Opini

Sekarang Kita Hijrah dari Mana ke Mana?

Ahad, 1 September 2019 | 05:20 WIB

Sekarang Kita Hijrah dari Mana ke Mana?

Ilustrasi: lukisan DSAR, Al-Muhajiru, 35 x 25 cm, black ink on art paper, 2019.

Oleh Didin Sirodjudin AR
 
المهاجر من هجر ما نهى الله عنه.
 
Artinya, "Al-Muhajiru (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah," (HR Al-Bukhari dan Muslim).

***

Tekanan terhadap umat Islam as-sabiqunal awwaluna semakin berat. Kaum Quraisy Makkah tambah menindas dengan beragam penyiksaan yang menambah penderitaan di mana-mana. Menghadapi krisis gawat ini, Rasulullah SAW mengambil tindakan dengan menghijrahkan beberapa pengikutnya yang posisinya masih lemah.

Hijrah gelombang pertama (di tahun ke-5 kerasulan) menuju Abessinia atau Habasyah, diikuti 15 orang (10 laki2 dan 5 perempuan) termasuk Usman bin Affan dan istrinya Ruqayah, putri Rasulullah. Mereka lalu kembali setelah beberapa bulan karena mendapat informasi bahwa Makkah sudah aman. Situasi di Kota Makkah ternyata semakin kacau dan gawat. Teror kaum musyrikin tambah menjadi-jadi yang berujung dibuatnya undang-undang pemboikotan terhadap kaum muslimin.

Tindakan musuh sudah semakin kalap dan kejam. Maka, untuk gelombang kedua Rasulullah menyarankan kepada para sahabatnya hijrah lagi ke Abessinia. Kali ini diikuti 101 orang (83 laki2 dan 18 perempuan) di bawah pimpinan Ja‘far bin Abi Thalib. Jumlah tersebut melebihi separuh kaum muslimin pada waktu itu. Tapi, dari sini pula Negus, Raja Abessinia masuk Islam karena terkesan oleh Ja‘far dan rombongannya.

Teror Kaum Quraisy semakin sadis, bahkan menargetkan pembunuhan Rasulullah. Maka, untuk gelombang ketiga, hijrah massal dilaksanakan pada kali ini menuju Yasrib (yang kelak menjadi Madinatunnabi  atau Madinah), diikuti Rasulullah sendiri. Nabi SAW tiba di Madinah pada tanggal 8 Rabiul Awwal/20 September 622 M.

Hijrah terbesar ini bukan lagi pilihan atau sukarela dari anjuran Rasulullah, tetapi langsung perintah Allah untuk menghindari intrik-intrik kejahatan musuh-musuh Islam. Hijrah Nabi ke Madinah bukan kekalahan, melainkan strategi "kemenangan yang ditangguhkan" untuk menyukseskan misi dakwah. Dan ternyata, hijrah jadi starting point of the Islamic era atau titik awal kesuksesan dakwah dan kebangkitan dunia Islam.

Sangat menarik, peristiwa hijrah Nabi ini menjadi dasar inspirasi ditemukannya sistem penanggalan bulan (قمرية) yang dikenal sebagai Tahun Hijriyah, pengimbang kalender matahari (شمسية) Miladiyah atau Masehi yang sudah ada sebelumnya. Apabila perhitungan tanggal matahari/Masehi dimulai dari jam 00.00 tengah malam, maka awal tanggal Hijriyah dimulai dari waktu Maghrib.

Jumlah hari tahun Hijriyah lebih sedikit 11 hari setiap tahunnya dibandingkan tahun Masehi. Tahun Hijriyah ditentukan oleh Khalifah Umar pada tahun 17 H/638 M. Uniknya, prolog kisah dimulai ketika Abu Musa Al-Asy'ari yang menjabat Gubernur Basrah menerima surat dari Khalifah Umar bin Khattab yang tidak mencantumkan tanggal (hari, bulan, tahun).

Dalam surat balasan kepada Khalifah Umar, Abu Musa antara lain menulis, "Surat Tuan yang tidak memakai tanggal itu sudah saya terima......" Kalimat singkat itu dirasakan Umar sebagai "cubitan" sehingga membuka pikirannya untuk mencari dan menetapkan penanggalan atau kalender Islam untuk surat-menyurat dan urusan-urusan resmi negara.

