Opini

Persoalan Besar Petani di Indonesia

NU Online  ·  Senin, 24 September 2018 | 23:00 WIB

Persoalan Besar Petani di Indonesia

Ilustrasi petani (via Tempo)

Oleh Fathoni Ahmad

Momen 24 September merupakan tanggal dimana Hari Tani Nasional diperingati. Perihal momen tersebut, pengalaman merasakan pengabdian luar biasa dari para petani penulis dapatkan ketika membuka raport saat masih sekolah. Di halaman identitas siswa, penulis mendapati keterangan pekerjaan orang tua, yaitu “Tani”. Identitas ini penulis rasakan betul sebagai cambuk dan modal berharga dalam belajar, yakni “kerja keras”. Sebab, sebatas yang penulis pahami, kerja keras itu nampak ketika melihat aktivitas ibu dan bapak di sawah.

Namun, kerja keras tersebut tidak sebanding yang mereka dapatkan ketika masa panen tiba. Kebanyakan rugi, bahkan tidak cukup untuk membayar utang pupuk ketika hasil panen terjual. Petani merugi, seakan waktu dan tenaga terbuang sia-sia. Tetapi, pengabdian mereka menghidupi negeri tidak pernah purna meskipun kerugian kerap mendera. 

Di daerah kelahiran penulis, Brebes mayoritas berprofesi sebagai petani. Paling banyak menanam bawang merah sehingga Brebes dikenal sebagai daerah penghasil bawang merah terbesar di Indonesia. Sebagian besar mereka tidak berdaya ketika mendapat kenyataan hasil panennya merugi. Persoalan ini agaknya ditangkap oleh Pemerintah ketika Presiden Joko Widodo menyambangi petani di Brebes dua tahun lalu.

Di antara yang dikeluhkan para petani di depan Presiden Jokowi ialah persoalan hama. Mereka dengan serta merta memperlihatkan daun bawang merah yang terkena hama ulat. Poin permasalahan yang ingin disampaikan para petani adalah, dengan pupuk yang harganya mahal, ternyata hama ulat dan lain-lain tetap tidak mau luput dari tanaman bawang.

Dengan dikelilingi oleh ibu-ibu petani yang masih setia dengan topi capingnya, Jokowi berusaha dengan seksama mendengarkan keluhan dan persoalan yang sedang menimpa para petani. Seketika itulah Jokowi mengimbau dan memerintahkan kepada para pejabat terkait untuk segera turun ke lapangan agar solusi bagi para petani cepat terselesaikan.

Dari keluh kesah petani yang hanya menyampaikan persoalan hama ulat, di sinilah penulis merasa miris dan prihatin. Karena persoalan besar pertanian di Brebes, bahkan di daerah-daerah lain, ada pada permainan harga yang dilalukan oleh para pedagang perantara (baca: tengkulak). Persoalan yang disampaikan para petani terkait hama ke Presiden Jokowi sebetulnya merupakan respon apa adanya ketika musim tanam masih berlangsung.

Di titik ini para petani dengan wajah-wajah ikhlas tersebut tidak menyadari bahwa mereka sendiri tidak berdaya dengan permainan harga yang dilakukan oleh para tengkulak. Karena yang terjadi selama ini, hasil panen para petani hanya bisa untuk menutupi utang pupuk yang jumlahnya puluhan juta.

Bahkan kerap kali petani masih menanggung utang pupuk. Jika melihat hal ini, secara kalkulasi, praktis tidak ada yang dihasilkan oleh para petani yang peras keringat banting tulang, dan waktu yang dihabiskan dari pagi hingga sore hari di tengah sawah. Memang, terkadang jika harga bawang sedang tinggi, para petani mendapat berkah cucuran keringat dan banting tulangnya itu. Tetapi momen tersebut bisa dihitung dengan jari tiap musim panen tiba.

