Opini

Perlukah Jokowi 3 Periode?

Sen, 22 Maret 2021 | 08:00 WIB

Perlukah Jokowi 3 Periode?

Kedewasaan politisi Indonesia dalam berdemokrasi, seperti kata Mahatir, cukup menjadikan mereka paham apa yang terbaik dengan menjalankan aturan yang ada.

Dalam sebuah diskusi komunitas GONSUS’88, muncul tanggapan Safril Sofwan, dosen hukum Universitas Haluoleo Kendari seputar gonjang-ganjing Partai Demokrat belakangan ini. Dia menengarai KLB yang menaikkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat menggusur Agus Harimurti Yudhoyono, menyimpan agenda melapangkan jalan Jokowi ke tampuk kekuasaan ketiga kalinya. Moeldoko yang mantan panglima TNI dianggap menolak amendemen Undang-undang Dasar ’45 yang membatasi pencalonan presiden hanya 2 periode. Yang menjadi pertanyaan, seberapa urgen perpanjangan Jokowi hingga harus menganulir amandemen UUD’45? Bukankah amendemen adalah amanat reformasi 1998 saat menumbangkan Soeharto?!

 

Berbeda dengan era 60-an di mana pemimpin negara hampir semua berkuasa lama kecuali negara maju, era 1990-an ke sini mayoritas pemimpin negara dibatasi 2 periode. Meski demikian, terdapat beberapa negara yang pemimpinnya berkuasa lama dan diperpanjang. Setidaknya ada Rusia, Cina, Turki, dan Mesir yang pemimpinnya berkuasa lebih dari 2 periode.

 

Parlemen Rusia pada Januari 2020 melakukan voting untuk perpanjangan masa jabatan Vladimir Putin yang hasilnya 78% setuju dan 21% menolak. Dengan hasil itu, Putin bisa mencalonkan diri kembali hingga 2 periode ke depan (per 6 tahun) mulai 2024. Putin belum memutuskan menerima tawaran itu. Jika dia terpilih kembali ke depan, dia akan menjadi pemimpin Rusia terlama melebihi Kaisar Peter yang Agung dan Joseph Stalin. Jika terjadi, pada akhir dua periode ke depan, 2036, usia Putin mencapai 83 tahun. Masih jauh lebih muda jika dibandingkan Mahatir Muhammad yang kembali menjadi Perdana Menteri Malaysia pada usia 95 tahun.

 

Selain Putin, pada Maret 2018, Xi Jinping presiden Cina diputuskan oleh parlemen untuk terus memimpin bahkan seumur hidup. Pembatasan 2 periode yang dibuat pada 1990-an diubah oleh Kongres Rakyat Nasional atau parlemen. Hanya 2 anggota yang menolak dan 3 abstain; sementara 2.964 suara mendukung. Dengan demikian Xi yang seharusnya turun pada 2023 akan terus berkuasa. Dalam tradisi komunis Cina, di akhir masa jabatan sang pemimpin mempromosikan calon pengganti pada Kongres Partai Komunis, dan itu tidak terjadi saat ini. Justru nama Xi Jinping berkibar setingkat Mao Zedong pendiri Republik Rakyat Cina. (Lihat bbc.com)

 

Di Turki, pada 2016 partai penguasa, Partai Keadilan dan Pembangunan, mengajukan draft perubahan konstitusi untuk merubah sistem parlementer ke presidensial. Proposal yang juga didukung kelompok nasionalis ini memberi jalan bagi Recep Tayyip Erdogan, yang saat itu perdana menteri, untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Perubahan sistem seperti yang dianut Prancis dan Amerika ditentang oposisi. Namun tuntutan efektifitas kepemimpinan dan kesinambungan pembangunan Turki di bawah Erdogan menjadikan usulan itu diterima dan Erdogan melenggang ke kursi presiden pada 2019 setelah menang pilpres. Besar kemungkinan dia akan maju lagi pada 2024 yang akan berakhir pada 2029. Jika ini terjadi, Erdogan akan menjadi pemimpin Turki terlama menyamai Kemal Ataturk pendiri Republik Turki dan penghapus kesultanan Otoman pada 1924.

 

Di Mesir, pasca kudeta atas Muhammad Mursi pada 2013, pemimpin militer Abdel Fattah al-Sisi memenangkan pilpres dan menjadi presiden Mesir. Menjelang usai masa jabatan pada 2019, pemerintah mengadakan referendum untuk merubah masa jabatan presiden dari 4 tahun menjadi 6 tahun maksimal 2 periode. Dengannya, al-Sisi bisa berkuasa lagi kelak hingga 2030. Referendum yang diikuti oleh 23,4 juta warga atau 44,3% pemilik suara (tidak sampai separuh) memberikan hasil 88,8% pro dan 11,2 kontra rancangan perubahan konstitusi. Pengamat hak asasi internasional mengkritik perubahan tersebut dan menganggapnya jalan menuju otoritarianisme.

 

Dari keempat contoh amendemen di atas, motif perpanjangan baik Rusia, Cina, Turki, maupun Mesir berlatar belakang kesinambungan pembangunan ekonomi dan stabilitas pilitik. Cina di bawah Xi Jinping mampu menjadii kekuatan ekonomi terbesar dunia. Ia bahkan di saat pandemi mampu mencatat pertumbuhan saat negara lain yang tergabung dalam G20 terseok. Antara 2013 – 2019, pertumbuhan Cina tertinggi di dunia mencapai 7% dan melampaui perekonomian Amerika pada 2014. Dia menjadi eksportir terbesar di dunia pada 2010 dan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita $18.200 (2018), warga di bawah garis kemiskinan 3,3% pada 2016 dan tingkat pengangguran 3,64% pada 2019.

