Opini

Persoalan Bekas Tambang Kapur di Gresik

NU Online  ·  Kamis, 15 Juni 2017 | 03:55 WIB

Persoalan Bekas Tambang Kapur di Gresik

Ilustrasi (qerja.com)

Oleh Achmad Faiz MN Abdalla

Kubangan bekas galian tambang di Kabupaten Gresik kembali memakan korban. Pertengahan Mei (18/05) lalu, enam santri Pondok Pesantren (PP) Mambaus Sholihin meninggal karena tenggelam di kubangan bekas tambang. Bekas tambang tersebut terletak di Desa Suci, Kecamatan Manyar, dan merupakan bekas lahan tambang PT Semen Gresik. Sebelumnya, kubangan bekas galian tambang di wilayah Kecamatan Panceng juga merenggut dua korban jiwa.

Luas bekas tambang PT Semen Indonesia di wilayah Kabupaten Gresik sekitar 265 hektar, meliputi wilayah Kecamatan Gresik, Kebomas dan Manyar. Selain itu, masih ada ratusan hektar tambang yang dikelola swasta (Gresiknews, 19 Mei 2017). Di sepanjang wilayah Gresik utara yang terdapat gugusan bukit kapur, meliputi Kecamatan Sidayu, Ujungpangkah, dan Panceng, juga banyak ditemukan bekas tambang kapur. Kerusakannya terbilang cukup parah.

Kiranya, kasus meninggalnya santri Mambaus Sholihin tersebut, mempertegas, ada persoalan lingkungan yang harus disadari oleh pemerintah dan masyarakat. Dampak buruk aktivitas penambangan di Gresik terlalu dibiarkan. Tidak ada upaya reklamasi atau kegiatan pascatambang untuk mengembalikan fungsi lahan, sedang praktik penambangan tersebut telah berlangsung puluhan tahun. Prinsip pembangunan berkelanjutan tidak diperhatikan. Pengawasan dari masyarakat pun tidak terbangun dengan baik.

Memicu Persoalan Kebencanaan

Akibatnya, April kemarin, beberapa kecamatan di Kabupaten Gresik masuk dalam peta rawan longsor yang dirilis oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur (Jawa Pos, 13 April 2017). Sejak peristiwa longsor di Pacitan awal April lalu, Pemerintah Jawa Timur meningkatkan kewaspadaannya terhadap bencana longsor. Dua kecamatan di bagian utara Gresik, yakni Ujungpangkah dan Panceng, masuk dalam daftar rawan longsor tersebut.

Tidak jelas, di titik mana potensi longsor yang dimaksud. Karena dalam beberapa sumber yang penulis baca, hanya disebutkan nama kecamatannya. Namun bila merujuk ke kejadian longsor kecil yang sempat terjadi pada bulan April lalu, maka kemungkinan besar titik yang dimaksud adalah bukit kapur di Desa Sekapuk, Ujungpangkah. Bila benar bukit kapur yang dimaksud, maka hal itu dapat berlaku untuk membaca potensi longsor di Kecamatan Panceng.

Ujungpangkah dan Panceng merupakan dua kecamatan bertetangga. Keduanya termasuk dalam rangkaian perbukitan kapur di sepanjang pantai utara Gresik. Di dua kecamatan tersebut, sejak berpuluh tahun lalu telah berlangsung aktivitas penambangan batu kapur. Dulu masih bersifat konvensional. Namun seiring waktu, telah berdiri banyak pabrik besar. Aktivitas penambangan pun dilakukan dalam skala besar. Masalahnya, tidak pernah ada kegiatan reklamasi dan pascatambang sehingga menyisakan kerusakan yang sangat parah.

Di Desa Banyutengah misal, beberapa kali telah terjadi longsor kecil akibat aktivitas penambangan. Beberapa bahkan telah mengakibatkan meninggalnya warga penambang karena tertimbun reruntuhan batu kapur. Bukit-bukit yang dijadikan basis penambangan sudah sangat rusak dan sewaktu-waktu dapat terjadi longsor. Terlebih ketika musim hujan, dengan curah hujan tinggi, dinding bukit kapur dan tiang penyangga sisa bukit yang dijadikan basis penambangan, amat rentan mengalami patahan.

Ulah manusia (antropogenik) yang merugikan tersebut pada akhirnya telah memicu bencana. Sebagai catatan, sejak awal Juni hingga 5 mei 2017, sebanyak 1.087 bencana hidrometeorologi terjadi di seluruh wilayah Indonesia (Kompas, 5 Mei 2017). Menurut Hatma Suryatmojo (fkt.ugm.ac.id, 23 Maret 2017), penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masif akibat penurunan daya dukung lingkungan, selain dipicu faktor cuaca. Daya dukung lingkungan yang semakin lemah tersebut mengakibatkan intensitas bencana alam meningkat.

Reklamasi dan Pascatambang

Reklamasi dan Pascatambang adalah konsep yang dianut dalam UU 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Reklamasi merupakan kegiatan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk memulihkan kualitas lingkungan serta ekosistem agar dapat berfungsi kembali  sesuai peruntukannya. Sedang pascatambang adalah kegiatan sistematis dan berlanjut setelah akhir dari kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan  fungsi sosial-nya.

Hal itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Dalam PP tersebut, pemerintah mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi untuk melakukan reklamasi. Reklamasi  tersebut dilakukan terhadap lahan yang terganggu pada kegiatan eksplorasi. Sementara bagi pemegang IUP Operasi Produksi, selain reklamasi, juga diwajibkan untuk melakukan pascatambang pada lahan  terganggu  pada  kegiatan pertambangan.   

Ada tiga bentuk sanksi yang diatur dalam PP 78/2010 tersebut, yaitu peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan izin. Sanksi maksimalnya adalah pencabutan izin. Namun penting untuk dicatat, pemberian sanksi tersebut tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP untuk melakukan reklamasi dan pascatambang. Bahkan dalam beberapa kasus, pembiaran bekas lahan tambang yang mengakibatkan meninggalnya orang, diproses sebagai perkara pidana.

Dalam praktiknya, masalah yang sering ditemukan di lapangan adalah banyaknya IUP Operasi Produksi yang diterbitkan Bupati dan Walikota tidak sesuai ketentuan. Banyak perusahaan pemilik IUP Operasi Produksi yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki dokumen Rencana Reklamasi (RR) dan Rencana Pasca Tambang (RPT) sebagai pedoman untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dan pascatambang.

Padahal dalam Permen ESDM No. 07 Tahun 2014, Pasal 43 ayat (1), disebutkan, pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi tahap operasi produksi sesuai dengan dokumen rencana reklamasi (RR) yang telah disetujui oleh Bupati/Walikota. Sedang PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 25 ayat (1) huruf b, mengatur, pemohon IUP Operasi Produksi wajib melampirkan dokumen RR dan RPT.

Kasus IUP Operasi Produksi tanpa RR dan RPT tersebut masih sering ditemukan dalam praktik perizinan pertambangan secara umum di negara ini. Maka untuk menyelidiki kasus mandegnya kegiatan reklamasi dan pasca tambang, kiranya harus dimulai dari hulunya pada saat proses pengajuan peningkatan IUP Operasi Produksi pada Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota. Singkatnya, peran pemerintah dalam hal ini juga perlu disorot.

Selain itu, yang juga perlu diperhatikan adalah peran pengawasan pemerintah. UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur, setiap pejabat berwenang yang lalai melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha terhadap peraturan perundang-undangan, dapat dipidana, manakala kelalaian tersebut mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan dan hilangnya nyawa manusia. Artinya, pemerintah bertanggungjawab untuk mengawasi kewajiban perusahaan terhadap lingkungan.

Peran Masyarakat

Masyarakat dalam hal ini juga penting peranannya. Maka, kesadaran lingkungan serta pengawasan sosial oleh masyarakat perlu dibangun. Masyarakat perlu dibekali wawasan lingkungan hidup, karena mereka-lah yang akan terkena dampaknya. Terlebih, sebelum masuknya korporasi, praktik penambangan batu kapur umumnya lebih dulu dilakukan oleh masyarakat secara tradisional. Karena itu, pentingnya perlindungan kawasan karst juga harus dimulai dari masyarakat itu sendiri.

Di Gresik sendiri, ketersediaan sumberdaya kapur maupun gamping terbilang melimpah. Hal itu menjadi daya tarik bagi investor maupun masyarakat untuk memanfaatkannya melalui kegiatan pertambangan, salah satunya PT Semen Gresik. Maka tidak heran, pada kawasan-kawasan karst umumnya akan dijumpai banyak kegiatan penambangan, baik dalam skala besar maupun kecil. Kegiatan penambangan tersebut bahkan menjadi tumpuan perekonomian masyarakat di sekitarnya.

Namun harus diingat, penambangan kapur yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kerusakan itu berawal dari penebangan vegetasi penutup. Bukit-bukit karst tersebut lalu menjadi gundul sehingga wilayah tersebut tidak mampu menangkap air hujan. Akibatnya, wilayah tersebut akan semakin kering. Kandungan oksigen di udara pun akan semakin berkurang sehingga suhu di wilayah tersebut semakin tinggi. Sedikitnya vegetasi pada kawasan karst juga menyebabkan tanah semakin labil.

Menu¬rut UU 32/2009, ekosistem karst sejatinya merupakan eksosistem penting yang harus dilindungi.  Namun dalam praktiknya, konservasi kawasan karst menghadapi banyak kendala. Persoalan pengelolaan karst muncul, terutama sebagai konsekuensi desentralisasi kewenangan perizinan pertambangan batu gamping. Peraturan-peraturan pengelolaan karst pemerintah pusat dalam implementasi menjadi sering berlawanan dengan kebijakan politis kepala daerah yang memegang kewenangan pengelolaan.

Di kawasan karst sendiri kerap terjadi benturan kepentingan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat harus melindungi kawasan karst, namun di sisi lain, perekonomian masyarakat secara turun temurun bertumpu pada kegiatan penambangan batu kapur tersebut. Persoalan semakin rumit ketika korporasi datang. Masyarakat yang lebih dulu melakukan penambangan dimanfaatkan. Dengan begitu, aksi penindakan akan berbenturan dengan masyarakat itu sendiri, sehingga aktivitas pertambangan sulit dikendalikan.

Maka pada masyarakat, perlu dibangun wawasan lingkungan hidup. Lahan yang telah ditambang, harus diimbangi dengan upaya reklamasi dan pascatambang. Disinilah pengawasan masyarakat menjadi penting. Namun itu saja cukup. Pemerintah tidak bisa terus berlindung di balik alasan perekonomian masyarakat. Peraturan dan kebijakan untuk konservasi kawasan ekosistem karst perlu diperkuat, mengingat kawasan tersebut selama ini menjadi salah satu sumber kehidupan karena fung¬si ekologi dan hidrologinya. Masyarakat perlu menyadari itu.


Penulis adalah Kader IPNU Banyutengah, Gresik. Aktif di Sekolah Kader Desa (SKD) SoeKa Institute Gresik