Perlu ditegaskan, sebagian besar petani di pedesaan hutang pupuk dengan harga yang terus meningkat, mereka seolah bertaruh dengan usahanya memeras keringat setiap hari. Karena mereka tidak berdaya dengan permainan harga panen hasil taninya sehingga kerap mengalami kerugian besar karena hasil panennya dihargai murah. Bahkan ada yang menggunakan hasil taninya untuk bibit saja dalam rangka menghadapi musim tani berikutnya. Hal ini terjadi di sebagian besar petani bawang merah di daerah Brebes dan kemungkinan besar terjadi juga daerah-daerah lain di Indonesia.

Penulis merasakan keprihatinan mendalam sebagai seorang anak petani yang lahir di desa. Bagaimana tidak, pemerintah yang seharusnya menjadi pengendali dan penjaga harga hasil panen petani seolah mendiamkan para tengkulak untuk bermain harga. Artinya, ada kekosongan dan keterputusan peran pemerintah di antara petani sehingga diambil alih oleh tengkulak untuk memainkan harga yang berdampak pada kerugian petani secara terus menerus.

Dari persoalan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari Jepang. Sebagai salah satu negara maju secara teknologi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, Pemerintah Jepang sangat perhatian dengan yang namanya profesi petani. Produk-produk petani lokal diproteksi (dilindungi dari permainan harga tengkulak). Harga terkendali sehingga petani di sana sejahtera. Pemerintah sekuat tenaga memberdayakan hasil tani lokal dengan tidak mengimpor hasil tani dari luar yang hanya akan membuat produk lokal tergencet dengan harga murah barang impor itu.

Bahkan tak jarang dengan suntikan modal secara moral dari pemerintah, petani di Jepang terus melakukan inovasi, sehingga produk pertanian mempunyai kualitas tinggi. Bahkan tak jarang petani di sana bergelar Doktor (PhD). Lalu dengan ilmunya itu, dia mengembangkan pola dan produk pertanian yang berguna bagi masyarakat luas. 

Bukan seperti di Doktor pertanian di Indonesia yang senangnya duduk empuk di kursi kantor yang tidak ada korelasi dengan bidang akademisnya sehingga muncul plesetan Doktor, orang yang ‘mondok di kantor’ bukan berlumuran tanah mengadvokasi petani di desa untuk mengembangkan kualitas hasil tani. Ironis lagi, banyak sarjana pertanian yang kontraproduktif dengan bekerja sebagai pegawai di Bank. Ini fakta yang terjadi pada para sarjana pertanian kita.

Dari persoalan krusial di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa hal inilah yang seharusnya menjadi obrolan antara petani dan Presiden Jokowi di bawah pohon rindang di pinggir sawah. Jika melihat sungguh polosnya para petani itu, semestinya ada ahli, baik dari pihak pengambil kebijakan (Bupati ataupun pejabat terkait) maupun para ahli yang mendampingi (mengadvokasi) para petani untuk menyampaikan berbagai permasalahan yang terjadi selama ini terkait dengan harga jual yang murah saat panen tiba dan persoalan-persoalan lain.

Karena hanya pemerintahlah yang bisa mengendalikan sekaligus memproteksi para petani dari lilitan tangan-tangan gurita para tengkulak. Persoalan inti yang dihadapi para petani pasca panen tidak muncul, karena yang mereka tahu hanya menggarap sawah, memberi pupuk, memanen, selanjutnya menjual.

Dari momen obrolan langsung Presiden Jokowi dengan para petani tanpa advokasi ahli dan para pengambil kebijakan itu, sesungguhnya memperlihatkan bahwa para petani polos dengan wajah penuh dengan keikhlasan itu ke depan masih harus berjuang sendirian untuk menghadapi permainan harga para tengkulak.

Mirisnya, hal ini tidak mereka sadari, para pengambil kebijakan seolah tidak mau mengerti atau pura-pura tidak mengerti. Lalu sampai kapan? Karena efek dominonya saat ini ialah tidak ada generasi muda yang bercita-cita ingin menjadi petani. Sehingga kemudian menjadi ironi di negara yang konon agraris, tetapi eksistensi petani makin terkikis.


Penulis adalah anak petani asal Kabupaten Brebes, Jawa Tengah