Opini

Persoalan Dosen PAI pada Perguruan Tinggi Umum

Sab, 18 Maret 2017 | 08:00 WIB

Oleh Suwendi

PAI (Pendidikan agama Islam) pada PTU (Perguruan Tinggi Umum) memiliki peran yang sangat strategis, baik pada pemenuhan kompetesi mahasiswa yang beragama Islam untuk menjalankan fungsinya sebagai seorang Muslim, maupun dalam konteks kaderisasi pembangunan bangsa. Sebagai seorang Muslim, mahasiswa perlu diberikan layanan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan PAI yang memadai guna menjalankan segala kewajiban dan peranan dirinya sebagai Muslim. Demikian juga, wawasan dan komitmen kebangsaan bagi mahasiswa juga perlu diberikan secara cukup sehingga pada gilirannya lulusan PTU mampu berkiprah dalam membangun bangsa dan memiliki integritas nasionalisme yang tinggi.

Dengan demikian, kompetensi keagamaan Islam dan semangat nasionalisme menjadi barometer atas keberhasilan layanan PAI pada PTU dan proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen PAI pada PTU. Untuk itu, institusi PTU dan utamanya dosen PAI pada PTU dituntut untuk dapat memberikan fasilitasi dan proses pembelajaran PAI secara maksimal sehingga para lulusannya yang beragama Islam memiliki dua kompetensi sekaligus itu, yakni keislaman dan kebangsaan.

PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan mengamanatkan bahwa Kementerian Agama menjadi leading sector atas pelayanan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan itu, tak terkecuali pendidikan agama Islam pada PTU. Oleh karenanya, kita patut memberikan apresiasi kepada Kementerian Agama yang telah melahirkan PMA (Peraturan Menteri Agama) Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja (Ortaker) Kementerian Agama dan membuat salah satu unit kerja baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, yakni lahirnya Sub Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Subdit PAI pada PTU) pada Direktorat Pendidikan Agama Islam (Dit. PAI).

Selain Subdit PAI pada PTU, dalam ortaker tersebut tetap mempertahankan Subdit PAI untuk mulai jenjang usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, yakni Subdit PAI pada PAUD, Subdit PAI pada SD, Subdit PAI pada SMP, dan Subdit PAI pada SMA. Hanya saja, Subdit PAI pada SMK yang sebelumnya tersendiri kini melebur dengan Subdit PAI pada SMA. Kelahiran subdit-subdit ini mencerminkan bahwa pelayanan Pendidikan Agama Islam (PAI) mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah hingga jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Tentu saja, capaian yang diharapkan atas sejumlah subdit itu adalah secara struktural dapat memfasilitasi atas ketercapaian pembelajaran PAI yang berorientasi pada dua kompetensi di atas, yakni keislaman dan kebangsaan.

Sungguhpun demikian, Kemenristek Dikti telah melakukan upaya dan kebijakan yang cukup baik dalam melakukan pelayanan PAI pada PTU, meski perlu diakui tidak sebesar sebagaimana kebijakan atas pelayanan mata kuliah umum. Sejauh ini, penyelenggaraan PAI pada PTU didasarkan atas Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Dalam keputusan itu, mata kuliah PAI ada PTU menjadi salah satu dari komponen MPK (Matakuliah Pengembangan Kepribadian) dengan bobot 2 SKS. Dapat dimaklumi, porsi 2 SKS untuk mata kuliah PAI ini bisa jadi linier dengan bobot mata pelajaran PAI pada sekolah yang mendapatkan alokasi 2 atau 3 jam pelajaran saja. 

Sebagaimana dimaklumi, bobot 2 SKS untuk mata kuliah PAI ini menjadi tantangan serius bagi dosen PAI pada PTU. Dosen PAI pada PTU dituntut untuk mampu melakukan serangkaian pendekatan dan proses pembelajaran agar dengan bobot 2 SKS itu dapat menghadirkan kompetensi mahasiswa yang mampu menjalankan kewajiban dan peran dirinya sebagai Muslim, di samping berintegritas kebangsaan yang baik.

Berdasarkan data PPDIKTI (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi) Kemenristek-Dikti tahun 2017, jumlah perguruan tinggi umum secara total berjumlah 4.490 lembaga, yang terdiri atas Akademi sejumlah 1.101 lembaga, Politeknik sebanyak 250 lembaga, Sekolah tinggi berjumlah 2.433 lembaga, Institut sebanyak 148 lembaga, dan Universitas sejumlah 558 lembaga. Pada PTU itu, ada sebagian kecil yang memiliki Fakultas Agama Islam, yang pengelolaan dosennya diakomodasi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama. Sementara dosen PAI pada PTU masih mengalami bias yang luar biasa. Untuk jumlah dosen PAI pada PTU, data yang diterima dari ADPISI (Asosiasi Dosen Pendidikan Islam Seluruh Indonesia) menunjukkan bahwa dosen PAI pada PTU yang sudah terdata baru sekitar 446 dosen dari seluruh perguruan tinggi. Tentu jumlah ini menunjukkan masih banyaknya dosen PAI pada PTU yang belum terdata, sebab 446 dosen itu tidak memungkinkan untuk dapat mengajar pada 4.490 PTU.

Dalam sejumlah amatan, pengangkatan dosen PAI pada PTU setidaknya terdapat 4 (empat) pola, yakni [1] PNS yang diangkat oleh Kementerian Agama sebagai dosen Dpk (diperbantukan); [2] PNS yang diangkat oleh Kemenristek-Dikti; [3] Diangkat oleh Pemerintah Daerah; dan [4] Diangkat sebagai dosen kontrak oleh PTU yang bersangkutan. Empat pihak yang mengangkat ini kemudian berimplikasi pada problemnya pembinaan karir dan profesi. Secara mayoritas dosen-dosen PAI pada PTU ini menghadapi problem karir dan profesi yang cukup serius.

Bagi dosen yang diangkat oleh Kemeterian Agama, ke mana mereka memproses karir dan profesinya itu? Sebab, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam atau Kopertais (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) di beberapa PTKIN tidak memfasilitasi pembinaan karir dan profesinya itu. Demikian juga, dosen yang diangkat oleh Kemenristek-Dikti,tidak serta merta dapat diproses melalui Direktorat Jenderal Pembinaan SDM atau Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta) dengan maksimal. Belum lagi dosen PAI yang diangkat oleh Pemerintah Daerah atau PTU yang bersangkutan, di lapangan menghadapi problematikanya yang lebih dahsyat. 

Persoalan home base bagi dosen PAI pada PTU mengalami kendala yang tidak sederhana. Pasalnya, home base dosen itu didasarkan pada Program Studi. Pada fakultas-fakultas umum di PTU tentu tidak memiliki program studi pendidikan agama Islam. Demikian juga, tidak semua PTU itu memiliki Fakultas Agama Islam. Akibanya tidak adanya home base ini berimplikasi pada tidak adanya layanan pengembangan akademik bagi dosen PAI. Akhirnya, tidak sedikit dosen PAI pada PTU yang menempel dan bahkan diambil dari dosen-dosen yang berasal dari program studi umum, semisal MIPA atau lainnya. Tentu praktik-praktik demikian sangat tidak menguntungkan bagi masa depan PAI pada PTU.

Terkait dengan penambahan jam untuk memenuhi tuntutan BKD (Beban Kerja Dosen) dan sertifkasi dosen, tampaknya belum dilakukan penataan yang ideal. Beban 2 SKS untuk mata kuliah PAI pada PTU berimplikasi pada keharusan dosen PAI pada PTU untuk “ngamen” dan inisiasi kegiatan lainnya sehingga dapat memenuhi tuntutan itu. Dalam banyak kasus, dosen-dosen PAI pada PTU berkiprah pada sejumlah kegiatan baik di masjid kampus atau LDK (Lembaga Dakwah Kampus) atau lainnya. 

Atas sejumlah problematika di atas, sejumlah penelitian menunjukkan keprihatinan yang luar biasa. Hasil penelitian Balitbang Kementerian Agama RI berjudul “Penelitian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum” tahun 2015 menunjukkan sebagai berikut. 

Pertama,pembelajaran PAI di PTU masih menjemukan. Meski pembelajaran PAI disampaikan dengan cara yang cukup variatif, tetapi yang kerap digunakan adalah metode ceramah atau kuliah mimbar, tanya jawab, dan diskusi. Hanya sedikit dosen PAI yang menggunakan metode brainstorming,small group discussion, role play, dan concept maps. Hal itu disebabkan karena rasio perbandingan dosen dengan mahasiswa di PTU sangat tidak ideal. Jumlah mahasiswa yang terlalu banyak membuat perkuliahan diformat semacam kuliah umum dan hasilnya pembelajaran berpusat pada dosen (lecturer centered) yang cenderung menjemukan.

Kedua, peran dan fungsi PAI di Perguruan Tinggi Umum lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan dibandingkan dengan peran dosen PAI. Dikesankan fungsi dan tanggung jawab dosen PAI di PTU “telah diambil alih oleh organisasi kemahasiswaan maupun oleh organisasi kemasyarakatan yang ada di lingkungan kampus”, melalui berbagai tawaran kegiatan keagamaan yang dikoordinasikan oleh mahasiswa maupun ormas. Namun diakui, kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan yang diikutinya lebih banyak mengembangkan ide-ide pemikiran radikal dan transnasional.

Temuan Balitbang tahun 2015 itu kemudian mendapatkan justifikasi oleh hasil temuan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dilakukan oleh Anas Saidi dan Endang Turmudzi yang berkesimpulan bahwa radikalisme tumbuh subur di kampus Perguruan Tinggi Umum.Sebanyak 86 persen mahasiswa dari lima perguruan tinggi di Pulau Jawa menolak ideologi Pancasila dan menginginkan penegakan syariat Islam. Bahkan, menurut survei The Pew Research Center pada 2015 disebutkan 4 persen orang Indonesia mendukung IS.

Masih menurut hasil penelitian LIPI, pola radikalisme melalui organisasi eksternal kampus telah dimulai pasca-reformasi. Organisasi-organisasi mainstream di antaranya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sudah terpinggirkan. Hampir seluruh kader kelompok dengan ideologi Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) atau salafi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan KAMMI, menjadi pimpinan badan eksekutif mahasiswa di PTU ternama di Indonesia.Kelompok seperti Ikhwanul Muslimin memiliki pandangan keyakinan dan sikap fundamentalisme puritan kaku. Mereka selalu merasa paling benar dan menganggap kelompok lain salah.Tujuan mereka membangun negara Islam, bahkan untuk mewujudkannya dibolehkan menggunakan cara-cara kekerasan.

Problematika dan implikasi destruktif yang demikian dahsyat, menurut hemat penulis, tidak dapat ditunda-tunda. Kementerian Agama, Kemenristek-Dikti dan sejumlah Kementerian/Lembaga lainnya segera untuk turut serta dalam menangani problematika pada dosen PAI pada PTU dan problematika lainnya di PTU, tentu dengan batas kewenangannya. Demikian juga sejumlah organisasi ekstra kampus yang berbasis keindonesiaan dan Islam moderat, seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpinan Mahasiswa Indonesia), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) segera untuk merapatkan barisan guna penanaman pendidikan agama Islam yang berkarakter keindonesiaan. 

Penulis adalah Parktisi Pendidikan Islam; Doktor Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta