Opini

Tawassuth sebagai Jalan Harmoni

Kam, 8 Juni 2017 | 00:03 WIB

Oleh Muhammad Makhdum
Salah satu karakter beragama Ahlussunnah wal Jama’ah yang paling menonjol adalah tawassuth. Tawassuth atau moderat adalah berada di tengah-tengah, tidak terjebak pada titik-titik ekstrim, tidak condong ke kiri atau cenderung ke kanan, seimbang antara dalil aqli (akal) dan naqli (teks kitab suci), tidak memihak tetapi lebih lebih bersifat menengahi. Dalam kehidupan sehari-hari, tawassuth terekspresikan pada sikap yang seimbang antara pikiran dan tindakan, tidak gegabah dalam mengambil keputusan, apalagi menghakimi. Tawassuth melekat sangat kuat pada mayoritas umat Islam di dunia sebagai pola pikir dalam kehidupan beragama, termasuk juga di Indonesia, sejak jaman dahulu hingga saat ini. 

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap tawassuth tercermin dari disepakatinya Pancasila oleh para founding fathers sebagai dasar negara. Pancasila merupakan jalan tengah untuk menghindarkan Indonesia dari benturan antara agama dan negara serta terbukti ampuh dalam menjembatani perbedaan suku, agama, ras, budaya, dan bahasa hingga seluruh elemen bangsa Indonesia mampu hidup bersama (common platform) dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga dalam politik internasional, gerakan nonblok yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno di era kemerdekaan juga mampu menempatkan Indonesia secara strategis di antara dua kekuatan besar pada masa itu, yaitu blok Barat yang diwakili Amerika dan blok Timur yang digawangi oleh Uni Soviet.

Sikap tawassuth juga sangat kental dalam sejarah peradaban Islam. Konsep Piagam Madinah yang digagas oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW merupakan garis singgung kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dengan berbagai macam kelompok di luar Islam untuk membangun tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan kepentingan bersama (bonum commune). Pada saat itu, dengan kekuatan besar kaum muslimin di bawah kepemimpinan Kanjeng Nabi Muhammad, bisa saja umat Islam memegang kendali penuh dalam menentukan kebijakan politik yang menguntungkan umat Islam secara sepihak, namun ternyata hal tersebut tidak dilakukan. 

Atas dasar inilah maka para pendiri bangsa memilih Pancasila sebagai body-text dasar negara, bukan Piagam Jakarta, sama halnya ketika Kanjeng Nabi Muhammad memilih Piagam Madinah tanpa harus mencantumkan secara eksplisit-literal penerapan syariat Islam dalam konsep kehidupan bermasyarakat. Jadi sangat disayangkan jika ada sebagian kelompok yang membenturkan Pancasila dengan agama, karena jelas bahwa Pancasila memiliki sanad historis yang tidak jauh berbeda dengan Piagam Madinah. 

Keberhasilan dakwah Islam di Nusantara juga tidak terlepas dari sikap tawassuth yang diterjemahkan dengan sangat baik oleh Walisongo. Pendekatan dakwah Walisongo melalui jalan hikmah sangat sesuai dengan teladan Rasulullah. Para wali dengan cerdas dan bijaksana memanfaatkan semua perangkat kehidupan masyarakat untuk jalan dakwah, baik melalui kehidupan sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, termasuk dalam berpolitik. Sikap tersebut membuat masyarakat Nusantara berbondong-bondong masuk Islam secara sadar tanpa pemaksaan atau intimidasi kekuasaan. Sikap ini pula yang kemudian yang dijadikan role model atau madzhab oleh Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan sayap dakwah di Indonesia. 

