Opini

Persinggungan Islam, Renaisance, dan Sekularisasi Dunia Barat

Rab, 23 Januari 2019 | 08:45 WIB

Persinggungan Islam, Renaisance, dan Sekularisasi Dunia Barat

Ilustrasi: Islam abad pertengahan (via ok.ru)

Oleh Muhammad Syamsudin

Berbicara mengenai pengaruh Islam terhadap gerakan renaissance dan sekularisasi dunia Barat, akan sangat menarik bila membaca sebuah karya tulis dari Ghazanfar yang berjudul Scholastic Economics and Arab Scholars: The Great Gap Thesis Reconsidered, dan dimuat di dalam karya Ghazanfar, S.M. yang berjudul Medieval Islamic Economic Thought: Filling The Great Gap in Europeann Economics. Karya ini diterbitkan oleh New York Routledge Curzon dengan tahun terbit 2003.

Di dalam karya tersebut disampaikan bahwa pada abad pertengahan (middle age), dunia Barat merupakan dunia yang mengalami masa suram dari ilmu pengetahuan yang ditandai oleh minimnya kreativitas dari para penduduknya. Gereja memegang peran penting dalam perjalanan kekuasaan, sehingga raja/pemimpin pemerintahan seolah tidak memiliki wewenang dan hak prerogatif untuk mengatur jalannya roda pemerintahan.

Semua hal yang berkaitan dengan kehidupan didominasi oleh doktrin teologi gereja. Tidak boleh ada satu kreativitas pun yang boleh bertentangan dengan kepentingan gereja, bahkan sampai urusan ilmu pengetahuan. Dihukum matinya Copernicus yang menyampaikan teori tata surya merupakan bagian kelam dari perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat. Termasuk dihukumnya Galileo Galilei yang menemukan teropong bintang dan mengajukan statemen bahwa bumi ini adalah bulat. Statemen Galileo Galilei ini dianggap menentang doktrin gereja yang saat itu memiliki doktrin bahwa bumi ini adalah datar sehingga tidak banyak masyarakat Barat yang berani melakukan pelayaran.

Singkatnya, pemikiran ilmu pengetahuan saat itu harus diarahkan kepada mendukung doktrin gereja agar tercapai misi keselamatan pada hari akhir (eskatologik). Filsafat yang memiliki kecondongan pada mendukung doktrin gereja ini dinamakan dengan istilah filsafat skolastik. 

Gerakan renaissance merupakan gerakan yang awalnya ditujukan untuk melakukan reformasi terhadap ilmu pengetahuan yang sebelumnya didominasi oleh doktrin gereja. Menurut Prancis Michael De Certeau, upaya keluar dari alam hegemoni gereja diawali dengan bubarnya jaringan sosial lama dan kemunculan elite-elite baru yang memiliki keahlian khusus yang dalam perkembangannya memunculkan raja-raja kecil baru berwawasan elite. 

Renaissance juga muncul akibat dipengaruhi oleh kemunculan kota-kota dagang baru yang makmur akibat adanya perdagangan dan gesekan dengan pendatang dan pemikir baru, termasuk di antaranya adalah pedagang Muslim. Dengan bekal dukungan dari para saudagar baru yang terbentuk akibat relasi dagang ini, maka lahirlah gerakan renaissance

Jadi, pada dasarnya, gerakan renaissance adalah gerakan yang ingin lepas dari hegemoni gereja (sekularisasi) yang saat itu didominasi oleh filsafat skolastik. Hegemoni umumnya adalah dipengaruhi oleh doktrin bahwa penentang ide gereja dianggap sebagai yang tidak selamat dalam kehidupan akhirnya (kafir). Hegemoni juga dipengaruhi oleh iming-iming surga yang ditawarkan oleh sang pendeta/paus kepada pengikutnya, padahal sebagian dari doktrin yang dipaksakan saat itu adalah buah dari karya intelektual gereja sendiri. 

Gerakan sekularisasi berfokus pada upaya memisahkan pemikiran ruhani gereja dengan upaya menggali pengetahuan (sains). Singkatnya, doktrin gereja adalah dicukupkan pada aspek ruhani, sementara sains biarlah lepas mewujudkan kreativitasnya. Pengikut paham sekularisasi ini disebut dengan istilah sekularisme. Inilah yang melatarbelakangi mengapa di Barat hingga saat ini lestari upaya sekularisasi tersebut.

