Opini

Problem Pendidikan Nasional

Sel, 12 September 2017 | 08:00 WIB

Oleh Aswab Mahasin

Manusia mendapati dirinya dalam keadaan bimbang, di satu sisi ia adalah subjek dari dunia, di sisi lain ia adalah objek dari dunia. Kedua sisi itu dialami secara sadar oleh manusia. Namun, kesadaran manusia belum menjamin bahwa ia paham akan realitas dunia, manusia tertutup oleh fakta hidupnya sendiri. Namun yang perlu diingat, sebuah fakta bukanlah kebenaran mutlak, fakta hanya kebenaran realitas (bisa berubah-ubah), dan sebuah fakta akan menjadi kebenaran ketika di dalamnya mengandung sisi “kemanfaatan”.

Pendidikan merupakan jalan manusia menjadi manfaat dan sadar. Perspektif ini, tidak berbicara makna pendidikan dalam arti sempit, persepsi yang saya bangun adalah “Semua untuk Sekolah”, tidak hanya “Sekolah untuk Semua”. Maksudnya, dunia ini adalah sekolah bagi seluruh manusia. 

Manusia terlahir ke dunia tujuan utamanya adalah sekolah/menuntut ilmu/berpengetahuan, Rasulullah berpesan, “(sekolahlah kalian semua)/menuntut ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat.” Dan Pesan selanjutnya, “Siapa saja yang ingin bahagia di dunia dan akhirat harus dengan ilmu (harus bersekolah)”. Kenapa pesan tersebut menjadi penting buat kita? Karena kualitas hidup manusia terus meningkat.

Kalau pun nantinya manusia harus menempuh jalur pendidikan formal, itu sebagai nilai tawar semata (menjadi wajib bagi manusia sekarang). Karena pasar menghendaki demikian; ijazah, nilai yang tinggi, dan ketekunan. 

Akan tetapi,jika ada yang mengatakan seseorang memiliki ijazah belum tentu mempunyaiskill, bagi saya keliru. Terlalu vulgar mengatakan itu.Skill spektrumnya luas, dalam hal ini harus ada kesepakatan mengenai definisi skill, karena ada hard skill, soft skill, science skill, life skill, dan skill-skill yang lainnya. Kita jangan menafikan manusia sebagai makhluk yang berpotensi.

Inilah salah satu persoalan klasik pendidikan yang kita hadapi, di satu sisi kita dituntut untuk pintar secara akademik, di sisi lain kita dituntut untuk memiliki “seabreg” kemampuan (skill). Persepsi kedua sisi ini mengakar dalam otak manusia Indonesia. Penilaian seorang guru terhadap siswanya ditilik dari keaktifan siswa, rekam jejak prestasi/nilai siswa (sejenis PR, ulangan harian, UTS, tugas-tugas, dan sebagainya). Namun, bagi para pengamat pendidikan—seharusnya penilaian kecerdasan tidak hanya diukur dari sisi kognitif semata, melainkan harus melimbatkan seluruh potensi siswa dan bakat siswa. 

Dua pandangan di atas selalu bertolak belakang dalam dunia pendidikan. Para pakar sudah melakukan penelitian mendalam tentang masalah ini. Tetapi, polemik ini masih saja menjangkit pada dunia pendidikan kita. Buktinya sampai sekarang masih banyak yang mengkritisi—sekolah jangan hanya melulu soal nilai (termasuk saya).

Polemik lain, munculnya sekolah unggulan dikhawatirkan berefek pada psikologis calon siswa, tidak sedikit calon siswa gagaltes masuk sekolah unggulan. Akhirnya mereka masuk ke sekolah yang dianggap buangan—dengan kesan, sekolah yang mengakomodir orang-orang bodoh. 

Saya tidak sepakat dengan istilah “sekolah buangan”. Walaupun kita dapati itu sebagai fakta dan pandangan yang lumrah di kalangan pengamat dan masyarakat. Kesan ini sebenarnya yang membuat pendidikan kita susah untuk berkembang. Karena kita sendiri yang membuka ruang para calon siswa menjadi minder akan kecerdasannya, kita sendiri yang membuka lahan kumpulan anak-anak bodoh, dan kita sendiri yang menghinakan generasi kita. Itu tanpa kita sadari. 

Seharusnya kita memahami banyak hal, tidak ada orang bodoh dalam proses belajar mengajar, selagi ia tak berhenti belajar, tidak ada pemalas yang menuntut ilmuselagi ia sekolah, dan tidak ada penindasan intelektualitas dengan mengapling antara si pintar dan si bodoh (hanya dengan standar sekolah semata).
 
Bagi saya, biarkan sekolah unggulan dengan stampel unggulannya (setiap orang punya hak untuk menjadi bangga dengan prestasinya), tetapi jangan biarkan sekolah yang dianggap buangan disuarakan sebagai sekolah rendahan. Seharusnya, konsep pengembangan sekolah ditawarkan tidak melulu fokus pada sekolah unggulan (konsep: “sekolah unggulan yang manusiawi”). Lebih tidak manusiawi lagi ketika sekolah (yang katanya) “kumpulan orang bodoh” dibiarkan tanpa solusi.

Sebenarnya saya kurang nyaman memakai istilah “sekolah buangan”. Terlalu hina bagi sebuah lembaga pendidikan yang berusaha mencetak generasi bangsa. Apalagi di dalam sekolah tersebut ada guru yang terhormat dan ada murid yang punya cita-cita tinggi. Kita harus melihat polemik ini secara utuh, tidak gegabah mengambil kesimpulan, lantaran gara-gara gagal tes masuk sekolah unggulan lantas teramputasi kecerdasannya, saya katakan, tidak! Pasti banyak faktor yang melatarbelakangi ini semua. Mari kita renungkan bersama.

Dalam hal ini, saya hanya ingin menyampaikan, bahwa semua sekolah itu sama, yang membedakan kualitas kesadaran kita terhadap pentingnya belajar, bisa dari siswanya, gurunya, atau sistemnya. Menurut Lucien Goldmann ada dua kesadaran yang harus kita bangun untuk merubah stigma sekolah yang dianggap “tanda kutip”, yaitu “kesadaran nyata” dan “kesadaran potensial”. Kenyataan berbanding lurus dengan realitas dan potensi berbanding seimbang dengan individu.

Beranjak dari hal tersebut, jika kita mau menggugat Polemik Pendidikan Nasional tentu akan menghasilkan deretan panjang dalam tulisan ini, seperti; rendahnya kontrol terhadap buku-buku pelajaran (terutama lembar kerja siswa), biaya sekolah yang mahal (terutama yang disebut unggulan), kebijakan yang kadang hanya berpijak pada kora-kota besar, marjinalisasi guru dalam pembangunan nasional, sekolah yang menghamba terhadap pasar, dan lebih anehnya,kebiasaan buruk setiap ganti Mentri pasti wacana pergantian kurikulum selalu hadir. (polemik-polemik ini bisa kita lanjutkan panjang lebar dilain kesempatan)

Wal hasil, di Indonesia jangan sekali-kali memukul rata kualitas pendidikan, karena kesejahteraan, keadilan, dan kemapanan pun belum merata di seluruh pelosok Indonesia. Masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang membuat pendidikan tidak terselenggara dengan baik.

Saya tutup tulisan ini dengan kesan, setiap saya membaca buku pendidikan selalu ada pertanyaan, dimanakah anak-anak keluarga miskin dan orang bodoh bersekolah? Saya menjawabnya, di sekolahnya. Kemiskinan bukanlah suatu alasan untuk berhenti sekolah, apalagi berhenti belajar (pemerintah sudah mensiapkan program untuk menanggulangi ini), dan tidak ada orang bodoh di dunia ini, yang ada orang yang tidak mau belajar, selagi dia masih bersekolah, berarti dia masih belajar (tidak bodoh). 

Di sinilah saya merenung, kenapa “miskin” dan “bodoh” selalu menjadi korban dalam dunia pendidikan? Padahal salah satu fungsi pendidikan adalah mengentaskan manusia dari kedua hal tersebut. Ada yang salah? Wallahu a’lam.

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.