Lawan dari sikap tawassuth adalah tatharruf (ekstrem). Jika tawassuth mampu membawa harmoni dalam kehidupan umat manusia, maka sebaliknya sikap tatharruf dapat menjadikan manusia terjebak dalam kekacauan (disharmoni). Sikap ekstrim muncul karena cara pandang yang sempit, keterbatasan ilmu pengetahuan, logika berpikir yang tidak koheren, dan merasa benar sendiri (close minded). Sikap ekstrem akan menemukan tempatnya jika terdapat kelompok masyarakat dengan tipikal yang sama. 

Baumeister (1997) mengatakan bahwa perilaku ekstrem hampir selalu didorong oleh semangat kelompok. Ekstremisme mengakibatkan konfrontasi, menimbulkan perasaan saling mencurigai yang bermuara pada perpecahan antara satu dengan yang lain. Seseorang dikatakan ekstrimis jika sangat antusias dan sangat berlebihan dalam bertindak akibat terlalu memfokuskan diri pada interpretasi pribadi, lebih memperhatikan logika berpikir dari perilaku sendiri, dan tidak memiliki empati terhadap pihak lain yang berbeda dengan dirinya. 

Akhir-akhir ini, kita semakin sering disuguhi sikap-sikap ekstrem oleh masyarakat kita sendiri. Kontestasi dalam panggung politik sering menimbulkan gesekan bagi masyarakat yang berbeda pilihan, terlebih jika hal tersebut bersinggungan dengan agama. Kehadiran media sosial juga semakin menyuburkan perilaku ekstrem tersebut. Media sosial yang semestinya menjadi ajang sosialisasi, justru menampilkan wajah yang anti sosial. 

Menjamurnya berita bohong (hoax), saling hujat dan fitnah antar sesama terjadi karena pengguna media sosial merasa tidak pernah berinteraksi langsung dengan pengguna yang lain, sehingga merasa bebas dari tanggung jawab dan konsekuensi moral maupun sosial. Jika dicermati secara lebih mendalam, tentunya  itu semua terjadi bukan karena kesalahan perhelatan politik atau media sosial itu sendiri, tetapi lebih cenderung pada kebodohan dan sempitnya pola pikir kita dalam menyikapi fenomena terkini.

Sikap ekstrem jelas bertentangan dengan ajaran agama manapun. Sikap berlebihan tidak hanya sulit membuat orang berlaku adil dan lurus, tetapi juga dapat menjerumuskan manusia pada tindakan bodoh. Berlebihan dalam mencintai dan membenci, sering membuat orang bersikap konyol. Orang yang berlebihan mencintai diri sendiri, dapat kehilangan penalaran warasnya, sebagaimana ada orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai imam, nabi, bahkan malaikat jibril. Berlebihan dalam mencintai tokoh idola dan panutan juga sering membuat orang kehilangan nalar sehatnya. Jika berlebihan dalam mencintai saja dapat berdampak sedemikian rupa, tentunya berlebihan dalam membenci akan menimbulkan dampak yang jauh lebih berbahaya. 

Dalam ajaran Islam, umat terbaik adalah yang berada di tengah-tengah atau ummatan wasathan (QS. Al Baqarah: 143). Sebagai ummatan wasathan, kita dituntun untuk selalu seimbang dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Untuk menjawab tantangan zaman, Islam harus mendorong sikap moderat, terbuka, dan mengupayakan persatuan (ukhuwah). 

Upaya dialog dengan agama dan gugus peradaban lain, termasuk budaya lokal, perlu dilakukan untuk saling memperkaya perspektif dalam melabuhkan visi kemanusiaan agama pada kehidupan nyata. Membumikan sikap tawassuth di tengah-tengah masyarakat akan sangat efektif dalam memutus mata rantai teror dan ekstrimisme. Bukan suatu kebetulan pula jika secara geografis, kepulauan Indonesia menunjukkan karakter tawassuth atau berada pada tengah-tengah garis bola dunia (khatulistiwa). Bisa jadi itu merupakan pesan rahasia dari Tuhan bahwa di masa depan bangsa Indonesia akan menciptakan harmoni bagi peradaban dunia. Semoga. 

Penulis adalah anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban