Opini

Peran Filsuf, Hunafa, dan Sufi dalam Menjaga Ajaran Awal

Rab, 27 Juli 2016 | 12:02 WIB

Peran Filsuf, Hunafa, dan Sufi dalam Menjaga Ajaran Awal

Ilustrasi (www.pinterest.com)

Oleh Suwarsa

Ada semacam keanehan ketika Plato menyebutkan - secara detail - peradaban dari Timur. Dia menulis kisah tentang sebuah peradaban yang telah berkembang di belahan bumi bagian Timur. The East of Eden, sorga di Timur. Ekstase dan pencapaian batiniyah seorang Plato ini tentu bersebrangan dengan logika yang dianut oleh para sophis Yunani Kuno waktu itu.

Buah pikiran Plato dengan tingkat transenden yang sangat tinggi ini menjadi sebab alam pikiran Yunani Kuno terbagi menjadi tiga: 1. Mereka para pemuja kebijaksanaan materi, phisik. 2. Mereka yang memadukan dua hal bertentangan, phisik dan nous. 3. Mereka para pemuja mitologi. Kelompok ketiga ini cenderung dianut oleh para penguasa dan agamawan yang dekat dengan kekuasaan.

Pertentangan terjadi, jauh sebelum Plato menyodorkan konsep negara ideal. Gurunya, Socrates merupakan seorang filsuf  yang benar-benar menentang kekuasaan kelompok tirani. Kelompok ini membonceng keyakinan, mengendalikan masyarakat dengan dalil yang dikemas sedemikian bagus oleh kelompok agamawan berjubah. Sokrates memandang pembodohan masyarakat melalui pranata agama ini bertolak-belakang dengan hukum alam yang hakiki sebagai hukum Tuhan sejati. Penentangannya tersebut menjadi akibat, Sokrates dipaksa meminum racun. Kelompok tirani dan kaum agamawan palsu ini tetap ajeg mempertahankan konsep politheismenya, keyakinan dipaksakan agar masyarakat menganutnya.

Kaum filsuf , para pencari kebijaksanaan diawasi ruang gerak-geriknya oleh penguasa dan kaum agamawan. Mereka tampil sebagai minoritas di dalam kehidupan yang telah dipenuhi oleh racun kekuasaan dan hegemoni agama. Keterbatasan tersebut menjadi sebab mereka menjadi kelompok yang sering melakukan pengembaraan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan menyendiri di goa-goa sebagai bentuk penghindaran dari kesemrawutan dalam hidup. Mereka tetap memegang teguh satu ajaran, hukum semesta sejati yang digerakkan oleh Causa Prima, Kholiq. Akan tetapi, ajaran kaum sophis ini kemudian tetap juga diadopsi oleh para penguasa dan tokoh agama pengejar dunia, dalam bentuk kepura-puraan.

Tiga abad kemudian, seorang pemuda Aramia, Yesus (Isa) melakukan hal yang sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh kaum sophis. Ajaran kebaikan disebarkan tidak melalui lembaga bernama agama. Dia menyelusup dari rumah ke rumah menelurkan kebaikan. Puncaknya, pada saat Khotbah di bukit, Yesus mengabarkan kebaikan tulus dan murni, memisahkan urusan Ketuhanan dengan Kekuasaan. Tokoh agamawan waktu itu menganggap Yesus adalah sebuah ancaman yang bisa meracuni masyarakat dengan ajaran tanpa ritus. Lantas mereka menghasud Yesus sebagai ancaman bagi kekuasaan Herodes.  Ajaran Yesus dikatakan telah menyerang dewa-dewa bangsa Romawi. Kembali, kaum agamawan membonceng kekuasaan untuk melenyapkan Yesus.

Setelah Yesus tiada, ajaran kebaikannya kemudian dimanfaatkan oleh kaum agamawan, nabi palsu (Saul, seorang Yahudi penghasud dan penyiksa ke 12 murid Yesus) dan mendapat sokongan dari penguasa Romawi. Tumbuhlah dengan pesat, ajaran transenden yang dipadukan dengan agama serta ritual Romawi menjelma menjadi agama yang terlembagakan sampai saat ini.

Tanah Haran, sebelum dikenal sebagai Mekah merupakan padang tandus tidak berpenghuni. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke 2 Sebelum Masehi. Sekelompok bangsa Nabatea dari pinggiran Jordan dan Kanaan pindah karena desakan kultural pasca eksodus kaum Yahudi dari Mesir ke Kanaan (daerah kuno yang terdiri dari Lebanon, Palestina, dan sebagian Yordania: pada masa  sekarang) Sebelum kedatangan kaum Yahudi, peradaban bangsa Nabatea telah begitu maju, mereka mahir dalam seni memahat, sastra dan prosa, bentuk tulisan Fenisia ditranslatasikan ke aksara yang sekarang menjadi Aksara Arab. Bangsa Nabatea lah yang memperkenalkan bentuk kubus sebagai dewa kesuburan, Manath, dan Hubal. Seorang Nabatea selalu membawa kubus kecil kemanapun mereka pergi. Di Haran, mereka membangun kubus berukuran besar. Ke sanalah, dari rumah-rumah mereka menghadap saat ritual keagamaan dilakukan.

Kehidupan di Haran semakin berkembang pesat. Kepiawaian bangsa Nabatea melakukan lobi dan kompromi dengan berbagai kabilah yang datang belakangan menghasilkan konsensus, mereka tetap memiliki posisi sebagai penjaga rumah tuhan. Sementara itu, kekuasaan diserahkan kepada kaum Nomaden, selanjutnya disebut Arab Badui. Mereka dinamai bangsa Arab karena kehidupannya tidak pernah lepas dari tapal kuda, bangsa nomaden yang gemar melakukan peperangan. Kabilah lain diberi kesempatan untuk menyimpan berhala yang mereka sembah di dalam bangunan tersebut, kemudian diberi nama rumah tuhan, lebih tepat adalah rumah para tuhan.

Kenapa pembangunan kubus bangsa Nabatea ini disematkan kepada Ibrahim dan Ismail? Secara historis, perjalanan spiritual Ibrohim tidak pernah sampai ke Haran. Jalur perjaanannya dari Babel ke Kanaan. Di Kanaan inilah terjadi interaksi antara bangsa Nabatea dengan Ibrahim. Interaksi intensif ini menjadikan seorang Ibrahim dipandang sebagai penasehat spiritual oleh bangsa Nabatea. Maka sebagai bentuk penghargaan kepada Ibrahim, pembangunan bangunan berbentuk kubus tersebut disematkan kepada Ibrohim, Sang Kekasih Tuhan. Di antara sekian banyak orang Nabatea, beberapa orang tetap mempertahan ajaran Ibrahim, dalam tradisi di Mekah mereka dinamai kelompok hanif atau hunafa. Kelompok ini yang kemudian akan melahirkan seorang messiah baru dari Mekah, Muhammad SAW.


Penulis adalah budayawan Sunda tinggal di Sukabumi