Opini

Perjalanan NU Memperjuangkan Kemerdekaan Palestina

Sen, 28 Maret 2022 | 04:00 WIB

Perjalanan NU Memperjuangkan Kemerdekaan Palestina

Ilustrasi: Baitul Maqdis di Yerusalem.

Selain melakukan berbagai gerilya perjuangan melawan kolonial Belanda maupun Jepang, kiai-kiai pesantren juga menaruh perhatian besar terhadap kemerdekaan rakyat Palestina dari penjajahan kaum Zionis. Perhatian pada kiai pesantren ini nantinya dibalas oleh rakyat Palestina ketika mereka negeri pertama yang mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bertepatan 9 Ramadhan 1364 H.


Tidak tahan terhadap penjajahan kaum zionis terhadap rakyat Palestina, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah pimpinan KH Mahfudz Shiddiq pada 12 November 1938, tepatnya di bulan Ramadhan tanggal 19 mengedarkan seruan kepada seluruh ormas Islam di Indonesia.


Seruan yang diinisiasi NU tersebut mengajak kepada seluruh elemen bangsa untuk mengambil sikap tegas atas apa yang dilakukan oleh Israel. NU menyerukan kepada umat Islam agar bahu-membahu dengan rakyat Palestina dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan tanah air mereka dari cengkeraman kaum penjajah dan komplotan zionisme. (baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013: 426)


Gerakan perlawanan juga dilakukan dengan kegiatan ‘Palestina Fons’ (Dana Palestina) sebagai bantuan untuk meringankan beban perjuangan penderitaan. Bukan hanya dengan penggalangan dana, tetapi cabang-cabang NU di seluruh Indonesia juga melakukan gerakan ‘Pekan Rajabiyah’.


Gerakan tersebut atas instruksi PBNU agar setiap tanggal 27 Rajab sebagai ‘Pekan Rajabiyah’. Sebuah pekan yang menggabungkan perayaan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dengan solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina merdeka.


Kepada seluruh warga NU dan umat Islam pada umumnya, PBNU menganjurkan agar tiap-tiap shalat fardhu membaca Qunut Nazilah. Anjuran yang dibuat PBNU itu membuat KH Mahfudz Shiddiq dipanggil regent (bupati) Surabaya. Ia diberi tahu perintah Hoofdparket (setingkat jaksa agung) yang melarang qunut nazilah dan kegiatan Pekan Rajabiyah.


Pelarangan kegiatan yang diinisiasi PBNU itu mendapat pembelaan dari Haji Agus Salim, Pengurus Besar PSII. Ia menulis pembelaan tersebut dalam surat kabar Tjahaja Timoer. Ulama Nusantara, khususnya kiai-kiai pesantren memang tidak tanggung-tanggung dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. 


Krisis kemanusiaan di Palestina dirasakan betul oleh KH Saifuddin Zuhri, salah seorang tokoh NU yang hidup di zaman penjajahan, pergerakan nasional, Sekjen PBNU hingga pada akhirnya menjabat Menteri Agama di akhir-akhir era kepemimpinan Bung Karno.


Palestina adalah sejarah, Israel adalah ketamakan

Bahkan Kiai Saifuddin Zuhri secara tegas menyatakan bahwa hak bangsa Arab atas Palestina bersendikan atas sejarah, kejadian, kenyataan, keharusan keadilan, dan perikemanusiaan. Sebaliknya, hak bangsa Yahudi atas Palestina bersendikan pada ketamakan dan perampasan semata. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 430).


Pernyataan tersebut terlontar berdasarkan sidang ormas-ormas Islam yang tergabung di dalam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), termasuk NU dan Muhammadiyah yang berlangsung di Yogyakarta pada 18 Desember 1947. Sidang tersebut khusus membahas masalah Palestina.


Dalam sidang tersebut dihasilkan tiga keputusan. Pertama, menganjurkan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk membantu perjuangan Palestina. Kedua, menganjurkan kepada Pemerintah RI agar menetapkan sikapnya untuk membantu perjuangan bangsa Arab di Palestina. Ketiga, mengharap agar Dewan Keamanan PBB meninjau kembali keputusan Pleno PBB tentang pembagian Palestina yang menjadi sebab terganggunya ketenteraman dunia.


