Opini HARLAH KE-92 NU

Pesantren, NU, Indonesia

Sel, 30 Januari 2018 | 02:30 WIB

Oleh Binhad Nurrohmat

Sebatang sawo tua menjulang di relung ingatan Fulan. Pohon itu remang di pelataran sebuah pesantren tua di Bendo, Pare, Kediri. Rinai hujan barusan pergi. Aroma tanah menguasai sekujur indera penciuman. Maghrib telah datang. Suasana serupa bauran ketenangan, kesejukan dan wibawa tak terkatakan. Bluk! Sebutir buah sawo rebah di basah tanah.

Ada kulah lebar segiempat di sudut kompleks pesantren -- tempat menampung air wudlu. Sebagian sisinya berlumut tipis dan gelap. Kubus-kubus beton tebal berjajar ke arah masjid seperti batu-batu yang dipijak bergiliran saat menyeberangi sungai. Fulan bertelanjang kaki menapaki kubus-kubus beton itu seusai berwudlu. Satu demi satu.

Seusai wirid shalat Maghrib berjamaah, puluhan santri putra segera duduk membentuk tiga perempat lingkaran di serambi atau bagian depan masjid pesantren. Tanpa suara. Semuanya bersarung dan berkupluk hitam. Di dada mereka terdekap kitab berbahasa Arab. Di tengah lingkaran, ada meja kayu kecil dan alas serupa matras untuk sang kiai yang masih berwirid di mihrab masjid.

Sang kiai berjalan ke arah tengah lingkaran itu. Langkahnya hening. Performanya tampak sepuh dan wibawa. Busananya serba putih. Tak ada santri berani menatapnya. Wajah santri tertunduk semua. Kiai bersila dan segera membacakan isi kitab dengan memberikan artinya kata demi kata. Suaranya teduh dan pelan. Para santri menyimak dan memberi tanda di bawah sejumlah kata dengan ujung pena. Di luar masjid kian remang dan udara menunggu bersama kesenyapan.

Sebagian santri ada yang bersekolah di terang hari. Yang lainnya khusus belajar kitab kuning dan pada terang hari bekerja serabutan atau membantu sang kiai. Mereka berasal dari luar Jawa Timur dan kota-kota beradius seratusan kilometer dari kota Kediri.

Tak semua pesantren saat ini terlukiskan serupa itu.

Pesantren merupakan komunitas tempat menimba pengetahuan agama dan membentuk kepribadian yang saleh. Semua penggagas, pendiri dan pemuka Nahdlatul Ulama (NU) hingga hari ini pernah tertempa kehidupan pesantren. Sebagian bahkan mengasuh pesantren hingga akhir hayat.

Boleh dipastikan NU tak pernah ada tanpa pesantren. Basis keutamaan NU adalah kalangan pesantren. Pengetahuan dan pribadi kalangan ini memberi warna utama organisasi ini. Puncak-puncak pesantren berkontribusi kepada NU melalui pengetahuan dan kepemimpinan.

Berubahnya pesantren akan tercermin pula kepada rona organisasi NU. Dinamika kehidupan banyak yang tak bisa dielak oleh pesantren dan NU di tataran lokal, nasional maupun global. NU lahir menanggapi dinamika keberagamaan di semua tataran. Situasi gerak transnasional ajaran agama yang kaku yang merebak ke seluruh penjuru dunia sejak paruh pertama abad XX turut membenihkan kelahiran NU untuk menghadangnya. Juga menyikapi liberalisasi dalam keagamaan. Yang kaku dan yang liberal adalah dua kubu yang sama-sama bergesekan dengan tradisi-tradisi masyarakat yang memeluk Islam sebagai agama. NU berposisi tidak di kedua kubu itu.

Itulah barangkali yang melantari NU menerima negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini bukan sebagai negara agama. Teokrasi. Juga bukan negara yang total sekuler. Ketuhanan adalah dasar negara yang pertama di negara ini. "Believe in God", kata Soekarno ketika pidato di podium PBB.

NU telah berendah hati kepada bangsa ini. Tak memaksakan kehendak dan tak membiarkan ada yang mendesakkan kehendak kepada dirinya. NU keluar dari Masyumi yang Islamis dan tak mengapresiasi Muslim tradisionalis. Juga Pancasila secara resmi NU terima sebagai azas tunggal yang tak bertentangan dengan NU. NU bukanlah azas, melainkan tujuan-tujuan.

Peta lama belum berubah. Kekakuan dan keliberalan menghimpit eksistensi NU. Antara Arab dan Barat dulu dan kini NU memosisikan eksistensi. Bukan soal sikap moderat atau bukan moderat. NU lebih ingin bersikap yang tepat dalam kompleksitas nasional dan global. Dulu dan sekarang. Ini sungguh tak gampang. NU bukan semata keagamaan. NU juga komitmen kepada kebangsaan, keindonesiaan.

Sebatang sawo bertahan di pelataran pesantren di Bendo, Pare, Kediri. Batangnya berlumut dan daunnya rimbun meneduhkan. Pohon itu dijaga bukan sebagai sesembahan. Entah sudah berapa butir buahnya ternikmati dari generasi ke generasi.

Di Kediri pada paruh kedua abad kemarin, kala itu belum sebesar sekarang pohon sawo itu, ada suatu kekuatan ideologi kiri dari Eropa TImur hendak memaksakan kehendaknya. Namun gagal. Ideologi-ideologi yang lain kini bergerilya ke banyak penjuru. Dari Asia Barat dan Amerika Utara. Ada yang teokratis dan liberal. Ada pula yang bukan keduanya.

Fulan bernaung di bawah rindang sawo itu pada suatu malam. Ada daun jatuh di sisinya. Pada raut lembaran daun itu terbaca waktu yang layu. Daun-daun lain bertahan di dahan. Bertahan di dahan bersama pohon besar menjulang di bawah langit berbintang.

Penulis adalah pegiat sastra, tinggal di Jombang, Jawa Timur