeluh oleh berisiknya suara mesin penebang pohon yang digunakan oleh para pengusaha kayu. Keluhan itu tidak ditanggapi oleh pemerintah dan praktik itu pun terus berlanjut hingga hutan menjadi gundul.  Suara bising juga muncul dari knalpot motor atau mobil yang bersuara keras. 


Berbeda para pengusaha kayu yang menebang pohon dengan gergaji mesin di mana suara keras yang muncul tidak bisa dihindari meski tidak dikehendaki, para pengendara dengan kanalpot bronk justru santai dengan suara yang menggelegar itu. Mereka sengaja mengganti knalpot asli yang  bersuara lembut dengan yang keras untuk sebuah sensasi. Artinya bahwa untuk yang pertama terjadi karena tujuan ekonomi, sementara yang kedua untuk kepuasan hati yang merugikan orang lain. 


Dalam dunia agama, suara bising mendapatkan legitimasinya. Suara keras yang terdengar luas itu disebut dengan public sound atau suara keras yang sengaja dikumandangkan agar khalayak mengetahuinya. Gereja mendentangkan lonceng untuk petunjuk misa atau sebuah seremoni akan digelar. Ia juga untuk pertanda terjadinya sesuatu yang besar dan menggembirakan. Ketika seorang Paus telah terpilih, maka lonceng-lonceng didentangkan sebagai tanda syukur.


Dalam Islam kumandang azan menjadi petunjuk masuknya waktu shalat wajib. Sejauh ini, sekeras apapun suara azan yang keluar dari load speaker tidak pernah mengundang protes. Hanya orang asing atau orang yang benar-benar tidak paham apa itu azan yang menolaknya. Berbeda dengan untuk kepentingan lain terkadang muncul protes. Seperti saat dikeraskannya suara khataman Al-Qur'an, pernah terjadi di sebuah masjid di Surabaya seorang warga berkeberatan dengan salon suara yang ditempatkan di samping rumah. Setelah protesnya ditolak oleh sang pemasang, diapun lantas menemui kiai yang kebetulan dia kenal. Sang kiai pun akhirnya memerintahkan agar salon itu tidak dipasang di dekat rumah. 


Pernah juga terjadi, seorang warga menolak kegiatan maulid yang melantunkan lagu-lagu shalawat yang dianggapnya berisik. Orang itu pun mendapat respon keras dari para hadirin. Untung saja yang bersangkutan tidak sampai mendapat perlakuan kasar atau dimassa oleh hadirin. Untuk kejadian yang terakhir, ia tidak murni masalah suara tapi lebih pada perbedaan paham yang dianut oleh sang penolak. Dari sini dimungkinkan adanya motif ganda terkait isu suara keras. Untuk azan, umat Islam tanpa terkecuali, menerima dan mendukungnya. Tapi untuk selainnya, diperselisihkan. 


Masjid yang menganut paham tradisional biasanya lebih terbiasa dengan suara keras yang keluar dari speaker luar masjid. Sementara untuk penganut paham modern lebih irit dalam penggunaannya. Kehidupan tradisional yang komunal lebih akseptan terhadap suara keras yang keluar dari masjid. Hal ini lantaran bahwa dalam budaya komunal, individu terbentuk untuk lebih mengutamakan kepentingan kelompok. Sementara dalam kehidupan modern, kepentingan individu mengemuka mengalahkan kepentingan kelompok. Dalam hal ini, suara keras yang muncul pada saat kegiatan masjid berlangsung merupakan bagian dari kepentingan bersama yang harus didukung. Ia menuntut siapapun mengalah jika merasa terganggu olehnya. 


Dibandingkan dengan negara mayoritas Muslim yang lain, masjid di Indonesia tergolong banyak menggunakan speaker luar. Di banyak negara Arab, rerata masjid hanya menggunakannya untuk azan. Ini bisa ditafsirkan bahwa budaya Indonesia lebih akrab dengan public sound. Indonesia memiliki banyak kesenian daerah dan alat musik yang berkumandang pada acara-acara tertentu yang membuat masyarakat terbiasa dengan public sound. 


Dalam rangkaian peringatan 50 tahun Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) di Yogyakarta, ditampilkan aneka kesenian Nusantara baik yang lokal maupun yang bernuansa Islam. Seperti Rapai Geleng dari Aceh yang merupakan tarian pengamal Tarekat Rifa'iyah.  Tarian Ronggeng Gunung Ciamis, Yahoowa  Mentawai Sumatera Barat, Legong Kraton, Panji Sumirang  Bali,  Klenggotan,  Drama tari Srandul, Wayang Kulit, Warokan, Jatilan. Juga Shalawat Montrose, Emprak Kaliopak dan Mondreng yang merupakan shalawat  Jawa yang diperkirakan berkembang pada zaman Kerajaan Islam Demak.


Kesenian tersebut dengan ratusan lainnya menunjukkan akrabnya masyarakat Indonesia dengan bunyi-bunyian atau public sound. Masyarakat menjadi maklum dengan suara keras dan tidak mempermasalahkannya. Hal ini tentu berbeda dengan negara-negara Arab yang minim pertunjukan seni dan terbatas pada hajatan keluarga. Seperti walimatul arusy yang hiburannya diadakan secara tertutup untuk keluarga dan khusus kaum perempuan. 


Meski budaya Indonesia akrab dengan public sound, tentu penggunaan speaker luar masjid harus seminimal mungkin: Maa ubiiha li al-dlarurat tuqaddaru biqadariha, yakni sesuatu yang diperbolehkan karena terpaksa, dilakukan seperlunya. Tidak bisa masjid dengan seenaknya menggunakannya dan mengabaikan kebutuhan akan ketenangan. Posisi pengeras suara adalah khilaf al-asli yang dimungkinkan karena pengecualian. Bukan sebaliknya, ia boleh dan bisa diperluas penggunaannya. Semakin minim penggunaannya kian baik.  Semakin boros semakin tidak baik apalagi sampai membuat orang terpidana karenanya, sungguh celaka. 


Penulis adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.