Oleh: Achmad Faiz MN Abdalla
Pertama-tama, istilah politik di sini bukan dalam pengertian sempit. Politik tak berarti terbatas kegiatan dukung-mendukung dan segala hal terkait kekuasaan. Lebih dari itu, politik dalam arti luas adalah upaya bersama untuk mencapai tujuan bernegara. Maka seperti dikatakan Gus Dur –sebagaimana dikutip Prof Mahfud MD, politik bisa berarti seni mempengaruhi kebijakan.
Pangkal pengertian politik adalah istilah polis (kota) dalam tradisi Athena, yakni tempat segala sesuatu diputuskan dengan jalan nalar-permusyawaratan. Karena keterlibatan warga kota yang berbudaya itu, Aristoteles memberi pengertian politik sebagai seni mulia mengelola republik demi kebajikan kolektif (Yudi Latif, Kompas, 25/1).
Tidak ada negara tanpa warga. Negara hanyalah pembakuan dari adanya warga itu sendiri. Maka dalam demokrasi, dasar mengada dari politik adalah budaya kewargaan. Akan tetapi sejak negara ini memasuki era reformasi, demokrasi secara kualitatif masih terbatas pada demokrasi prosedural. Demokrasi belum menunjukkan arti subtansialnya.
Yang terjadi, negara seperti tanpa warga. Kualitas demokrasi kita baru menginjak menghitung warga dari sisi potensi kuantitatifnya dalam sebuah perhelatan elektoral. Warga tidak menjadi pelibat pertunjukan dalam demokrasi dan roda pemerintahan. Alih-alih menjadi perspektif dari setiap kebijakan publik, warga justru menjadi unsur yang perlu dikunjungi saat kontestasi politik elektoral.
Dari sinilah istilah politik lalu tergelincir dalam konotasi negatif. Aspirasi dan kepentingan masyarakat diambilalih dan dikooptasi oleh sekelompok kecil yang disebut elit. Politik elitisme tersebut mengakibatkan terpinggirnya warga dari politik. Demokrasi dan politik yang terwajahkan nyatanya justru berjarak dengan warga itu sendiri.
Pada negara hukum Indonesia, peran pemerintah tidak terbatas dalam konsep negara hukum klasik, yakni terbatas sebagai penjaga ketertiban ataupun pelestari kekuasaan. Melampaui itu, kewajiban pemerintah adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, peran masyarakat menjadi keniscayaan.
Maka menjadi sebuah ironi saat negara justru memproduk peraturan perundangan-undangan yang justru berpotensi merusak keharmonisan hubungan dirinya dengan warga, seperti yang tampak dalam pembaharuan UU MD3. Sudjito Atmoredjo (Kompas, 2/3) menyebutnya sebagai anomali hukum negara saat warga dikorbankan demi mengayunkan jabatan dan kekuasaan yang semakin besar.
Oleh karena itu, politik wargawi dalam tulisan ini adalah khittah dari politik itu sendiri, yakni politik yang bersendikan budaya kewargaan. Dalam pengertian Daoed Joesoef (2017), warga negara berbeda dengan penduduk. Ia memiliki keterikatan-keterlibatan dibanding penduduk yang bersifat lepas. Karenanya, ia harus dilibatkan dalam setiap usaha yang disusun untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konteks IPNU
Lantas apa yang bisa diperbuat oleh IPNU di usianya ke 64 ini? Salah satu yang mendesak adalah mengisi dan memperkuat peran politik wargawi tersebut. Sebagai organisasi kader, selain beban untuk memikul paham aswaja annahdliyyah, IPNU juga senantiasa diikat komitmen wathoniyah. Persoalan kebangsaan-kenegaraan tidak boleh sedetik pun terpunggungi oleh IPNU.
Namun, komitmen wathoniyah tersebut masih terlalu abstrak sehingga harus diadministrasikan menjadi gagasan serta gerakan yang konkret. Terutama seiring era administrasi publik baru, peran warga semakin penting perimbangannya agar pemerintah tidak menjadi satu-satunya aktor pembangunan. Hal itu meniscayakan politik wargawi untuk dibangun.
Tidak adanya perimbangan warga, akan semakin meneguhkan politik elitis. Kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan akan semakin berjarak dari kepentingan warga. Keadaan tersebut harus mulai dikikis, dengan mulai mempersiapkan organisasi kader seperti IPNU menjadi organisasi yang mampu mengadministrasikan komitmen wathoniyah secara konkret.
Lantas, apa yang bisa dilakukan IPNU untuk mengisi politik wargawi tersebut? Menurut saya, melihat potensi massa IPNU serta kondisi pembangunan terkini, maka desa merupakan konteks yang perlu untuk menempatkan IPNU dalam upaya membangun politik wargawi. Ada beberapa alasan mengapa konteks desa menjadi mendesak.
Pertama, UU Desa telah melewati tahun ketiga. Beberapa persoalan telah terurai sebagai catatan reflektif tiga tahun pelaksanaan UU tersebut. Setidaknya ada tiga pokok persoalan yang perlu digarisbawahi, yaitu pelaksanaan UU Desa masih sarat distorsi; desa masih dipandang dengan cara lama; dan UU Desa saja tidak cukup untuk membela desa (Sri Palupi, Kompas, 14/2).
Persoalan-persoalan tersebut tidak saja menjadi muara maraknya korupsi dana desa, namun juga masih tidak berdayanya desa sendiri untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang selama ini dideranya. Program pemberdayaan serta penguatan karakter kebudayaan dan kehidupan kolektif masyarakat terbilang masih miskin.
Yang paling parah, bagaimana desa sangat berpotensi menjadi ruang untuk dieksploitasi dan dikonversi menjadi ruang ekstraktif oleh negara atau korporasi. Terutama desa-desa yang berada di lingkar industri, warganya akan mudah kehilangan lahan dan berubah dari petani menjadi buruh. Desa menjadi arena perebutan sumber daya alam dan konflik agraria.
Semua persoalan itu bila ditarik muasalnya adalah karena lemahnya peran warga. Tidak adanya peran kuat warga pada akhirnya adalah pembiaran terjadinya peran terbatas dalam pembangun oleh pemerintah, yang selanjutnya memiliki kesempatan terbuka untuk mengawinkan kepentingannya dengan korporasi. Hal itu yang akan semakin meminggirkan kepentingan warga.
Kedua, desa yang menjadi basis warga NU sebelum ini telah lama terpunggungi dalam pembangunan. Perhatian pemerintah sangat terbatas, sehingga sektor pedesaan seperti pertanian, semakin terpinggirkan. Akibatnya, kemiskinan dan keterbelakangan menjadi persoalan yang mengakar di desa. Keadaan itu bagaimanapun akan mempengarui daya tahan NU.
Seiring mulai tertempatkannya desa sebagai prioritas pembangunan, baik secara politik-yuridis maupun secara anggaran, tidak boleh disia-siakan NU untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang selama ini mendera warganya. NU harus menjadi penggerak terbangunnya peran warga sebagai pilar berhasilnya UU Desa.
Ketiga, IPNU memiliki struktur serta kultur organisasi yang menjangkau sampai ke tingkat ranting atau desa. Hampir di setiap struktur NU ranting selalu ditemukan struktur IPNU sehingga di antara organisasi pelajar yang ada di NU, IPNU memiliki basis massa yang tidak saja terbesar, tapi juga mengakar sampai ke ranting-ranting.
Pun usia IPNU juga terbilang sangat matang sebagai sebuah organisasi. Banyak tokoh-tokoh penggerak masyarakat yang dilahirkan, baik di nasional maupun terutama di desa. Seusia itu, IPNU telah memiliki kultur organisasi yang mapan dan matang. Maka yang perlu dipikirkan sekarang, bagaimana keuntungan-keuntungan tersebut dapat ditransformasikan untuk membangun desa, khususnya memperkuat politik wargawi di dalamnya.
Upaya membangun politik wargawi tersebut harus disertai penguatan literasi pembangunan. Dalam konteks desa, itu dilakukan dengan memberi ruang pemahaman bagi kader IPNU tentang semisal urgensi peraturan desa, dana desa, dan BUMDes; atau perencanaan pembangunan desa, meliputi RPJMDes, RKPDes dan penggalian serta pengembangan potensi desa.
Berbekal literasi tersebut, IPNU diharapkan dapat berperan aktif dalam Musyawarah Desa, khususnya dalam perumusan RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa. Di samping itu, juga dapat berperan aktif dalam pemberdayaan ekonomi desa melalui BUMDesa dan pemberdayaan masyarakat lainnya serta yang tak kalah penting: mempertahankan dimensi sosial-ekologis desa.
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum UII, aktif di KMNU UII, IPNU Banyutengah Gresik, Sekolah Kader Desa SoeKa Institute Gresik dan menulis di majalah Bangkit PWNU DIY.