Opini

Siti Aisyah, RAy Kartini, dan Emansipasi Wanita

Sab, 21 April 2018 | 00:30 WIB

Siti Aisyah, RAy Kartini, dan Emansipasi Wanita

Ilustrasi (wordpress.com)

Oleh Muhammad Ishom

Pada abad ke-7 di tanah Arab hidup seorang putri agamawan bernama Siti Aisyah radliyallahu ‘anha. Ia adalah putri Abu Bakar As-Shiddiq radliyallahu ‘anhu, sahabat dekat Nabi Muhammad shallahu alahi wa sallam. Pada abad ke-19 di tanah Jawa hidup seorang putri bangsawan bernama RAy Kartini. Ia adalah putri bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kedua perempuan ini memiliki persamaan dan perbedaan penting dalam kaitannya dengan emansipasi wanita.

Persamaan mendasar antara Siti Aisyah radliyallahu ‘anha dan RAy Kartini adalah keduanya beragama Islam dan bersuamikan seorang tokoh yang menjalani poligami. RAy Kartini adalah istri keempat bupati Rembang, KRM Adipati Arip Singgih Djojo Adhiningrat. Sedang Siti Aisyah adalah istri kedua Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di samping Siti Saudah binti Zam’ah bin Qois radliyallahu ‘anha sepeninggal Siti Khadijah binti Khuwailid radliyallahu ‘anha

Perbedaan antara keduanya, antara lain, adalah bahwa Siti Aisyah banyak berperan di wilayah agama, sedang Kartini di wilayah budaya. Gelar yang mereka sandang, yakni Raden Ayu (RAy) untuk Kartini, dan Ummul Mukminin (Ibu Orang-orang Beriman) untuk Siti Aisyah, menguatkan tesis di atas. 

Baca juga: Di Balik Beda Sikap Siti Aisyah dan RAy Kartini saat Dipoligami
RAy Kartini adalah simbol perjuangan wanita Indonesia, khususnya Jawa, dalam memperoleh persamaan hak antara laki-laki dan perempuan pada abad ke-19. Saat itu emansipasi wanita berada pada titik nadir. Perjuangannya dinilai berhasil dan karenanya ia ditetapkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964. 

Siti Aisyah radliyallahu ‘anha lebih dari sekadar simbol perjuangan wanita. Ia adalah pelaku emansipasi wanita dua belas abad sebelum RAy Kartini. Emansipasi itu dicapainya ketika masyarakat Muslim dipimpin seorang nabi dan bukan seorang raja atau khalifah, yang tak lain adalah suaminya sendiri. Nabi Muhammad shallahu alahi wa sallam memberikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan lebih besar dibandingkan para penguasa Jawa. Dengan kata lain, emansipasi wanita di tangan raja-raja mengalami kemunduran.

Sosiolog Max Weber (1864–1920) mengemukakan agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Teori ini sejalan dengan sebuah hadits Rasulullah shallahu alahi wa sallam yang diriwayat Bukhari, ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” 

Hadits tersebut menegaskan diutusnya Nabi Muhammad shallahu alahi wa sallam adalah untuk melakukan perubahan sosial, khususnya menyempurnakan akhlak manusia, baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Dalam dimensi vertikal, Nabi Muhammad shallahu alahi wa sallam mengajak umat manusia untuk meng-esa-kan Tuhan dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan animistik maupun politeistik.

Dalam dimensi horizontal, Nabi Muhammad shallahu alahi wa sallam menyerukan kesetaraan dan keadilan. Berbagai macam diskriminasi yang di masa sebelumnya–jahiliyah–telah mapan, seperti diskriminasi ras dan gender dikikis oleh Nabi secara mendasar karena Islam mengajarkan kesetaraan (Quran: Al-Hujuraat, 13) dan keadilan (Quran: An-Nahl, 19). 

Di masa jahiliyah, perempuan diperlakukan tidak manusiawi. Banyak terjadi anak perempuan dikubur hidup-hidup. Di masa Rasulullah shallahu alahi wa sallam, perempuan dihormati dan mendapatkan hak-hak sebagaimana laki-laki. Maka tidak mengherankan jika Siti Aisyah radliyallahu ‘anha bisa berperan penting dan mewarnai kehidupan masyarakat. Ia banyak meriwayatkan hadits sebagaimana laki-laki. Ia mampu menghafal dan meriwayatkan hadits tak kurang dari 2.210. 

Prestasi tersebut ia peroleh karena Nabi Muhammad memberikan kesempatan. Nabi bahkan mendorong perempuan sebagaimana laki-laki untuk mencari ilmu tanpa dibatasi waktu dan tempat. Hal ini berbeda dengan ketika RAy Kartini hidup di mana perempuan tidak mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.

Jadi memang emansipasi wanita di tangan raja-raja mengalami kemunduran karena sistem keraajaan sarat dengan budaya patriakhal yang menghalangi perempuan tampil di ruang publik, apalagi menjadi pemimpin. Hal ini tidak jarang mendapat dukungan dari para fuqaha yang merupakan bagian dari sistem kerajaan (kekhalifahan). Maka bisa dimengerti beberapa produk fiqih klasik menjustifiksi bias gender ini. Mereka juga tidak diperbolehkan menjadi hakim. Di zaman Siti Aisyah, ia bisa tampil ke publik dan bahkan menjadi panglima dalam Perang Jamal. 

Pada akhirnya fungsi sosial agama yang oleh Weber diyakini sebagai alat perubahan dalam arti positif ternyata dapat pula digunakan sebagai alat justifikasi ketidakadilan sosial. Dari sini kemudian lahir teori ambiguitas agama (the ambiguity of religion) di mana agama dipandang memiliki wajah ganda. Ia bisa berwajah positif bisa pula negatif, bergantung pada bagaimana orang memahami dan mengamalkan apa yang dipahami dari agama itu. Emansipasi wanita di zaman Siti Aisyah radliyallahu ‘anha telah mancapai kemajuannya; di zaman RAy Kartini harus diperjuangkan kembali. 
 

Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta