Opini

Tentang Tradisi Rebo Wekasan

Sab, 16 September 2023 | 08:00 WIB

Tentang Tradisi Rebo Wekasan

Tradisi rebo wekasan ialah hari Rabu terakhir di bulan Safar. (Foto: NU Online)

Manusia sebagai makhluk berbudaya dan berperadaban telah lama berupaya memahami alam untuk survive dalam kehidupannya. Melalui bukunya The Study of Man, Ralp Linton (1936) menjelaskan bahwa evolusi budaya tercetus pada gerak reflek (sikap natural) yang selalu diperbarui sepanjang zaman. Agama, yang  juga menjadi salah satu unsur budaya memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mewarnai ekspresi budaya.


Ronald L. Johnstone (1983) menjelaskan dalam karyanya Religion in Society: A Sociology of Religion, bahwa entitas agama dalam sudut pandang sosiologis berupa tindakan sosial yang merupakan manifestasi dari aktivitas personal, intelektual dan kesadaran.


Peristiwa sosial dan budaya dalam banyak fenomena yang kita saksikan di media sosial atau di sanding mata kita, dapat dikatakan merupakan pertautan antar tiga entitas sekaligus, yaitu entitas agama, entitas sosial dan entitas budaya. 


Termasuk ketika kita melihat fenomena rebo wekasan (rebo= hari rabu; wekasan= lepas), dimana umat Islam Indonesia khususnya, melakukan ritual pada setiap hari Rabu terakhir di bulan Shafar dalam hitungan Kalender Hijriyah, seperti mandi mengikuti warisan tradisi dari Wali Songo, sholat berjamaah 4 rakaat dengan doa khusus di masjid atau musholla, silaturrahmi, sedekah atau sering disebut tawurji dan membuat kue apem (disebut juga cimplo yaitu makanan ringan terbuat dari adonan dari tepung beras, tepung singkong, ragi dan dicampur dengan air kelapa yang disajikan dengan kuah gula merah atau kinca) dengan cara membagi-bagikannya kepada tetangga dan handai taulan. Dari rangkaian kegiatan itu semua mengarah pada satu makna yang berfungsi sebagai tolak bala (=menangkal marabahaya).


Bagi sebagian umat Islam Indonesia, ritual keagamaan “rebo wekasan” ini memiliki makna yang sakral. Paling tidak, pemaknaan dari sisi teologis dijelaskan dalam sumber otoritatif (Al-Qur’an dan Al-Hadis) tentang pentingnya ucap syukur dan permohonan. Dalam konteks “rebo wekasan” ini termasuk upaya permohonan selamat dari berbagai macam jenis bahaya yang diyakini akan datang. 


Selaras dengan Quraish Shihab (2006), yang menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an makna bencana memiliki pengertian dan konsep yang berbeda, seperti musibah, bala’, azab, iqob, dan fitnah. Misalnya, terma musibah berarti mengenai atau menimpa, secara keseluruhan dari akar katanya disebutkan sebanyak 76 kali. Al-Qur’an sendiri menggunakan kata musibah yang berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia. Selain itu, ada terma bala’ yang berarti tampak, tersebut enam kali dalam Al-Qur’an. Makna yang terkandung adalah ujian yang dapat menampakkan kualitas iman seseorang. Kemudian terma Fitnah  atau cobaan dari Allah dapat berupa kebaikan dan keburukan.


Dapat dikatakan, bahwa bencana dengan beragam jenis dan macamnya merupakan peringatan dari Allah. Sangat bisa dipahami bahwa apabila peringatan tidak direspon dengan baik, maka akan ada peringatan secara terus menerus, bahkan mungkin akan lebih besar dari peringatan sebelumnya yang akan menimpa siapa saja.


Memang tidak bisa dipungkiri, banyaknya bencana yang terjadi di sepanjang sejarah manusia melahirkan berbagai macam mitos yang memiliki fungsi attention terhadap aktivitas manusia yang selalu memiliki nafsu (kecenderungan) untuk serakah, seperti eksploitasi bumi dan langit. Mitos bencana tsunami sebagai bentuk kemarahan penunggu laut, gunung meletus pertanda marahnya penunggu bumi, gempa bumi petunjuk akan terjadinya kerusuhan dan sebagainya. Mengenai fungsi mitos bagi kehidupan sosial, meminjam cara pandang para Penstudi Agama, seperti E.B. Taylor (1920), menurutnya mitos dan agama sama-sama memiliki makna tersendiri bagi tindakan individu maupun tindakan kolektif. Artinya, tradisi keagamaan sangat rasional dipandang dari perspektif ini.