Dalam musyawarah dengan para staf dan penasihatnya, ada yang usul agar titik tolaknya dihitung dari hari lahir Rasulullah atau Perang Badar 17 Ramadhan 2 H. Usulan yang lain, dimulai dari turunnya wahyu pertama atau hari pengangkatan beliau sebagai Rasul. Akhirnya, usulan yang disepakati bersama adalah saran Ali bin Abi Thalib yang menetapkan dimulainya penanggalan tahun Hijriyah dari hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, sebab sejak waktu itulah mulai terbentuknya kekuatan Islam yang riil.

Apakah kita juga harus hijrah? Masih kah relevan menerapkan cara hijrah muslimin Makkah dulu? Tentu, lebih dari sekadar relevan. Sebagaimana Rasulullah hijrah menghindari musuh agama yang berkomplot, maka sesungguhnya musuh-musuh kita yang beragam di zaman sekarang lebih dahsyat, yang  mewajibkan kita untuk hijrah. Musuh-musuh kita yang licin itu adalah:

1)    Cinta dunia (حب الدنيا) yang berlebihan dan tak terkendali sehingga lupa daratan. Padahal

حب الدنيا رأس كل خطيئة

Artinya, "Cinta dunia adalah biang segala kesalahan."

2)    Hawa nafsu yang selalu dituruti (هوى متبع). Padahal, apa yang didapat dari memperturutkan hawa nafsu? Nabi Yusuf mengatakannya:

إن النفس لأمارة بالسوء

Artinya, "Sungguh, hawa nafsu benar-benar menyuruh kepada kejahatan."

3)    Setan gaib (yang sanggup lari mengikuti aliran darah) yang malah dijadikan sekutu, padahal setan seharusnya dilawan:

إن الشيطان لكم عدو فاتخذوه عدوا

Artinya, "Sesungguhnya setan itu musuhmu, maka jadikan dia musuh!"

4)    Setan manusia yang lebih berbahaya. Asal selalu berbisik dan memprovokasi mengajak kepada  kejahatan, manusia dan jin macam begini adalah setan:

من شرالوسواس الخناس الذي يوسوس في صدورالناس من الجنة والناس

Artinya "... dari kejahatan bisikan setan yang bersembunyi, yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia."

Oya, jadi kita harus hijrah dari mana dan ke mana?

Bila melihat kepada catatan perjuangan Rasulullah yang berujung kepindahan atau hijrahnya ke Madinah dengan tujuan utamanya "meninggalkan situasi yang buruk untuk mencari situasi baru yang  lebih baik", atau seperti sabda beliau bahwa "Orang yang berhijrah adalan orang yang meninggalkan larangan Allah,"  maka setidaknya ada empat pelabuhan yang bisa dijadikan titik tolak hijrah kita, yaitu:

1) Pertama, من الشرك إلى التوحيد (dari syirik kepada tauhid) dengan menyingkirkan sesembahan kepada berhala dan setan, memberantas praktik perdukunan sampai sikap menuhankan harta, tahta, jabatan, wanita dan serba benda yang lain. Semuanya disterilkan dan  dikembalikan "hanya untuk Allah Yang Maha Esa".

2) Kedua, من الكفرإلى الإيمان (dari kekufuran kepada iman) dengan meneguhkan keyakinan kepada rukun iman yang enam dan meninggalkan "sikap selalu membangkang" terhadap perintah Allah.

3) Ketiga, من الجاهلية إلى الإسلام (dari jahiliyah kepada Islam), yakni meninggalkan adat-adat jahiliyah yang busuk seperti: musuh-musuhan, dendam,  bertengkar, iri dengki, takabur, buruk sama tetangga, tidak menghormati keluarga atau tamu, berkhianat, menggunting dalam lipatan, dan tidak toleran. Semuanya diubah dengan selalu menjunjung perilaku dan akhlak yang Islami. Sesuaikan dengan norma-norma ajaran agama (Islam).

Keempat, من الظلمات إلى النور  (dari kegelapan kepada cahaya). Keluarlah dari tempat gelap yang membutakan, yakni "amalan tanpa tuntunan", perbuatan bid'ah, atau ibadah tanpa ilmu. Lihatlah cahaya Islam dan iman sebagai way of life yang mencerahkan dan selalu memberi harapan.
 
 

Didin Sirojuddin AR adalah Pengurus Lembaga Kaligrafi (Lemka). Kini ia mengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.