Oleh M Sholeh Nahru
Ahir-ahir ini banyak dai yang secara terang-terangan, bahkan bisa dikatakan telanjang, ketika dalam ceramah-ceramahnya menggiring mustami’ (pendengar) untuk memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tidak hanya menggriring, melainkan mengajak.
Terlebih dari hal tersebut, jejak digital tidak bisa dibohongi. Semakin majunya teknologi dan komunikasi, apa yang telah kita sampaikan atau kita lakukan (ucapan dan perbuatan) bisa diketahui oleh banyak orang dimanapun berada. Misal seorang dai menyampaikan hal yang tidak sesuai aturan syari’at, lewat kemajuan teknologi yang dalam hal ini melalui kemajuan media social (YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, dll) apa yang disampaikan dai tersebut akan diketahui serta dikonsumsi banyak orang. Sehingga pada ujungnya ujaran kebencianlah yang terlontar dari seorang pendakwah, dan tentunya menjadikan umatpun benci pada objek yang dibenci oleh pendakwah.
Lantas bagaimanakah cara yang baik untuk berdakwah?
Niat Syi’ar dengan Syu’ur
Dakwah oleh kebanyakan orang diartikan juga Syi’ar. M Quraish Syihab pernah menyampaikan bahwa yang namanya syi’ar juga bermakna syu’ur yang berarti perasaan. Maka seyogyanya seorang dai yang sedang mensyi’arkan ajaran kebaikan itu harus dengan penuh perasaan. Karena tujuannya –bagaimana orang tersebut mendapatkan hidayah. Ibarat seseorang yang memberikan hadiah, tujuannya –bagaimana sebuah hadiah bisa diterima dengan hati yang senang oleh orang yang akan kita beri hadiah. Ketika kita akan memberi hadiah, biasanya hadiah tersebut dikemas dengan semenarik mungkin atau dikemas dengan indah, ketika sudah dikemas kita akan memberikan hadiah tersebut dengan cara yang baik pula atau dengan cara yang berkesan. Begitupun dengan dakwah, menyampaikan yang baik yakni dengan cara yang baik pula. Agar apa yang disampaiakan oleh dai bisa diterima oleh mustami’.
Memahami objek berdakwah
Hal selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang pendakwah itu ialah cara menyampaikan kebaikan dengan cara memahami objek dakwah. Allah SWT telah mengajarkan seorang dai agar dapat berdakwah dengan tiga cara yang tertuang dalm firman-Nya surat An-Nahl ayat: 125. Yakni berdakwah dengan hikmah, mauizhah hasanah, dan jadil.
Dalam Tafsir Al-Misbah, M Quraish Syihab mengartikan hikmah dengan berbagai makna. Salah satunya yakni Hikmah diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Jadi seorang pendakwah seyogyanya ketika menyampaikan sesuatu tidak mempunyai efek negative bagi mustami’. Biasanya cara hikmah, diterpkan untuk seorang cendikiawan.
Selanjutnya mau’izhah, yang oleh sebaigain ulama diartikan uraian yang menyentuh hati dan mengantar pada kebaikan. Hal ini diterapkan ketika objek dakwah merupakan orang awam. Dan biasanya mau’izhah bisa diterima oleh pendengar jika apa yang disampaikan oleh pendakwah disertai pengalaman dan keteladanan dari seorang pendakwah tersebut.
Kemudian Jidal, yang berarti beradu argument ataupun berdebat. Sebagian banyak ulama tafsir menyampaikan bahwa cara Jidal menurut Al-Qur’an itu harus dengan cara jidal yang terbaik (Billatii Hiya Ahsan). Bukan hanya jidal yang baik. Karena pada dasarya ada jidal yang baik, jidal yang terbaik, da nada pula jidal yang buruk, yang ketika diterapkan menimbulkan permasalahan.
Namun menurut Thabathaba’i, ketiga cara diatas dengan tiga objeknya bukanlah rumus yang paten. Bisa saja seorang cendikiawan tersentuh dengan cara mau’izhah dan tidak menutup kemungkinan seorang yang awam menerima dan tersentuh dengan apa yang kita sampaikan dengan cara jidal.
Maka jika dilihat dari cara atau metode dakwah diatas, seorang dai harus pintar memilih cara dan melihat objek dakwah dengan tidak melupakan sifat cara dakwah tersebut, yakni dengan cara yang terbaik.
Rendah hati dan tidak mudah membenci
Sifat rendah hati sangatlah perlu dimiliki oleh seorang pendakwah. Karena jika hal tersebut tidak dimiliki dai maka selamanya akan menganggap kecil orang lain dan merasa dirinya besar. Sedangkan ketika seseorang merasa besar, hakikatnya dia itu kecil. Sehingga ketika objek dakwah bertentangan dengan dai maka yang timbul adalah rasa benci.
Padahal sifat rasa benci sangat harus dijauhkan dari seorang diri pendakwah. Penggalan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi, “Wa Laa Yajrimannakum Syana`aanu Qoumin ‘Alaa Ta’diluu…”. Dalam Tafsir Al-Misbah diartikan: Dan janganlah terdorong oleh kebencian kepada suatu kaum (orang-orang kafir) untuk berlaku tidak adil (hinga kamu menganiaya mereka karena permusuhan mereka itu).
Dan uraian diatas bias kita pahami, Allah SWT terhadap orang kafir sekalipun melarang membenci atau melarang diri kita terdorong oleh kebencian yang menjadikan kita tidak berlaku adil. Apalagi kepada seorang muslim dan mukmin.
Moderat dan tidak berlebihan
Ketika berdakwah moderat juga sangat diperlukan. Karena tidak sedikit ataupun tidak jarang ketika seorang pendakwah menyamipaikan isi dakwahnya dihadapan orang yang tidak sepemikiran dengan pendakwah. Tetapi seharusnya seorang dai yang sedang syi’ar kebaikan dapat menjadi seorang penengah da nada ditengah-tengah. Karena sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia sebagai “Ummatan Wasathon”. Ummat pertengahan. Dan jika seorang pendakwah tidak bias moderat maka yang timbul rasa berlebihan dalam bersyi’ar. Sedangkan Allah melarang umat-Nya berlebihan “Wa laa Tusrifuu”. Karena apa?
Karena ketika seorang pendakwah bersyi’ar secara berlebihan hususnya dalam mengajak kepada hal yang baik melalui ucapan (ceramah), hasilnya akan menimbulkan ekstrimisme. Sedang dakwah yang dilakukan oleh kanjeng Nabi Muhammad jauh dari sifat ekstrim.
Maka bisa ditarik kesimpulan dari uraian diatas, bahwa menjadi seorang pendakwah yang baik tidak terlepas dari niat syi’ar, memahami objek berdakwah, rendah hati dan tidak mudah membenci, serta moderat dan tidak berlebihan. Dan selayaknya seorang pendakwah konsisten dalam dakwahnya dengan empat cara tersebut tanpa ditumpangi kepentingan lain di luar tujuan mengajak kepada hal yang baik.
Penulis adalah mahasiswa Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Fakultas Syari’ah dan Hukum.