Prahara rakyat Palestina menginspirasi Kiai Saifuddin Zuhri untuk menulis buku yang diberi judul Palestina dari Zaman ke Zaman pada bulan Desember 1947. Buku tersebut lahir ketika Indonesia masih dalam suasana revolusi bangsa, di tengah-tengah ibu kota Republik Indonesia yang karena berbagai pertimbangan strategis berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.


Namun, Kiai Saifuddin Zuhri mengungkapkan, sayangnya buku yang penerbitannya disponsori oleh Perpustakaan Islam Yogyakarta tersebut bernasib buruk. Belum sempat edar, masih dalam penyelesaian akhir dalam percetakan, tapi sudah porak-poranda akibat agresi Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948.


Dalam buku tersebut, Kiai Saifuddin Zuhri di antaranya menulis sejumlah argumentasi bahwa sejarah dan keadilan tidak akan membenarkan bahwa seorang tamu (bangsa Yahudi), yang asing, yang tidak memiliki keterikatan apapun, merampas hak dan akhirnya mengusir tuan rumah. Demikian juga sejarah pasti akan membenarkan tiap bangsa yang memperjuangkan nasibnya, apalagi dengan sebesar-besarnya pengorbanan, sebagai yang dilakukan oleh bangsa Arab di Palestina.


Gus Dur berjuang untuk Palestina

Malam itu sekitar tahun 1980-an, gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman dipangku ayahnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang melakukan amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.


Gadis kecil yang saat ini akrab disapa Yenny Wahid itu mengungkapkan, saat itu ayahnya mengenakan kaos bertuliskan “Palestina”. Kala itu, Gus Dur menggelar malam pengumpulan dana dan aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh dan sejumlah seniman, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri.


Simpati kemanusiaan terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur hingga akhir hayatnya. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri.


“Saat tidak banyak orang memiliki perhatian terhadap isu Palestina, Gus Dur terus menyuarakan pembelaan terhadap rakyat Palestina,” tulis Yenny Wahid dalam pengantar buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017) yang ditulis 20 orang tokoh nasional perihal sosok Gus Dur.


Sikap konsisten Gus Dur di saat banyak orang acuh memiliki sejarah panjang. Karena sejak dari kakeknya, KH Hasyim Asy’ari kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama NU, pembelaan terhadap Palestina atas penindasan yang dilakukan oleh kaum Zionis terus dilakukan dengan berbagai macam cara. Yang dimaksud ‘kaum zionis’ tersebut karena tidak semua warga Yahudi di Israel menyetujui langkah-langkah militer yang dilakukan oleh Pemerintah Israel dan kaum zionis.

 

Di era Gus Dur sebagai presiden, kunjungan ke Yordania merupakan prioritas pertama dalam lawatan ke Timur Tengah. Sebab, selain bertemu dengan Raja Abdbullah II, Gus Dur juga menemui Yassir Arafat di Amman. Presiden Gus Dur menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina dan perdamaian di Timur Tengah.


Di kemudian hari, ketika bertemu dengan Presiden Palestina Yasser Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia pada 16 Agustus 2000, Presiden Gus Dur selaku Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan hak untuk mencapai perdamaian di Palestina ada di tangan rakyat Palestina sendiri.

 

Demi mewujudkan perdamaian dan kemerdekaan Palestina, di tengah kondisi kesehatan yang tidak stabil, Gus Dur mengunjungi Jalur Gaza pada 20 Desember 2003. Di kota kecil ini, Gus Dur diminta berpidato. Dia awalnya nya berpidato dalam bahasa Inggris, karena beberapa senator AS dan pemimpin agama dari berbagai negara serta wartawan asing yang meliput. 


Namun, pidato bahasa Inggris ini kemudian diulang oleh Gus Dur dalam bahasa Arab dengan fasih diikuti kesan-kesan Gus Dur terhadap kota Gaza dan harapannya atas rakyat Palestina. Dalam pertemuan yang digelar di hotel sederhana di Gaza itu, Gus Dur menyerukan kemerdekaan bagi berdirinya sebuah Negara Palestina dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.

 

Hingga saat ini, NU dan ulama-ulama pesantren terus-menerus mendorong Pemerintah RI agar mengupayakan kedaulatan bangsa Palestina di tengah ekspansi permukiman yang dilakukan orang-orang Israel. Kedaulatan diperoleh rakyat Palestina di meja Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, hal itu tidak sejurus dengan kondisi di lapangan, di mana rakyat Palestina masih terus berusaha memperoleh kedaulatannya.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online