Selain itu, Marcia Eliade (1975) dalam Myth and Reality, menjelaskan pula bahwa masyarakat untuk menunjukkan kereligiusannya, melakukan ritus dan tindakannya sesuai dengan mitos. Bagi mereka agama dan mitos sama keberadaannya, keduanya adalah daya untuk keselamatan dan pengukuhan kenyataan suci. Rasionalitas mitos dalam kehidupan dapat dijelaskan melalui praktik-praktik keagamaan seperti  membagikan apem pada rebo wekasan.


Mengutip penjelasan KH Maimoen Zubair tentang ritual rebo wekasan, bahwa dalam kitab Tarikh Muhammadur Rasulullah dijelaskan Rasulullah saw ketika awal sakit beliau di hari rabu terakhir di bulan Shafar, yang disebut juga Arba’ Mustamir. Selama 12 hari berturut-turut Rasulullah saw. sakit, kemudian beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul awal. Pada awal sakitnya, yaitu hari Rabu terakhir bulan Shafar, beliau pernah berpesan kepada Sayidina Abu Bakar, “Bersegeralah bersedekah, karena bala’ dan musibah tidak bisa mendahului amal sedekah.


Terutama sedekah kepada anak yatim dan dlu’afa. Arba’ Mustamir dalam konteks ini adalah  rebo wekasan, sebagaimana telah dijelaskan. Dengan demikian, tindakan umat Islam Indonesia membuat dan membagi-bagikan apem setiap tahun saban rebo wekasan merupakan tindakan kolektif dari kesadaran teologis sebagai respon atas peringatan dari Allah swt. berupa bencana. Adapun secara sosial, fenomena budaya rebo wekasan ini merupakan ekspresi simbol solidaritas atas bencana yang melanda, khususnya di lingkungan sendiri dan di belantara bumi pada umumnya.


Disadari, manusia dalam perspektif antropologis yaitu sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Dalam hal ini, umat Islam Indonesia, yang merupakan berpenduduk mayoritas muslim, memiliki ragam budaya dalam mengekspresikan ajaran mengenai relasi sosial, termasuk relasi dengan alam sebagai sumber kehidupan. Antara lain tradisi rebo wekasan dengan mengirim apem sebagai simbol atas kesiapan dan kekuatan mental sosial dengan berbagi rasa kepeduliaan bersama (resiliensi sosial).


Merujuk pada makna vokal dan fungsional tersebut, Makna ritual Ngapem pada rebo wekasan ini tidak lain adalah cara manusia yang memiliki keyakinan (Agama) dalam upaya menangkal keburukan apapun yang setiap saat akan terjadi, baik keburukan itu sebagai musibah yang menimpa ataupun peringatan dari Sang Pencipta. Dari sisi makna vokalnya, Ngapem yang berarti menjaga segala macam keburukan yang bersumber dari mulut, seperti berita hoaks yang menimbulkan goncangan sosial. Sedangkan dari sisi makna fungsionalnya, rebo wekasan yaitu momentum bersama untuk saling menjaga keharmonisan atau solidaritas sosial sebagai bentuk sikap respek terhadap bala’ dan musibah yang diderita umat manusia, baik dalam lingkungan yang berskala kecil maupun lingkungan spektrum yang lebih luas lagi, untuk masa kini dan nanti.


Perwujudan respon atas peringatan dari Sang Pencipta melalui “apem rebo wekasan” merupakan peristiwa budaya sekaligus perilaku keagamaan umat Islam Indonesia, pada khususnya, memiliki fungsi sosial sebagai resiliensi dan kesiapan menghadapi bencana dalam bentuk apapun.


Tris Wijaya, Ketua Yayasan Miftahul Hikam Lemahtamba Panguragan Cirebon dan Pengajar di Pondok Pesantren Darul Fikr Arjawinangun Cirebon