Opini

Tantangan Pancasila di Era Milenial

Jum, 1 Juni 2018 | 03:15 WIB

Oleh: Muhammad Makhdum 

Berdasarkan kronika sejarah, 1 Juni 1945 merupakan momen penting yang menandai kelahiran Pancasila. Setelah melalui perenungan mendalam, penggalian sejarah, dan dialog peradaban serta perdebatan panjang yang melelahkan, Pancasila akhirnya disepakati para founding fathers sebagai titik temu terbaik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, Pancasila telah final secara konstitusional sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi, dan ligatur (pemersatu) dalam denyut nadi kehidupan bangsa. Peristiwa ini terekam jelas dalam memori sejarah bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pada sidang umum PBB tanggal 30 September 1960, Bung Karno mulai mengenalkan Pancasila kepada dunia. Pidatonya yang mengguncang dunia menjadi inspirasi bahwa untuk menjadi bangsa yang besar, konsepsi dan cita-cita harus dimiliki sebuah bangsa. Dengan bangga Bung Karno menunjukkan Pancasila disebagai konsepsi dan cita-cita bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. 

Lima sila dalam Pancasila merupakan bagian yang tak terpisahkan satu sama lain, saling menjiwai dan dijiwai. Yudi Latif (2011), menyebut bahwa nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi, harus dimplementasikan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, perwujudan keadilan sosial tidak boleh terlepas dari keempat sila yang lainnya. Dalam hal ini, Bertrand Russel bahkan mengagumi Pancasila sebagai sintesis kreatif dari ideologi kapitalis Barat dan manifesto komunis Timur yang saat itu saling berebut pengaruh dunia. 

Sebagai ideologi bangsa, Pancasila telah kenyang dengan berbagai macam polemik dan perdebatan. Tidak hanya pada awal perumusannya (Piagam Jakarta), tetapi juga menyertai perjalanan sejarah bangsa Indonesia hingga sekarang. Perdebatan ide antara Soekarno dengan Natsir, masih berkelebat dalam catatan sejarah. Demikian juga polemik diskursus antara Soekarno dengan Agus Salim. Di sini lain, kontestasi ideologi antara Pancasila dengan Islam juga masih terus berlangsung sampai hari ini. 

Pasca reformasi, perdebatan antara Pancasila dengan Islam semakin menghangat, bahkan memunculkan ketegangan. Ini dipicu dengan diusungnya gagasan negara khilafah yang menghadap-hadapkan langsung antara Pancasila dengan Islam. Sayangnya, perdebatan ini tidak disertai dengan kesepakatan memaknai nilai-nilai dasar Pancasila. Sehingga yang muncul adalah menegasikan unsur satu dengan yang lainnya. Jika memilih Islam maka dianggap mengkhianati Pancasila, sebaliknya jika memilih Pancasila berarti mengingkari Islam. 

Dalam konsep khilafah, nilai-nilai filosofis Pancasila dipereteli, ditafsirkan sendiri, dilepaskan dari substansi Islam, dan dicampakkan dalam lumpur kerancuan berpikir. Mereka gagal paham terhadap pondasi dasar Pancasila dan semangat keindonesiaan, yaitu spiritualitas dan nilai-nilai ketuhanan. Di satu sisi, para pengusung jargon kebhinnekaan juga tampak ingin memisahkan agama dari Pancasila. Ini  merupakan tindakan konyol dan ahistoris. Jika para pemuja khilafah tersesat dalam bernegara, maka kelompok ini telah keblinger dalam beragama. 

Lalu bagaimana memaknai Pancasila yang selama ini menjadi bahan perdebatan? Munawir Aziz (2017) menyebut bahwa di tengah kontestasi ideologi negara, meletakkan kembali Pancasila sebagai referensi gagasan menjadi penting dalam ikhtiar mempertahankan kedaulatan NKRI. Spirit “NKRI harga mati” tidak sepantasnya dipertentangkan dengan Islam. Dengan sudut pandang yang jernih, Pancasila justru mampu memberi kesempatan bagi semua agama untuk bersinergi membangun dan membesarkan bangsa. 

Grand Syaikh Al Azhar, Mesir, Ahmad Mohamad ath-Tayeb, menilai bahwa Pancasila bukan hanya sejalan dengan ajaran Islam, melainkan dipandang sebagai esensi nilai-nilai ajaran Islam. "Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, prinsip musyawarah dan keadilan adalah intisari ajaran Islam.” Hal itu disampaikannya saat mengunjungi Indonesia (30/4). Pernyataan ini diharapkan mampu membuka pikiran pengusung ideologi khilafah, bahwa mempertentangan Pancasila dengan Islam adalah gagasan usang dan terbelakang. 

Di era milenial ini, penting sekali menyegarkan gagasan Pancasila agar sesuai dengan konteks zaman. Untuk membangun benteng ideologi yang kokoh, generasi muda perlu disasar dan dilibatkan secara massif dalam mengkampanyekan nilai-nilai Pancasila. Terlebih, mereka cenderung mudah terpapar dengan virus ekstrimisme dan radikalisme. Dalam hal ini, media teknologi informasi dan komunikasi dapat menjadi strategi yang cukup ampuh untuk mengenalkan nilai-nilai Pancasila secara lebih segar dan kontekstual. Peran generasi milenial akan sangat signifikan dalam menentukan perjalanan sejarah bangsa di masa mendatang. Maka, memahami dan membumikan Pancasila, adalah titik balik menuju renaissance atau kebangkitan kembali bangsa kita. Semoga. 

Penulis adalah Anggota Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PCNU Kabupaten Tuban, Ahlul Ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang