Opini

Pilihan Agama dan Lingkungan Sosial

Sab, 3 Juni 2017 | 10:00 WIB

Oleh Muhammad Ishom

Seorang siswi SMA di Banyuwangi bernama Afi Nihaya Faradisa (18 tahun) pada tanggal 15 Mei lalu membuat heboh para penikmat dunia maya lewat tulisannya berjudul “Warisan”. Dalam tulisan itu antara lain Afi mengemukakan sebagai berikut: 

“Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak. Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir.”

Apa yang ditulis Afi tersebut mengingatkan saya pada apa yang pernah saya tulis dan sampaikan kira-kira 5 tahun sebelumnya dalam sebuah khutbah Jum'at di Masjid Istiqomah Purwonegaran Sriwedari Surakarta pada tanggal 2 Nopember 2012, yakni ketika saya bercerita tentang pengalaman saya bertemu dengan seorang turis asing. Cerita itu selengkapnya sebagai berikut:

Pada tahun 1991, atau tepatnya sekitar 26 tahun yang lalu, secara kebetulan saya bertemu dengan seorang turis asal Selandia Baru bernama Richard di kota Jogyakarta. Dalam pertemuan itu, secara tak terduga, Richard bertanya pada saya tentang apa agama saya. Dia mengatakan:

What is your religion?” 
(Apa agamamu?)

Tentu saja saya kaget karena tidak lazim orang Barat menanyakan kepada orang lain sesuatu yang sangat pribadi sifatnya, seperti agama. Dengan bangga dan tegas saya menjawab:

I am a Muslim.” (Saya beragama Islam)

Kemudian saya balik bertanya kepada turis asing itu tentang apa agamanya. Richard tidak memberikan jawaban langsung sebagaimana saya menjawab pertanyaannya. Tetapi malahan dia mengatakan:

If I had been born in Saudi Arabia, I would’ve been a Muslim.” (Seandainya saya lahir di Saudi Arabia, saya tentu beragama Islam)

If I had been born in India, I would’ve been a Hindu.” (Seandainya saya lahir di India, saya tentu beragama Hindu)

Becasue I was born in New Zealand, I’m a Catholic.” (Karena saya lahir di Selandia Baru, maka saya Katholik)

Mendengar jawaban Richard di atas, saya merasa heran dan kaget. Saya tidak pernah mendengar jawaban seperti itu ketika seseorang ditanya tentang apa agamanya. Tetapi rasa heran dan kaget saya itu tidak berlangsung lama setelah saya teringat hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abi Hurairah R.A.:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi orang Yahudi, orang Nasrani ataupun orang Majusi”

Jawaban Richard sebagaimana disampaikan kepada saya tersebut ternyata menjadi sangat penting karena membantu saya memahami secara lebih baik hadits Rasulullah SAW di atas. Hadits tersebut ternyata tidak saja bermakna teologis tetapi juga sosiologis. Secara teologis kita percaya bahwa setiap anak yang lahir ke bumi adalah suci, dalam arti beriman tauhid kepada Allah SWT, sebagaimana fitrahnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an, Surat Al A’raf, ayat 172;

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا

Artinya: “Bukankah Aku ini Tuhan kamu? Mereka menjawab: “Ya, kami menjadi saksi.” 

Ayat di atas secara teologis menunjukkan bahwa manusia sebelum dilahirkan ke bumi sesungguhya telah beriman kepada Allah dengan mengakui ketuhanan dan keesaan Allah SWT. Ini berlaku untuk seluruh manusia termasuk Richard yang dari Selandia Baru itu. Akan tetapi secara sosiologis proses sosialisasi atau interaksi antar manusia setelah kelahirannya ke bumi berpengaruh apakah seseorang akan tetap beriman sesuai dengan fitrahnya, atau malah akan berubah. 

Dalam konteks Richard yang dilahirkan dan dibesarkan di Selandia Baru di mana lingkungan sosialnya, khususnya lingkungan keluarga yang didominasi kedua orang tua, menentukan apakah Richard tetap sebagaimana fitrahnya atau berubah menurut lingkungan sosialnya. Yang terjadi adalah Richard telah berubah dari fitrahnya karena mengikuti lingkungan sosialnya yang mayoritas penduduknya beragama Katholik. Hal ini seperti diakui sendiri oleh Richard bahwa dia beragama Katholik karena dia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan orang-orang Katholik. 

Peran kedua orang tua memang sangat dominan dalam menentukan apakah seorang anak akan tetap dalam fitrahnya, ataukah akan berubah. Saya semakin paham dan meyakini akan kebenaran hadits Rasulullah SAW di atas ketika suatu hari saya datang ke kantor Kelurahan untuk memasukkan nama anak saya yang baru berumur 7 (tujuh) hari ke dalam Kartu Keluarga atau biasa disingkat KK. Di dalam salah satu kolom pada KK itu terdapat kolom tentang agama. Pada kolom itu saya tuliskan “Islam” sebagai agama yang dipeluk anak saya meski ia baru berumur tujuh hari. 

Sementara itu, tetangga saya yang beragama Kristen juga datang ke kantor Kelurahan dengan maksud sama dengan saya, yakni memasukkan anaknya yang belum lama lahir menjadi anggota keluarga baru dan tertulis dalam KK. Meski anak itu baru berumur 10 (sepuluh) hari, tetapi dalam KK itu ia telah tercatat beragama Kristen. Tentu saja orang tuanyalah yang telah menjadikan anak itu Kristen sebagaimana anak saya tercatat beragama Islam karena saya telah berusaha menjaga fitrahnya agar tetap beragama Islam. 

Jika kita renungkan apa yang telah saya uraikan di atas, yakni tentang pengalaman Richard yang beragama Katholik; juga pengalaman saya dan anak saya yang beragama Islam serta pengalaman tetangga saya dan anaknya yang beragama Kristen, maka kita akan mengetahui bahwa secara sosiologis ada hubungan kuat antara pilihan agama seseorang dengan agama yang dipeluk oleh lingkungan sosialnya, khususnya kedua orang tuanya. 

Untuk itulah, kita patut bersyukur bahwa kita semua lahir dalam keluarga Muslim sehingga kita beragama Islam. Kita juga patut bersyukur bahwa kita lahir di Indonesia yang mayoritas beragama Islam sehingga kita dengan mudah dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Namun demikian, tidak setiap orang yang beragama Islam lahir dari keluarga Muslim. Banyak juga orang-orang beragama Islam karena mendapat hidayah langsung dari Allah SWT. Orang-orang Islam seperti ini tentu saja patut bersyukur yang sedalam-dalamnya karena berarti Allah telah menyelamatkannya dari acaman siksa api neraka. 

Memang, ada dua jalur bagaimana seseorang setelah kelahirannya ke dunia ini menjadi Muslim. Pertama, lewat jalur sosiologis, yakni jalur keturunan atau keluarga sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW di atas dimana orang tua menjaga agar anak tetap dalam fitrahnya beriman kepada Allah SWT. Kedua, lewat jalur teologis, hidayah langsung dari Allah SWT. Maka di dalam Al-Qur’an ditegaskan dalam surah Al-Baqarah, ayat 213. 

 اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء 

Artinya: “Allah- yang memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa jika Allah menghendaki seseorang itu beriman kepada-Nya, maka Allah akan memberinya petunjuk hingga ia beriman kepada-Nya. Bisa saja sebelumnya orang itu kafir, tetapi dengan petunjuk Allah SWT, cepat atau lambat orang itu akan terbuka hatinya hingga dengan mudah dapat menerima hidayah-Nya. 

Sebagai penutup, saya ingin mengajak marilah kita semua menjaga dan mempertahankan iman dan Islam yang telah ada dalam diri kita masing-masing hingga ajal menjemput kita. Allah telah mengingatkan atau mewanti-wanti kepada kita semua sebagaimana disebutkan didalam Al- Qur’an, surah Ali Imron, ayat 102, 

وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Artinya: “Janganlah engkau mati kecuali dalam keadaan Muslim.” 


*Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta