Opini

Strategi Baru Bush di Iran

NU Online  ·  Ahad, 18 Maret 2007 | 16:21 WIB

Hendrajit

Pidato Presiden Amerika Serikat Januari lalu nampaknya memang tidak bisa ditafsirkan lain, bahwa serangan militer ke Iran bukan sekadar ancaman atau gertak sambal belaka. Artinya, sebuah rencana operasi militer yang bersifat preemtif memang sedang disusun. Masih belum yakin juga? Rabu 3 Maret lalu, Angkatan Laut Amerika Serikat di perairan barat Pasifik. Kapal Induk berkekuatan nuklir The USS Ronald Reagan tiba di Hongkong. Sebagai kapal induk, the USS Ronald Reagan ini memang tidak main-main, Sebagai kapal bertenaga nuklir seberat 97.000 ton itu, kapal ini bisa mengangkut sekitar 5000 pelaut, 80 pesawat tempur dan dapat beroperasi selama 20 tahun tanpa mengisi kembali bahan baker. Dan The USS Ronal Reagan, yang mengabadikan nama seorang mantan Presiden Amerika Serikat pada era perang dingin itu, tercatat sebagai kapal berkekuatan nuklir kesembilan belas kelas Nimitz. Dan bisa difungsikan sebagai pembawa sekaligus landasan pacu pesawat jet tempur. Lalu untuk apa kapal induk sebesar ini harus di bawah ke perairan barat Pasifik di Hongkong?

Nah inilah satu perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Apalagi dalam strategi baru Bush di Timur Tengah yang dikumandangkan awal tahun ini, pemerintah Amerika memutuskan untu mengirim sekitar 21.500 personil militer tambahan ke Irak. Namun berbagai analisis kemiliteran dan intelijen mengindikasikan bahwa penambahan pasukan tempur Amerika ini sebenarnya bukan sekadar mengantisipasi krisis berkepanjangan di Irak, tapi juga sekaligus melayani agenda tersembunyi Amerika lainnya yaitu bagian dari rencana serbuan Amerika ke Iran pada momen dan waktu yang dianggap tepat.<>

Menyikapi perkembangan ini. banyak kalangan komunitas internasional yang menghimbau Amerika agar mengurungkan niatnya. Masalahnya bukan apa-apa, justru dengan serangan militer ini Iran bisa-bisa malah seperti dipicu untuk mempercepat pembuatan senjata nuklirnya. Karena meski saat ini Amerika belum punya bukti nyata benar tidaknya Iran sedang mengembangkan persenjataan nuklirnya, namun sulit disangkal bahwa para tenaga ahli Iran di bidang Ilmu dan Teknologi, sebenarnya cukup punya kemampuan dan pengetahuan dalam bidang nuklir, baik untuk tujuan damai maupun perang. Dan sumberdaya manusia Iran di bidang ilmu dan teknologi Nuklir, tentunya tidak akan tetap ada meski Iran dihancurkan oleh bom Nuklir sekalipun.

Potensi ancaman seperti dikemukakan di atas, pastilah disadari sepenuhnya oleh kubu Amerika maupun negara-negara sekutu andalannya seperti Israel dan Inggris.

Maka tidak heran jika 13 Maret lalu, Wakil Perdana Menteri Israel Shimon Peres, menyerukan kepada Amerika maupun Iran perlunya solusi damai dalam penyelesaian persoalan nuklir Iran. Rupanya Peres sadar betul betapa gawatnya jika Amerika menyerbu Iran, dan pada akhirnya Iran malah benar-benar menciptakan senjata Nuklir. Dalam perhitungan Peres maupun para penentu kebijakan strategis di Amerika maupun negara-negara barat lainnya, meski Iran saat ini belum menciptakan senjata Nuklir, namun kalau ada agresi Amerika, bisa saja Iran kemudian menggunakan pengetahuan dan teknologi yang mereka punya untuk mengembangkan Nuklir untuk tujuan di bidang militer.

Berkaitan dengan kecemasan itu, menarik mengutip peringatan KetuaBadan Atom Internasional (IAEA) Mohamed Elbaradei. “If we continue on the same course, we could see a spiral of escalation. There is an urgentneed for creative diplomacy and leadership.” Lebih lanjut Elbaradei mengingatkan, I personally believe that in a situation like the one you have in the Middle East today, where it´s like a ball of fire, you have to be very cautious. We cannot afford to add oil to that fire. The more we have confrontation, the more the Middle East will become militant and angry. The earlier we move into a conciliatory mood the better for everybody.”

Karena itu tak heran jika Peres yang notabene mewakili suara akal sehat dan rasional di kubu Israel yang hingga kini merupakan musuh utama Iran, justru sangat mendukung suara-suara kritis di dalam negeri Iran yang mengecam kebijakan Presiden Mahmoud Ahmadinejad soal pengembangan nuklir. “Pada dasarnya Iran adalah negara miskin. Kemiskinan sangat tinggi, begitu juga korupsi. Mereka tidak bisa memberi makan anak-anaknya dengan uranium,” begitu kata Peres yang tentunya dimaksdudkan untuk menyindir Ahmadinejad sembari memberi dukungan moral secara halus kepada kalangan masyarakat Iran yang menentang kebijakan garis keras Ahmadinejad.

Dan nampaknya, terlepas kian santernya rencana Amerika serang Iran, Iran sepertinya justru semakin menguat sentimen nasionalisme dan patriotismenya. Misalnya saja ketika baru-baru ini Iran mengeluarkan mata uang kertas baru yang berhiaskan simbol Nuklir. Dan mata uang itu juga menampilkan gambar Ayatollah Ruhollah Khomeini, Bapak Revolusi Islam Iran pada 1979.


Pentingnya Menempuh Jalan Damai

Itu pula sebab semua kalangan komunitas internasional menyerukan pentingnya mencari solusi jalan damai dan penyelesaian secara diplomatik dalam masalah Iran, melalui prakarsa dan pengawasan Badan Atom Internasional.

Bahkan di dalam negeri Amerika Serikat sendiri, banyak yang mencemaskan kemungkinan Bush melancarkan serangan militer ke Iran. Calon Presiden Amerika Bill Richardson bahkan menyarankan adanya pendekatan melalui dialog dengan Iran sembari memimpin diplomasi global untuk mencegah Iran mengembangkan senjata Nuklirnya.

“Kita memerlukan perundingan langsung , tidak saja dengan Iran, tetapi juga juga dengan sekutu kita, khususnya Rusia, agar Rusia mendukung kita dengan memberi Iran imbalan disertai desakan(carrots and sticks).

Gagasan Richardson, seperti halnya Wakil Perdana Menteri Israel Peres, sebenarnya patut dijadikan pertimbangan. Karena pada dasarnya Iran bukannya tidak mau bekerja sama, namun perlu suatu cara pendekatan yang lebih moderat dan menghargai harga diri dan integritasnya sebagai bangsa yang berdaulat.

Dengan Korea Utara, Amerika sudah berhasil mencapai kesepakatan minimum yang mana Amerika dan Korea Utara tidak perlu merasa kehilangan muka, lalu mengapa dengan Iran tidak bisa?


Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Institute(IFI)