Ketika dunia Barat bersinggungan dengan dunia Islam, mereka masih membawa misi sekularisasi tersebut. Hal itu sebagaimana tampak dari pemikiran St Thomas Aquinas (abad XIII M) dengan Summa Theologica-nya yang pada dasarnya merupakan upaya menyatukan pemikiran gereja ini dengan sains yang berkembang, meskipun ide pemikirannya banyak mengadopsi Ihyâ Ulûm al-Dîn-nya al-Ghazâli. 

Sebenarnya karya Summa Theologica St Thomas Aquinas ini adalah diperuntukkan bagi para calon pendeta pemula. Menurut Durant, Summa Theologica sejatinya hadir karena kekhaawatiran ditinggalkannya teologi Kristen akibat persinggungan dengan pemikiran-pemikiran dunia Arab abad pertengahan. Penyebab utamanya, karena ada jurang yang sangat jauh antara pemikiran intelektual dunia Arab dengan dunia Barat. Schumpeter (Abad XVIII akhir) mengabadikan jauhnya alam pemikiran ini dalam sebuah tesisnya yang berjudul The Great Gap (Jarak yang Teramat Lebar). Hanya saja, Schumpeter di sini tidak menyatakan pengakuannya bahwa hal itu dipengaruhi oleh persinggungan dengan dunia Muslim. Ia lebih condong kepada anggapan bahwa St Thomas Aquinas telah melahirkan sebuah pemikiran yang genuine  (asli) berbekal filsafat Yunani-Romawi sehingga kemudian lahir karya Summa Theologica. Padahal, banyak ilmuwan yang meneliti bahwa karya Aquinas ini adalah adopsi dari pemikiran al-Ghazâli. 

Pertanyaannya, bagaimana mungkin Aquinas mengalihkannya untuk mendukung teologi Nasrani? Jawabnya, karena St Thomas Aquinas ini adalah seorang penganut filsafat skolastik. Sebagaimana di awal sudah dijelaskan bahwa filosof dari filsafat skolastik memiliki tugas menerjemahkan sains dan membawanya ke alam pemikiran gereja. Misi utama dari teolog skolastik ini adalah memurnikan ajaran Kristen dari pengaruh Arab dan memisahkan filsafat kalam Aristotelian dari pengaruh lain.

Hal yang sama, sebenarnya tidak hanya dialami oleh karya al-Ghazâli. Ibnu Rusyd juga mengalami hal yang sama pada karyanya. Bedanya, Ibn Rusyd (Averroes) terlebih dahulu mendapat caci makian dari Aristotelian Skolastik. Penyebabnya, Ibn Rusyd telah mengkritik karya Aristoteles yang berjudul Metaphysics dan De Anima. Padahal, kedua karya ini banyak mendapat tempat di kalangan teolog Kristen. 

Filsafat Ibn Rusyd (Averroes) yang berbicara tentang sifat qadimnya dunia, Intelektual Aktif, dan kemungkinan mencapai kesempurnaan dalam kehidupan dunia ini dianggap sebagai telah mengembangkan tradisi tandingan bagi pengikut Kristen Skolastik. Buahnya kemudian adalah Ibn Rusyd mendapat cacian yang pedas dan caci maki kasar dari Tempier dan Bonaventure. Seorang Aristotelian kenamaan waktu itu yang bernama Duns Scotus pernah menghujat Ibn Rusyd sebagai binatang irasional yang mengungguli binatang-binatang lainnya. Cacian ini mungkin disebabkan karena tradisi intelektual dunia Barat saat itu belum menemui titik kematangan. 

Membaca karya al-Ghazâli seperti menemukan mutiara di tengah hutan belantara bagi kaum skolastik, disebabkan karena al-Ghazali telah menyajikan sebuah bangunan keilmuan yang berdiri di atas sains, filsafat dan rasio yang dikendalikan oleh agama dan kalam. Itulah sebabnya, pemikiran al-Ghazâli lebih banyak diterima dan diadopsi oleh para sarjana skolastik seperti St Thomas Aquinas (abad XIII M) dan Adam Smith (abad XVI M). Inilah awal bagi percaturan dan persinggungan dunia Barat dengan Islam lewat pintu karya al-Ghazâlî dan sekaligus awal bagi renaissance di kalangan skolastik gereja. Wallâhu a’lam bish shawab


Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.