Opini

Suap Bukan Tradisi Pesantren

Kam, 30 Mei 2019 | 08:30 WIB

Oleh: Iksan Kamil Sahri

Di pesantren terdapat sebuah tradisi di mana seorang tamu memberikan uang kepada kiai atau ustadz. Tradisi ini sudah berlangsung sangat lama. Awal mula tradisi tersebut bersamaan dengan penyebaran Islam di Nusantara.

Para penyebar agama Islam (kiai) yang tidak mendapat gaji dari pemerintah karena menyebarkan agama Islam ataupun mendidik anak-anak masyarakat, mendapatkan simpati dari penduduk sekitar. Hal itu dibuktikan dengan membukakan mereka tanah baru, membantu mendirikan rumah sederhana bagi kiai dan mushalla atau masjid tempat syiar dilakukan. Tidak berhenti sampai di situ, serta memberikan hasil tanah mereka berupa beras, ubi-ubian, dan palawija agar dapat dinikmati oleh kiai dan keluarganya (Iksan, 2018). Tujuannya adalah agar para kiai terus dapat mengembangkan dakwah serta mendidik anak-anak penduduk sekitar.

Lambat laun, setelah masa uang kertas diperkenalkan dan Indonesia mengadopsi sistem ini, maka para penduduk mulai beralih dari tradisi memberi beras, ubi-ubian dan palawija menjadi memberi uang sebagai ganti atas semua itu. Cara pemberiannya juga mempunyai kode etik tersendiri, yaitu, uang dipegang oleh tamu dengan menggunakan jempol, jari  telunjuk dan jari tengah tangan sebelah kanan. Dan diberikan saat bersalaman dengan cara membungkukkan badan atau mencium tangan kiai. Setelah itu tamu yang kebanyakan berasal dari penduduk sekitar atau dari kalangan alumni, berjalan mundur bergerak menjauh untuk beberapa langkah.

Tradisi ini pada umumnya di pulau Jawa disebut sowan dan di Madura disebut sebagai cabis. Peristiwanya disebut pisowanan dan cabisan. Semuanya dilakukan secara sukarela serta tidak menjanjikan apapun. Biasanya dalam tradisi tersebut para tamu minta agar didoakan atau agar mendapatkan berkah dari sang kiai.

Menguji Alibi Kejadian Mutaakhir
Lalu bagaimana dalam konteks sejumlah kejadian mutaakhir yakni banyaknya tokoh yang mengemukakan bahwa tradisi itu dilakukan kepada kiai dan dipersoalkan sejumlah kalangan, termasuk dijadikan alibi di pengadilan. Kasus terbaru adalah salah seorang ketua umum partai yang tertangkap tangan karena kedapatan menerima suap dari pejabat di Jawa Timur. 

Dalam alibinya, pengacara tersangka menolak jika itu dikatakan suap tapi dianggap sebagai bisyarah. Masih menurut sang pengacara, bisyarah ini adalah tradisi yang ada di pesantren (23/5). Bisyarah yang disebut pengacara berasal dari tradisi sowan yang saya sebutkan di atas.

Dalam pandangan penulis, ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, selain sebagai tokoh agama, kiai di Indonesia juga berfungsi cultural broker atau broker kebudayaan (Getzz, 1960). Sebagai broker kebudayaan, kiai memang menjadi jembatan penghubung antara dua kelas sosial di masyarakat yaitu kelas elit dan kelas masyarakat kebanyakan.

Dalam konteks ini maka wajar jika kiai kemudian banyak didekati pemain-pemain politik menjelang pemilihan umum. Biasanya para kiai ini dijadikan sebagai penarik suara (vote getter) walaupun akhir-akhir ini banyak juga kiai yang juga memanfaatkan hal ini untuk terjun sendiri ke medan politik praktis, banyak yang berhasil tapi tidak sedikit yang gagal. Dalam konteks ini, posisi pemberian uang tidak masuk dalam istilah culturalal broker karena ia tidak bekerja dalam bidang budaya, tapi dalam bidang jual beli jabatan sehingga ini adalah murni transaksi jabatan berdasarkan kedekatan politik.

Sehingga jika pun ini ditarik dalam cara berpikir Geertz, maka hal tersebut lebih tepat disebut sebagai political broker karena posisinya sebagai ketua partai, maupun jabatan politis lainnya. Dengan memberikan uang, maka pihak penyuap berharap agar tersangka dapat mempengaruhi keputusan kementerian atau jajaran di bawahnya untuk kepentingan penyuap. Jadi, terdakwa di sini tidak dilihat karena dia sebagai cucu seorang kiai besar tapi sebagai ketua partai politik. 

Kedua, pemberian pisowanan biasanya dilakukan dalam kapasitas seorang santri ke kiainya atau masyarakat ke kiainya serta dilakukan tanpa menjanjikan apa-apa kala memberi. Dalam konteks kedua ini, maka tersangka bukanlah kiai dalam arti sebagai pengsuh pesantren serta tidak dalam kapasitas sebagai kiai yang menerima pisowanan untuk kepentingan dakwah.

Sehingga melihat dari dua hal di atas, maka alibi pengacara terangka bahwa apa yang diterima sebagai tradisi pesantren tidak dapat dibenarkan dan harus dianggap sebagai alibi kacau agar terhindar dari jerat hukum. Kasus yang menimpa sejumlah pejabat publik adalah murni kasus suap dan tidak berhubungan dengan tradisi pesantren yang disebutkan di atas.

Adalah Ketua Lembaga Penelitian Al-Fithrah College, Surabaya dan Pengurus Lakpesdam PWNU Jawa Timur.