 

Sebagaimana Cina yang semula berbasis ekonomi terencana sentralistik, Rusia setelah tumbangnya Uni Sovyet bergeser ke sistem ekonomi pasar. Meski demikian perekonomiannya masih tergolong statis dan bertumpu pada tangan pemerintah bukan swasta. Ia yang banyak mengekspor migas dan mengambil keuntungan dari naiknya harga dunia, antara 1998 – 2008 hingga pertumbuhan mencapai rerata 7%. Pertumbuhan ini membuat reputasi Putin melonjak meski kemudian melorot akibat jatuhnya harga minyak, embargo ekonomi dan keterbatasan struktural hingga pertumbuhan 2,8% pada 2015. Pada 2017 Produk Domestik Bruto per kapita Rusia $27.900, pengangguran 4,6% (2019), dan di bawah garis kemiskinan 13,3%(2015).

 

Sementara Turki, di masa Erdogan dia mampu mengerek pertumbuhan dari 3% sebelum 2014 ke 5,7% (2015), 4,8% (2016), 7,54% (2017). Turki meraih pertumbuhan tertinggi dipicu oleh kenaikan ekspor dan sektor pariwisata. Setelah itu pertumbuhan menurun hingga pada 2019 hanya 0,98%. PDB per kapita Turki saat ini $27.000. Warga di bawah garis kemiskinan 21,9%(2015). (Lihat indexmundi.com)

 

Jika Turki mengalami pertumbuhan yang tidak stabil, Mesir mengalami pertumbuhan stagnan pada kisaran 4% antara 2015 – 2017 dengan PDB perkapita $12.700 pada 2017 dan jumlah warga di bawah garis kemiskinan 27,8% pada 2016. Dibandingkan dengan Cina dan Rusia sesama penganut ideologi kiri, Mesir terlebih dahulu bergeser ke ekonomi pasar pada masa Anwar Sadat. Namun hingga masa Husni Mubarok yang berkuasa 3 dekade (1981-2011) kemiskinan terus menghimpit dan kelangkaan kerja terus menganga hingga rakyat memaksanya turun. Hingga kini perekonomian belum menemukan performa terbaiknya meski stabilitas politik relatif membaik.

 

Dari keempat paparan capaian perekonomian negara yang memutuskan memperpanjang pemimpin petahana, prestasi capaian ekonomi pertumbuhan di atas 7% dicapai oleh masing-masing Putin di Rusia pada 1998-2008, Xi Jinping di Cina pada 2013-2019, dan Erdogan di Turki pada 2017. Sementara Mesir yang bertahan di kisaran 4% membuka peluang presiden al-Sisi hingga 2030 karena faktor stabilitas politik dan ideologis.

 

Relevankah Jokowi Diperpanjang?

Prestasi Jokowi sangat nampak dalam pembangunan infra struktur. Dibandingkan dengan Turki yang pernah mencapai pertumbuhan 7% dan sekarang merosot bahkan 0,98% (2019), pertumbuhan Indonesia stagnan di kisaran 5%(2017-2019) dan 2,07% (2020 masa pandemi. Lihat bps.go.id). Yang berada di bawah garis kemiskinan Turki 21,9 (2015), Indonesia 10,9 (2016). Rasio hutang dibanding PDB (2015): Turki 32,9%, Indonesia 27%. Dalam hal inflasi baik Jokowi maupun Erdogan di awal kekuasaan mereka pada kisaran 8%. Namun kemudian Indonesia berhasil mengendalikan inflasi, sebaliknya Turki naik hingga 10% di Januari 2016 dan menurun hingga 7,6% pada Juli tahun yang sama. Yang artinya barang di Turki rerata lebih mahal dari di Indonesia.

 

Pertumbuhan Indonesia disinyalir IMF akan naik hingga 6,5% di 2022. Selain IMF yang meyakinkan performa ekonomi Indonesia yang positif di masa kepemimpinan Jokowi, Mahatir Muhammad mantan perdana menteri Malaysia juga mengakui keunggulan Indonesia dibandingkan Malaysia di era Jokowi.

 

Dengan capaian tersebut dan pengakuan dari luar, tepatkah ide perpanjangan Jokowi untuk periode ketiga? Tampaknya bukan hanya capaian ekonomi dan Pembangunan infra struktur yang kasat mata yang mungkin mendorong hal itu. Tapi tradisi politik yang lebih mendorongnya. Baik Cina maupun Rusia, keduanya adalah negara komunis yang bertradisi pemimpin seumur hidup. Sementara Indonesia pasca reformasi mengembangkan tradisi ala negara maju seperti Amerika dan Eropa barat suatu hal yang sulit bagi Indonesia untuk tidak konsisten pembatasan 2 periode. Sementara kasus Mesir adalah karena atmosfer revolusi pasca penggulingan Husni Mubarok (2011) dan Muhammad Mursi (2013) dan rawannya stabilitas politik yang mendorongnya untuk itu. Sementara Indonesia dengan iklim demokrasi yang ada yang tidak serawan Mesir, tidak membutuhkan extra ordinary procedure (seperti pemberlakuan konstitusi lama sebelum amendemen) dalam hal suksesi nasional. Kedewasaan politisi Indonesia dalam berdemokrasi, seperti kata Mahatir, cukup menjadikan mereka paham apa yang terbaik dengan menjalankan aturan yang ada. Banyak pemimpin cerdas dan bersih yang antre memimpin Indonesia. Beri kesempatan mereka untuk itu!

 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya