Opini

Terkikisnya Bahasa Ibu

Ahad, 30 Juli 2023 | 19:30 WIB

Terkikisnya Bahasa Ibu

Ilustrasi (Foto: Freepik)

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, ada dinamika sosial dan budaya yang berubah di masyarakat, salah satunya adalah penggunaan bahasa daerah atau bahasa ibu. Terutama bahasa daerah Banten yaitu bahasa Sunda. Di kampung saya sendiri yaitu kampung yang berada di wilayah Saketi, Kabupaten Pandeglang merupakan daerah yang berpenutur Sunda sama seperti halnya Kabupaten Lebak.


Ada yang menggelitik pemikiran saya ketika setiap hari Minggu berkumpul di teras rumah bersama para tetangga, terutama para ibu-ibu muda dari generasi Y (milenial) yang memang kebanyakan mereka sudah menikah dan mempunyai anak. Mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, sehingga banyak anak-anak yang meski tinggal di kampung tapi jarang yang mengerti bahasa Sunda.


Bukan hanya perihal bahasa komunikasi sehari-hari tapi juga sekarang ini mulai punahnya panggilan Emak-Bapak sebagai ciri khas panggilan Sunda di Banten. Para orangtua dari generasi milenial lebih nyaman dengan panggilan kekota-kotaan seperti mamah-papah. Tentu saja masalah panggilan ini adalah perihal hak asasi warga bangsa, tidak ada yang salah dengan itu.


Juga pola didikan untuk membiasakan anak-anak dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian juga bagus karena bisa melatih anak untuk terbiasa bertutur dengan bahasa nasional, bahasa persatuan. Bahkan di lingkungan kota, para orang tua sudah banyak yang menerapkan dwi bahasa di dalam rumah yaitu bahasa Inggris-Indonesia.


Namun, yang menjadi unek-unek saya ialah bagaimana dengan nasib kelestarian bahasa daerah sendiri? Yang bahkan itu merupakan bahasa ibu kita di setiap daerah masing-masing. Karena kita tahu sebelum adanya tanah Air Indonesia dan bahasa nasional, bahasa ibu telah lebih dulu hadir sebagai bahasa pemersatu di setiap daerah karena dulu sebelum merdeka yang ada adalah semangat kesukuan dan primordialisme. Tentunya itu merupakan warisan nenek moyang yang tidak boleh kita hilangkan begitu saja, meski zaman sudah semakin maju.


Di sela tuntutan untuk menguasai berbagai bahasa asing sebagai bahasa internasional, namun justru kita abai dan mulai melupakan bahasa daerah sendiri. Bahkan pelajaran muatan lokal di setiap sekolah yang diisi dengan muatan lokal menurut kekhasan daerah masing-masing seperti di Pandeglang misalnya yang memasukkan bahasa Sunda sebagai muatan lokal, tidaklah cukup. Lihat saja anak-anak sekarang yang beruisa 4-7 tahun justru banyak dari mereka yang lebih fasih berbahasa Inggris ketimbang bahasa daerah, setidaknya di daerah saya.


Kadang, ketika saya reuni dengan kawan-kawan yang selama ini mereka merantau ke Jakarta dan ketika kembali ke kampung, mereka juga lebih nyaman tetap memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Sunda. Termasuk panggilan Emak-Bapak atau Ema-Abah, hampir punah karena panggilan itu hanya terhenti di generasi para orang tua zaman dulu, yang sekarang sudah berusia 50 tahun ke atas.


Tentu saja saya tak berani mengatakan ini sebagai adanya perubahan cara pandang yang menganggap bahwa bahasa daerah sebagai bahasa kampung, tidak modern, kurang kota. Tapi jelas dengan adanya fenomena ini telah terjadi pergeseran budaya. Alangkah baiknya dimana bahasa daerah tetap lestari karena itu merupakan salah satu identitas bangsa. Harus ada kesadaran terutama di generasi Z, bahwa penggunaan bahasa bisa disesuaikan dengan kondisi, baik tempat dan juga orang yang menjadi lawan bicara kita.


Yang sering terjadi di kampung biasanya, ada kesan ngintelek atau kota, seolah-olah bahwa orang yang berbahasa Jakarta atau Indonesia lebih terdidik. Sehingga memberikan garis pembatas “aku kota-kamu desa”.

 

Tentu saja belajar bahasa Indonesia sejak dini itu bagus, belajar bahasa asing juga penting, tapi tentunya kita tak bisa mengesampingkan tetap lestarinya bahasa daerah sebagai salah satu akar budaya dan jati diri bangsa. Salah satu cara untuk melestarikan bahasa daerah bisa melalui pendidikan sekolah dengan cara mengadakan kegiatan-kegiatan perlombaan seperti membuat puisi, bernyanyi, dan berdongeng dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing.


Wartini Sumarno, anggota PMII Kota Serang, Banten